Jadi Entrepreneur, atau Jadi Kulinya Entrepreneur ?
Akhir-akhir ini pertanyaan senada ini banyak sekali didengungkan oleh teman-teman saya di milis internal SBM, intinya satu, mereka mengalami kegalauan dalam menemukan tujuan hidup, apakah akan menjadi entrepreneur, apakah akan jadi kuli dari entrepreneur yang sudah ada ?
Masalahnya, di SBM sendiri ada dua kubu dan dua kepentingan yang cukup kuat diluar kubu dan kepentingan lain, disatu sisi harus bisa menciptakan pekerja yang bisa mengerjakan pekerjaan bisnis administratif (jadi kalo ngelamar kerja di perusahaan bisa mengerjakan pekerjaannya dan ngga malu-maluin), disatu sisi juga harus bisa menciptakan entrepreneur yang cukup handal, sementara kubu entrepreneur agak sulit berkomunikasi dengan kubu pekerja yang notabenenya adalah anak-anak yang pintar serta dosen-dosen yang betul betul ngelotok dengan bidang keilmuannya (kebanyakan yang rajin dan jago berhubungan dengan angka dan memiliki IP (indeks prestasi) cukup tinggi), karena yang memiliki cita rasa entrepreneurship ini memiliki kesan orang yang pengangguran serta urakan dan tidak memiliki masa depan yang pasti!
ITU ADALAH PEMIKIRAN YANG SALAH TENTANG ENTREPRENEUR!
Mengapa demikian ? Entrepreneur adalah orang yang pandai melihat peluang, dan itu adalah pasti, tidak mungkin dia menawarkan sesuatu produk jika kliennya sedang bermasalah, mayoritas adalah salesman yang baik, meski tidak semua, tetapi justru mayoritas entrepreneur yang baik yang sering saya temui, kebanyakan bermain aman, dalam arti tidak mau menawarkan sesuatu yang ia tidak bisa sanggupi kepada kliennya, dan ketika hal itu tidak bisa ia sanggupi karena diluar kemampuannya, ia akan meminta maaf dan menggantinya dengan hal lain yang bisa ia perbuat, bukan malah kabur dan tidak bertanggung jawab.
Saya sendiri lebih suka untuk dikenal oleh orang lain sebagai Entrepreneur (meski wannabe), bukan sebagai mahasiswa, mohon maaf, karena agak malu dengan citra mahasiswa yang sekarang lebih cenderung negatif (tukang demo) dan pemalas (ngga rajin kerja, belajar doang). Full Time Entrepreneur istilahnya, dan Part Time Blogger, keduanya adalah pekerjaan saya, mahasiswa ? oh, saya hanya numpang kuliah saja mengisi waktu luang, sekalian mencari rekanan bisnis dan juga teori yang bisa disesuaikan dengan kehidupan nyata dan bisnis… (kebanyakan dari teori tidak bisa diterapkan)
Mengapa demikian kekeuhnya saya Ingin menjadi Entrepreneur ? perhatikan skema berikut :
Jika anda adalah seorang yang baru lulus kuliah (kurang lebih usia disekitar 20-24 tahun), berapa lama waktu yang anda butuhkan untuk mendapatkan penghasilan yang cukup untuk membeli sebuah mobil Honda Jazz ?
Anda melamar sebuah pekerjaan di kantor yang bergengsi, masuk jam 7 pagi sedang rumah anda berjarak 30 km dari tempat kerja anda, tentunya anda harus bangun pagi pagi sekali agar tidak terlambat, karena jika terlambat anda akan dipotong gajinya, dan anda baru bisa pulang malam karena harus lembur untuk mendapatkan uang tambahan.
Anggap anda memiliki penghasilan 3 juta per bulan, tinggal di Bandung, dikurangi pengeluaran (kosan, rokok, makan, pacaran, komunikasi, ongkos, dll) anda bisa memiliki tabungan sebesar Rp.800.000 per bulan, tentunya harus memikirkan biaya untuk pernikahan (jika belum menikah) dan asumsi ini merupakan asumsi bagi anda yang masih single, bagaimana jika anda sudah berkeluarga ?
sedang harga honda Jazz patoklah Rp.157.000.000 (kalo ngga salah) berapa tahun lagi anda baru mendapatkan benda ini ? silakan bagi sendiri,
kenyataannya untuk mendapatkan gaji 3 juta sebulan di Bandung bagi fresh graduate itu bukanlah hal yang mudah, anda harus bersaing bersama ribuan pengangguran lainnya untuk mendapatkan pekerjaan itu, dan juga harus bekerja dibawah tekanan dan hidup yang tidak sehat, ujung-ujungnya biaya yang dikeluarkan oleh anda untuk berobat dirumah sakit, akan menghabiskan tabungan yang selama ini anda pegang. Belum lagi ada risiko pengurangan pegawai, dimana ketika anda sakit dan masuk rumah sakit, anda bisa saja dikeluarkan karena kelamaan tidak masuk kerja / kerja anda kurang produktif, selain itu juga perusahaan tidak memerlukan anda lagi karena umur anda sudah tua dan tidak kreatif lagi..
Belum lagi jika anda sudah berkeluarga, dan memiliki anak yang hendak punya motor / mobil,
Ujung-ujungnya demi beli Honda Jazz, anda jadi korupsi, entah itu waktu anda bekerja di kantor, maupun finansial kantor (naudzubillahimindzalik)
hmmm menyakitkan bukan ? ketika muda terlena oleh pekerjaan dan diiming imingi pensiun yang besar, tahunya di jalan diputuskan orang lain, itu karena nasib anda ditentukan oleh Boss, bukan oleh diri anda sendiri.
Perbedaan lain ketika menjadi Entrepreneur, terlihat sedikit pengangguran, penghasilan anda ditentukan oleh kompetensi dan kemampuan anda sendiri, terutama kemampuan untuk memanage dan mencari peluang, serta berkomunikasi menawarkan barang dagangan anda keorang lain. Jam kerja Entrepreneur terkadang tidak menentu, terkadang bisa lebih gila lagi daripada karyawan, tetapi tidak di push oleh atasan melainkan oleh tuntutan dirinya sendiri.
Jadi Entrepreneur cukup menjanjikan dibanding mencari pekerjaan, karena bisa dimulai dari modal yang tidak terlalu besar, dan juga waktu yang tidak terbatas, kapanpun ketika anda di PHK sekalipun, anda bisa menjadi entrepreneur, satu satunya modal yang harus anda kuat miliki adalah KEMAUAN, baru kemudian rekanan dan juga keuangan.
Jika anda sadar, ada gabungan diantara keduanya, yakni Partnership, seseorang bisa menjadi Entrepreneur, dan juga bisa menjadi Karyawan, contohnya, jika anda memiliki ide bisnis tetapi tidak memiliki modal untuk menjalankannya, anda bisa menjual ide bisnis tersebut kepada orang lain yang memiliki modal, ini namanya sistem investasi, atau anda bisa mencari pekerjaan paruh waktu selagi anda menjalankan usaha anda, untuk menambah modal finansial. Pekerjaan paruh waktu ini bisa berupa konsultan, blogger, atau mengerjakan proyek proyek yang kecil kecilan.
Saya rasa, tidak ada alasan untuk seorang dosen untuk tidak menjadi Entrepreneur, waktu yang dia miliki bisa ia pilih, antara untuk riset, proyekan, mengajar, buat usaha, atau untuk keluarga dan masyarakat, dan juga untuk seorang yang baru lulus kuliah untuk menjadi entrepreneur, karena seharusnya sewaktu kuliah ia memiliki banyak teman yang mungkin bisa diajak bekerja sama olehnya membangun kerajaan bisnis.
Untuk menjadi Entrepreneur, perlu dukungan yang amat sangat kuat, mulai dari keluarga, pacar, teman, orang tua, bahkan sampai dukungan dari pihak kemanan, jika ada teman / saudara anda yang hendak menjadi pengusaha, dimohon untuk mendukungnya 100% karena ini berkaitan dengan masa depan dan juga mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia.
Untuk teman-teman yang masih menjadi pengangguran, saran saya marilah buka usaha, menjadi entrepreneur, dan kurangilah jumlah pengangguran di Indonesia…
Kalau kata Ijal & Mimin, Jadi entrepreneur mungkin sulit dimengerti, tidak apa apa, yang penting rekening korannya toh
Untuk Astrid, Feiral, Luthfi, Dharma, dll, semoga tulisan ini bisa menjadi pencerahan, Thanks to Pak JH, BPI, DL, yang udah kasih masukan di milis, serta temen-temen yang udah ngedukung, dan juga buat orang-orang yang menjadi cerminan hidup saya dan sudah memberi pencerahan untuk saya baik dimasa lalu, hari ini, dan mendatang…
Jika anda lulus kuliah dan langsung mendapatkan pekerjaan di perusahaan yang bergengsi, berarti anda maju 5 langkah dari orang lain yang baru lulus kuliah, sedangkan jika anda sewaktu kuliah sudah membangun perusahaan anda sendiri, entah itu bergengsi atau tidak dan bisa membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain, itu sudah maju 100 langkah dari orang yang maju 5 langkah tadi.
Ohya, Blogger merupakan pekerjaan yang amat menjanjikan, kenapa ? tunggu tanggal mainnya
PS : Jika anda adalah seorang entrepreneur, dan ada yang bertanya kepada anda, siapa boss anda, sebaiknya anda menjawab, Tuhan-lah Boss saya sebenarnya, ia menggaji saya dengan kehidupan
Antara Ketakutan, kreativitas, dan inovasi
Dia lalu membuat satu persamaan sebagai berikut:
Jumlah Ide Besar = (STIMULUS)DIVERSITY dibagi dengan KETAKUTAN.
Di sini kita akan membicarakan tentang ketakutan. Bukan berarti stimulus dan keragaman (diversity) bukan hal yang penting. Namun menurut Hall sendiri (dan beberapa ahli lainnya), mengusir ketakutan dari tempat kerja merupakan hal yang lebih sulit.
Dari pengalaman Hall sendiri, dia mengakui bahwa mengusir ketakutan baik itu takut gagal, takut dicemooh, takut dianggap bodoh, takut melakukan kesalahan, takut bertindak, takut berubah, atau ketakutan lainnya sangat sulit untuk dihilangkan karena para penderita ketakutan tersebut sering tidak menyadari penyakitnya. Celakanya, para manajer atau eksekutif sering tanpa disadari menciptakan lingkungan yang bukan saja membuat penyakit tersebut menjadi lebih parah, namun menular ke seluruh sudut-sudut perusahaan.
Professor Harvard Business School Amy Edmondson dan Professor James Detert dari Penn State University yang pernah mengadakan riset mengenai ketakutan di tempat kerja di US terkejut menemukan betapa banyaknya karyawan yang tidak berani mengatakan sesuatu ke atasan mereka, walau apa yang akan dikatakan tersebut berharga untuk perusahaan. Bila ketakutan yang luas tersebut terjadi di budaya US yang relatif lebih egalitarian, bayangkan tingkat ketakutan berbicara di budaya Indonesia yang lebih menghormati senioritas dan orang yang berkuasa.
Ketakutan tersebut jelas merupakan biaya bagi perusahaan. Bayangkan betapa banyaknya uang yang bisa dihemat atau inovasi produk yang bisa lahir bila mulut-mulut yang terkatup rapat tersebut bisa terbuka. Para karyawan yang bekerja di lini depan dan berhadapan langsung dengan pelanggan adalah sumber informasi yang kaya. Banyak yang mengatakan konsultan adalah orang yang dibayar mahal untuk mengambil jam tangan Anda dan lalu memberitahu Anda jam berapa sekarang. Pendapat sinis tersebut ada benarnya. Namun yang sering dilupakan adalah: di dalam perusahaan, sering orang-orang yang tahu jam berapa saat ini takut mengatakannya kepada atasan mereka sehingga perusahaan harus membayar orang dari luar untuk mengorek informasi tersebut.
Mengapa ketakutan bisa menimbulkan efek sebesar itu? Kita coba berpaling sebentar ke struktur otak manusia. Otak kita, menurut para ahli otak, terdiri dari 3 bagian: otak manusia (cerebral cortex), otak mamalia, dan otak reptilia. Fungsi-fungsi kognitif seperti pemecahan masalah dan berpikir kreatif dilakukan di cerebral cortex. Sementara otak mamalia memegang kendali atas emosi-emosi kita, dan naluri dasar kita untuk mempertahankan hidup dan berkembang biak terletak di bagian otak reptilia. Cerebral cortex dan otak mamalia dihubungkan oleh apa yang disebut sebagai RAS (reticular activating system). RAS inilah yang menentukan otak mana yang akan aktif dengan memakai mekanisme mirip dengan tombol lampu.
Tombol RAS tersebut akan diaktifkan bila salah satu dari dua kondisi ini terjadi: pada kondisi yang sangat emosional dan pada kondisi rileks. Pada saat kita terlalu emosional (dan ketakutan adalah salah satu emosi yang paling kuat), RAS akan menurunkan aktivitas cerebral cortex kita dan mengaktifkan otak mamalia kita. Pada saat ini, kegiatan kognitif akan sangat minimal. Sebaliknya ketika kita santai, RAS gantian akan mengaktifkan cerebral cortex dan menonaktifkan otak mamalia.
Dengan pengetahuan tersebut, kita sekarang tahu bahwa bila kita ingin kreatif dan berpikir jernih, apa yang harus dilakukan adalah mengusir jauh-jauh ketakutan dan menciptakan lingkungan yang santai. Tantangan bagi para pemimpin perusahaan yang ingin meningkatkan kreativitas dan laju inovasi perusahaannya adalah tentu saja melakukan kedua hal tersebut pada skala yang luas. Pemimpin bukan saja harus mengusir ketakutannya sendiri, tetapi juga ketakutan seluruh bawahannya.
Memang sebagian akar ketakutan bisa dilacak pada kepribadian karyawan (terutama yang introvert dan kurang percaya diri), namun konteks perusahaan juga memegang peranan yang sangat penting. Tingkah laku atasan yang paling kecil sekalipun, seperti mengerutkan kening atau menaikkan alis, mampu membuat karyawan yang sudah terlanjur membuka mulut merasa menyesal. Mereka akan memberitahu rekan kerja mereka apa yang telah terjadi karena membuka mulut, dan dalam waktu singkat pengalaman seorang akan menjadi pengetahuan bersama.
Di sisi lain, bila atasan bersedia meluangkan waktu 2-3 menit setiap hari untuk menegur seorang karyawan dan mendengarkan usulan mereka dengan bersungguh-sungguh, tindakan tersebut akan memberi dorongan karyawan lain untuk membuka diri dan menyumbangkan pemikiran mereka. Bila sebagai pemimpin perusahaan Anda keberatan membayar konsultan yang mahal, cobalah menghilangkan ketakutan dari perusahaan Anda. Niscaya Anda akan tetap mendapatkan saran-saran berharga tanpa pengeluaran tambahan.
* dikutip dari http://www.itpin.com/blog/2006/09/26/ketakutan-kreativitas-dan-inovasi/
Businessweek : Dicari Pengusaha Dibawah 25 Tahun
Businessweek : Dicari Pengusaha Dibawah 25 Tahun
Wirausaha. Itulah tenaga yang membangkitkan macan Asia. Di seluruh kawasan ini, sekelompok pengusaha muda yang tengah tumbuh memberi kontribusi besar terhadap munculnya gagasan-gagasan inovatif di balik transformasi ekonomi Asia. Atas dasar pemikiran seperti itu, BusinessWeek Online kini mencari para pengusaha muda Asia berusia di bawah 25 tahun.
Kami mencari anak-anak muda yang menjalankan perusahaannya sendiri (perusahaan yang benar-benar ada dan beroperasi secara penuh). Rencana bisnis tentu penting. Namun begitu, kami lebih ingin mencari pemimpin bisnis muda yang berani menjalani rencana yang berisiko. Rencana kami adalah menemukan bisnis yang benar-benar inovatif, yang mampu menampilkan potensi yang jelas dalam membangun pertumbuhan. Dari situ, kami ingin menemukan sosok pengusaha muda berwawasan luas di balik rencana tersebut. Pendek kata, kami mencari generasi baru dari kisah sukses di Asia.Apa yang kami butuhkan dari Anda? Kirimkan nominasi Anda menggunakan formulir di halaman situs http://www.businessweek.com/globalbiz/asia/under25.htm dan ceritakan kepada kami mengapa pengusaha muda yang Anda usulkan tampak menonjol dibanding yang lain. Calon yang diajukan harus berusia di bawah 25 tahun pada saat dinominasikan.
Masa nominasi ditutup pada 1 Agustus mendatang. Editor kami akan menyeleksi dan menyaring sosok-sosok yang masuk hingga ditemukan 25 orang finalis. Lalu, kami akan meminta Anda memilih sosok pengusaha di balik usaha kecil yang paling menjanjikan tersebut. Pada 21 September nanti, lima pengusaha terbaik di bawah usia 25 tahun akan diumumkan secara online.
Silakan kunjungi alamat situs http://www.businessweek.com/globalbiz/asia/under25.htm
Â
The Entrepreneurial Melting Pot
The Entrepreneurial Melting Pot
The US entrepreneurs are often described as one of the primary drivers of the nation's economy. For starters, small outfits create some 75% of all new jobs, represents 99,7% of all employers, and employ 50% of private workforce, according to the small Business Administration. However, today, the biggest driver within the small-business sector appears to be the minority-owned businesses. And there is some fairly dramatic data to support this emerging trends.......
For further details, please visit this website
Audit SDM: Memperkecil The Knowing-Doing Gap
Willy Susilo sebagai penulis buku ini memulai pembahasan dengan memaparkan konsep manajemen sumber daya manusia melalui model 7P (Perencanaan Penerimaan Pengembangan Pembudayaan Pendayagunaan Pemeliharaan Pensiun), fungsi dan kegiatan sumber daya manusia sekaligus memperkenalkan Social Accountability 8000 (SA 8000) yang merupakan standard tentang tanggung jawab sosial organisasi dalam masalah ketenagakerjaan yang diprakarsai oleh Council on Economic Priorities Accreditation Agency (CEPAA). Perlu juga dipahami, bahwasanya untuk lebih mengerti isi audit sumber daya manusia yang sebenarnya, siapapun terlebih dahulu mesti mengenal pengertian, tujuan, aktivitas, dan manfaat audit secara umum serta kemudian menghubungkannya dengan pengertian, tujuan, dan manfaat audit sumber daya manusia. Pemaparan pengertian ini sangatlah penting supaya pembaca tidak kehilangan makna dan maksud dari audit sumber daya manusia. Lebih dari itu, mengerti betul akan perbedaan audit sumber daya manusia dengan audit bersifat umum. Setelah itu, barulah beralih kepada sistem audit, prosedur dan perencanaan audit sumber daya manusia. Misal, dalam prosedur dan perencanaan audit, Willy melengkapinya dengan contoh dan daftar periksa. Maksudnya, melalui contoh dan daftar periksa tersebut, siapapun bisa secara langsung mengaplikasikannya dengan kondisi organisasi dan melakukan penyesuaian bila dianggap perlu.
Perlu juga disadari, esensi dari proses belajar bukanlah hanya sekedar knowing tetapi juga doing. Artinya, pengetahuan yang diterima seharusnyalah bisa diubah dan ditindaklanjuti melalui action. Dengan demikian, ada upaya yang jelas untuk memperkecil apa yang dimaksud Jeffrey Pfeffer dan Robert I. Sutton -dua professor dari Stanford University- sebagai the knowing-doing gap. Di dalam buku ini, Willy mencoba untuk mendekatkan antara pengetahuan dan praktek dalam melakukan audit sumber daya manusia. Hal penting lain adalah bahwa audit sumber daya manusia tidak mesti selalu ditekankan untuk mencari pelanggaran atau ketidaksesuaian. Akan tetapi, berguna juga mencari terobosan dan tantangan baru. Auditor memanfaatkan pengetahuan dan kemampuan yang dimilikinya untuk menggali potensi nilai dari perspektif sumber daya manusia memotivasi auditee guna memacu prestasi dengan melakukan berbagai perubahan atau inovasi. Sumber daya manusia akan bisa berkembang jika didukung oleh budaya dan iklim organisasi yang kondusif melalui habitat belajar yang dapat meningkatkan modal kredibilitas individu dan organisasi. Kompetensi individu dan organisasi saja tidak cukup jika tidak didukung oleh kredibilitas individu dan organisasi. Karena itu pula, audit sumber daya manusia perlu ditindaklanjuti oleh manajemen dengan melakukan perbaikan dan menghindari masalah yang sama di kemudian hari. Dan, peranan top management sangat diharapkan dalam keberhasilan audit ini. Caranya, dengan memberikan disposisi atas laporan hasil audit sumber daya manusia yang dapat menimbulkan dampak psikologis bagi auditee.
Lebih penting lagi, audit sumber daya manusia dapat dipandang sebagai proses pembelajaran yang merupakan perluasan dari kata mencoba. Dalam pembelajaran (learning) juga terdapat beberapa kesalahan dan ini dipandang sebagai proses untuk lebih menghasilkan dan mencapai apa yang dipandang sebagai praktek terbaik. Seperti aturan umum yang disampaikan oleh Warren Bennis dan Burt Nanus untuk semua organisasi: reasonable failure should never be received with anger.
(*)Artikel ini diterbitkan oleh Majalah Info Bisnis Edisi 106, Tahun ke VII, Februari 2003 sebagai resensi buku Audit SDM dari Willy Susilo.
Appel Pie's Business Pia Apple Pie & Macaroni Panggang: Memuaskan Konsumen dan Karyawan
Kamis, 08 Januari 2004
Oleh : Henni T. Soelaeman dan Dedi Humaedi
Titin
Kuraesin, Susi Gunadi dan Baby Ahnan tak sekadar menautkan hati dalam
persahabatan. Tiga serangkai ini juga menyimpulkan visi yang sama dalam
bisnis. Pia Apple Pie dan Macaroni Panggang (PAP&MP), bisnis makanan
yang dipilih tiga srikandi itu, sekarang tak hanya populer di Bogor.
Bahkan, Presiden Megawati Soekarnoputri pernah memesan makanan tersebut
untuk dibawa ke Istana Negara. Produk mereka juga telah merambah Jakarta
dan Bandung lewat pola kemitraan yang berfungsi sebagai agen. Saat ini,
mereka memiliki lima mitra yang khusus menjual PAP&MP dan mendapat
20% dari total penjualan.
Sejak memulai usaha pada 1999,
perkembangan PAP&MP terbilang pesat. Dalam tempo 6 bulan, kue buatan
Baby itu mendapat respons baik dari masyarakat. Sehari, paling tidak 50
loyang PAP terjual. Saat itu, satu loyang dipatok Rp 18 ribu. Padahal,
pola pemasarannya sebatas dari mulut ke mulut. Saat memulai pun mereka
menyewa rumah mertua Baby yang kemudian disulap menjadi toko.
Menurut mereka, PAP dipilih karena relatif belum populer di Kota
Hujan. Dengan modal Rp 100 juta, mereka membeli perangkat dapur, menyewa
tempat, dan merekrut empat karyawan. Saat ini, PAP boleh dibilang telah
diserbu konsumen. Sehari, 200-300 loyang ludes terjual. Harga per
loyang Rp 25 ribu. Mereka juga terus menginovasi produk dengan
meluncurkan apple pie isi ayam dan cokelat yang dipatok dengan harga
yang sama.
Ketika penjualan PAP terus meroket, mereka pun sepakat
mengeluarkan produk andalan, MP, tahun 2002. Modal Rp 800 juta yang
diambil dari keuntungan PAP dianggarkan untuk menyewa tempat, membeli
peralatan dan menggaji karyawan. Setali tiga uang dengan PAP, MP juga
laris manis. Harga MP yang dipatok pada kisaran Rp 8-96 ribu terjual
100-150 loyang/hari. "Jumlah itu membengkak menjadi dua kali lipat saat
akhir pekan," kata Titin. Toko MP yang terletak di Jalan Salak, Bogor,
setiap akhir pekan dipadati pengunjung, sampai-sampai banyak yang tidak
kebagian kursi.
Tak heran, dalam tempo setahun, MP bisa balik
modal. Bisnis yang terus menggelinding membuat mereka akhirnya berbagi
peran dan tanggung jawab. Susi diberi tanggung jawab menangani PAP dan
Titin membawahkan MP. Sementara Baby menggarap kemasan dan promosi.
Produk PAP&MP dijual dengan kemasan unik, yang disisipi brosur
sederhana berisi tulisan singkat tentang berbagai hal menyangkut produk,
seperti sejarah apple pie di berbagai negara. "Inilah, antara lain,
yang membuat produk kami tampak istimewa," tutur Baby. Kiat sukses
mereka juga bisa dilihat dari layanan mereka terhadap konsumen.
Mereka
selalu menganggap konsumen sebagai raja. "Kami sangat meyakini, produk
yang memuaskan juga harus didukung pelayanan yang baik sehingga akan
membuat konsumen senang," ungkap Titin. Tak hanya menyenangkan konsumen,
terhadap karyawan pun mereka bersikap sama. Mereka juga boleh dibilang
sukses mengikat loyalitas karyawan. Seluruh karyawan dibuat happy
bekerja. Caranya? "Kami menerapkan sistem kekeluargaan," ujar Susi.
Karyawan, ia menjelaskan, diberi kesempatan mengembangkan diri. Bahkan,
di antara 60 karyawannya ada yang diberi beasiswa untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, bahkan ada yang menimba ilmu di
Universitas Indonesia. "Dengan syarat, mereka berprestasi," tambah
Susi.
Sedikitnya, setiap tahun 1-2 karyawan melanjutkan sekolah.
Selain itu, ada banyak hal positif yang selalu dilakukan di
tengah-tengah suasana bekerja, seperti olah raga dan belajar bahasa
asing. Karyawan juga dilatih membangun rasa kebersamaan dan tanggap
terhadap situasi.
Pelaku Industri Jabar Siap Berkompetisi : Ditandai dengan Pemakaian Merek Sendiri
Hal ini dikemukakan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jabar, Agus Gustiar, seusai membuka diskusi "Rebranding Jawa Barat : Strategi Peningkatan Daya Saing Jawa Barat" yang digelar atas kerja sama Disperindag dengan SENADA-USAID, di Hotel Horison, Jalan Pelajar Pejuang, Bandung, Rabu (27/9).
Pemakaian merek seperti yang dilakukan pengusaha sepatu Cibaduyut merupakan langkah awal dari rebranding Jawa Barat. Spirit baru para perajin yang tergabung dalam klaster tersebut terlihat ketika para perajin mulai mengeluarkan merek dan produk-produk desain sendiri, seperti Garsel (sepatu Garut), Garuci (Garut Cibaduyut), Gareuy (Garut euy), dan satu merek dagang Kota Bandung, Kokem (Kota Kembang). "Itu yang harus dibangun dalam daya saing global, yakni mengedepankan kekuatan lokal," ujarnya.
Selain produk sepatu/alas kaki, perajin lain di Jabar juga mulai berani mengeluarkan pompa air tanpa listrik (patri). Klaster, diharapkan mampu memperkuat kekuatan lokal tersebut, sehingga pelaku industri lain mampu menciptakan merek baru dari hasil desain mereka sendiri.
Sementara itu, Dr. Ilyas Saad dari SENADA-USAID mengatakan, kelemahan pelaku industri atau perajin lokal Jabar jika dibandingkan dengan sejumlah negara seperti Thailand, Malaysia, dan Cina terletak pada kesiapan teknologi. Hal inilah yang melemahkan daya saing produk lokal Jabar di persaingan global.
Dilihat dari segi operasi dan strategi perusahaan, Ilyas menilai kekurangan Jabar terletak pada kecanggihan proses produksi dan tingkat penyerapan teknologi. Kebanyakan industri yang ada di Jabar termasuk industri kecil dan menengah. Bahkan, ada beberapa yang masih dalam skala industri rumah tangga. "Teknologi yang digunakan dalam proses produksi masih sederhana, belum secanggih negara lain," tuturnya.
Di sisi lain, jika dilihat dari aspek iklim usaha dalam negeri, pembayaran tidak resmi dalam kegiatan ekspor impor serta perpajakan masih merupakan kendala terbesar para pengusaha. Selain membebani para pengusaha di sisi biaya, hal ini juga bisa menum5pulkan niat pengusaha maupun perajin untuk membuat produk desain sendiri. Sebab, tidak ada penghargaan atas karya mereka, tetapi malah dikenakan pungutan-pungutan liar.
Hal yang sama juga dinyatakan Dwi Larso dari Sekolah Bisnis dan Manajamen ITB . Lewat penelitian yang dilakukannya bersama Jauhari Anwari , terungkap bahwa permasalahan utama yang dihadapi pengusaha adalah birokrasi yang tidak efisien dan sejumlah pungutan liar yang memberatkan pengusaha.
Namun begitu, M. Ridlo Eisy yang mewakili kalangan media, mengatakan, kelebihan Jabar terutama Bandung adalah adanya rasa aman yang dapat menarik investor maupun pembeli. hal ini terbukti dengan adanya beberapa kerusuhan, Bandung tetap aman dan tidak terjadi gejolak.
Sementara itu, di tempat yang sama juga berlangsung Cluster exhibition yang dibuka Gubernur Jabar, Danny Setiawan. Dalam sambutannya, Danny mengatakan, pengklasteran empat industri di Jabar mempererat industri dari hulu ke hilir agar dapat terkontrol dalam satu manajemen yang baik.
"Sehingga, nantinya 4 kluster tersebut dapat memiliki pangsa pasar yang lebih baik, karena tidak bersaing dengan sesama industri yang sama," tuturnya.
Pada pameran klaster yang digelar pada 27-29 September 2006 itu, selain menampilkan produk-produk industri klaster juga diadakan seminar dan workshop yang berhubungan dengan empat klaster industri tersebut.
*Dikutip dari Pikiran Rakyat edisi 28 September 2006Â
Antara Ketakutan, kreativitas, dan inovasi
Dia lalu membuat satu persamaan sebagai berikut:
Jumlah Ide Besar = (STIMULUS)DIVERSITY dibagi dengan KETAKUTAN.
Di sini kita akan membicarakan tentang ketakutan. Bukan berarti stimulus dan keragaman (diversity) bukan hal yang penting. Namun menurut Hall sendiri (dan beberapa ahli lainnya), mengusir ketakutan dari tempat kerja merupakan hal yang lebih sulit.
Dari pengalaman Hall sendiri, dia mengakui bahwa mengusir ketakutan baik itu takut gagal, takut dicemooh, takut dianggap bodoh, takut melakukan kesalahan, takut bertindak, takut berubah, atau ketakutan lainnya sangat sulit untuk dihilangkan karena para penderita ketakutan tersebut sering tidak menyadari penyakitnya. Celakanya, para manajer atau eksekutif sering tanpa disadari menciptakan lingkungan yang bukan saja membuat penyakit tersebut menjadi lebih parah, namun menular ke seluruh sudut-sudut perusahaan.
Professor Harvard Business School Amy Edmondson dan Professor James Detert dari Penn State University yang pernah mengadakan riset mengenai ketakutan di tempat kerja di US terkejut menemukan betapa banyaknya karyawan yang tidak berani mengatakan sesuatu ke atasan mereka, walau apa yang akan dikatakan tersebut berharga untuk perusahaan. Bila ketakutan yang luas tersebut terjadi di budaya US yang relatif lebih egalitarian, bayangkan tingkat ketakutan berbicara di budaya Indonesia yang lebih menghormati senioritas dan orang yang berkuasa.
Ketakutan tersebut jelas merupakan biaya bagi perusahaan. Bayangkan betapa banyaknya uang yang bisa dihemat atau inovasi produk yang bisa lahir bila mulut-mulut yang terkatup rapat tersebut bisa terbuka. Para karyawan yang bekerja di lini depan dan berhadapan langsung dengan pelanggan adalah sumber informasi yang kaya. Banyak yang mengatakan konsultan adalah orang yang dibayar mahal untuk mengambil jam tangan Anda dan lalu memberitahu Anda jam berapa sekarang. Pendapat sinis tersebut ada benarnya. Namun yang sering dilupakan adalah: di dalam perusahaan, sering orang-orang yang tahu jam berapa saat ini takut mengatakannya kepada atasan mereka sehingga perusahaan harus membayar orang dari luar untuk mengorek informasi tersebut.
Mengapa ketakutan bisa menimbulkan efek sebesar itu? Kita coba berpaling sebentar ke struktur otak manusia. Otak kita, menurut para ahli otak, terdiri dari 3 bagian: otak manusia (cerebral cortex), otak mamalia, dan otak reptilia. Fungsi-fungsi kognitif seperti pemecahan masalah dan berpikir kreatif dilakukan di cerebral cortex. Sementara otak mamalia memegang kendali atas emosi-emosi kita, dan naluri dasar kita untuk mempertahankan hidup dan berkembang biak terletak di bagian otak reptilia. Cerebral cortex dan otak mamalia dihubungkan oleh apa yang disebut sebagai RAS (reticular activating system). RAS inilah yang menentukan otak mana yang akan aktif dengan memakai mekanisme mirip dengan tombol lampu.
Tombol RAS tersebut akan diaktifkan bila salah satu dari dua kondisi ini terjadi: pada kondisi yang sangat emosional dan pada kondisi rileks. Pada saat kita terlalu emosional (dan ketakutan adalah salah satu emosi yang paling kuat), RAS akan menurunkan aktivitas cerebral cortex kita dan mengaktifkan otak mamalia kita. Pada saat ini, kegiatan kognitif akan sangat minimal. Sebaliknya ketika kita santai, RAS gantian akan mengaktifkan cerebral cortex dan menonaktifkan otak mamalia.
Dengan pengetahuan tersebut, kita sekarang tahu bahwa bila kita ingin kreatif dan berpikir jernih, apa yang harus dilakukan adalah mengusir jauh-jauh ketakutan dan menciptakan lingkungan yang santai. Tantangan bagi para pemimpin perusahaan yang ingin meningkatkan kreativitas dan laju inovasi perusahaannya adalah tentu saja melakukan kedua hal tersebut pada skala yang luas. Pemimpin bukan saja harus mengusir ketakutannya sendiri, tetapi juga ketakutan seluruh bawahannya.
Memang sebagian akar ketakutan bisa dilacak pada kepribadian karyawan (terutama yang introvert dan kurang percaya diri), namun konteks perusahaan juga memegang peranan yang sangat penting. Tingkah laku atasan yang paling kecil sekalipun, seperti mengerutkan kening atau menaikkan alis, mampu membuat karyawan yang sudah terlanjur membuka mulut merasa menyesal. Mereka akan memberitahu rekan kerja mereka apa yang telah terjadi karena membuka mulut, dan dalam waktu singkat pengalaman seorang akan menjadi pengetahuan bersama.
Di sisi lain, bila atasan bersedia meluangkan waktu 2-3 menit setiap hari untuk menegur seorang karyawan dan mendengarkan usulan mereka dengan bersungguh-sungguh, tindakan tersebut akan memberi dorongan karyawan lain untuk membuka diri dan menyumbangkan pemikiran mereka. Bila sebagai pemimpin perusahaan Anda keberatan membayar konsultan yang mahal, cobalah menghilangkan ketakutan dari perusahaan Anda. Niscaya Anda akan tetap mendapatkan saran-saran berharga tanpa pengeluaran tambahan.
* dikutip dari http://www.itpin.com/blog/2006/09/26/ketakutan-kreativitas-dan-inovasi/
Prospek Penggunaan Teknologi Seluler dalam Dunia Pendidikan
Luasnya adopsi TS juga dimanfaatkan oleh kalangan pendidikan. Anda mungkin pernah mendengar bahwa berkat TS proses pengecekan nilai perkuliahan atau rekap kehadiran dapat dilakukan hanya dengan mengirimkan SMS. Beberapa detik kemudian informasi yang diminta sudah muncul di layar handphone. Modus umum lainnya yaitu berupa pengumuman akademik; entah itu pengumuman jadwal kuliah, pengumpulan tugas, jadwal libur, dan lain sebagainya. Jadi, penggunaan TS kebanyakan memang masih sebatas untuk mendukung administrasi akademik. Lalu, bagaimana halnya kontribusi TS untuk membantu siswa memahami pelajaran?
Posisi Information & Communication Technology (ICT) dalam proses belajar adalah sebagai alat bantu, bukan segalanya. Sebagai alat bantu, ICT bisa berperan sebagai:
1.wahana untuk menyampaikan materi pembelajaran, atau
2.lingkungan interaksi virtual antara siswa, pengajar, dan civitas lainnya.
Begitu pula halnya dengan peran TS (mengingat TS merupakan salah satu bentuk ICT).
Pada kasus pertama, peran TS adalah memudahkan siswa mengakses internet. Seperti Anda ketahui, melalui internet berbagai format file berisi materi pembelajaran bisa dikirimkan dengan mudah. Dengan TS, siswa yang tinggal di daerah relatif terpencil dapat terhubung ke internet cukup dengan menghubungkan komputernya ke handphone. Dibandingkan dengan teknologi fixed telephone (melalui kabel), jelas TS lebih instan. Untuk menjadi pelanggan jaringan TS sangat mudah : cukup dengan membeli kartu perdana. Apalagi didukung dengan semakin terjangkaunya harga handphone.
Pada kasus kedua, TS dapat menghubungkan siswa, pengajar, dan civitas lainnya secara instan. Melalui jaringan nirkabel, siswa bisa berinteraksi dengan pengajar melalui panggilan suara biasa (voice call), Short Messaging Service (SMS), Multimedia Messaging Service (MMS), bahkan dengan dimulainya era 3G, melalui telepon video siswa dapat berbicara dengan pengajar layaknya tatap muka langsung. Belum lagi mengingat bahwa TS bisa menghubungkan siswa ke Internet dimana Internet sudah lama dapat digunakan sebagai platform interaksi virtual. Contohnya : melalui TS Anda bisa menggunakan fasilitas messaging (seperti Yahoo Messanger) untuk berdiskusi sambil Anda beraktivitas dimana pun.
Penggunaan TS secara luas dalam membantu proses belajar harus berhadapan dengan beberapa kendala. Pertama, belajar adalah proses iteratif dan intensif sehingga pengguna TS untuk pendidikan harus berpikir keras perihal tarif jaringan yang dikenal tidak murah. Tantangan kedua adalah keterbatasan kemampuan perangkat bergerak. Idealnya materi pembelajaran dan interaksi dengan civitas dapat diakses melalui perangkat bergerak tanpa perangkat tambahan lainnya. Pengajar harus jeli memanfaatkan keunggulan dan kelemahan fitur perangkat bergerak untuk mencapai tujuan pedagogik yang telah ditetapkan. Ketiga adalah perlunya perubahan pola belajar dari yang mulanya tergantung pada pengajar menjadi bergantung pada keaktifan siswa. Dengan demikian, proses transfer pengetahuan bisa terjadi antara siswa - siswa, siswa – pengajar, baik di dalam satu institusi atau lintas institusi.
TS adalah alat bantu potensial untuk dunia pendidikan. Namun demikian, agar efektif kalangan pendidik tetap harus cermat dalam memilih teknologi yang sesuai dengan tujuan pedagogik yang telah ditetapkan.
Lika-liku Filantropi Menjadi Filantrop Berkelanjutan
Kamis, 06 April 2006
Oleh : Teguh S. Pambudi
Filantropi yang baik tidaklah mengembangkan parasitisme, tapi menumbuhkan kemandirian, meningkatkan martabat dan harga diri. Agar filantropi berkelanjutan, kuncinya adalah menciptakan kedermawanan yang terorganisasi dan profesional.
Judul di atas memang terilhami ide pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan yang memikirkan keberlanjutan generasi berikutnya. Maksud judul ini pun amat sederhana: menciptakan para filantrop yang tidak sesaat, tapi berkesinambungan. Asumsinya, selain pengertian filantrop itu sendiri begitu luhur (philos berarti cinta, antropos adalah manusia), juga lantaran banyak hal di negeri ini yang tak bisa ditunaikan dengan elegan oleh negara dan para penyelenggaranya; pengangguran; kemiskinan; kelaparan; dan problem memilukan lain di segala dimensi kehidupan.
Dengan menjadi filantrop yang berkelanjutan, diharapkan program atau aktivitas cinta manusia ini akan terus berlangsung sekalipun sang filantrop tiada. Juga, bakal melahirkan dan mengundang munculnya para filantrop baru. Dan terpenting, seperti dikatakan Eka Budianta, pengamat filantropi yang juga Advisor Direktur Utama Jababeka di Cikarang, “Membuat yang dibantu menjadi dewasa, kuat dan merdeka.â€
Lantas, bagaimana caranya untuk menjadi filantrop yang berkelanjutan itu? Bagi Eka, hal pertama yang mesti disadari adalah kegiatan filantropi sangat tak terbatas. “Banyak hal, bisa cinta kebudayaan, kesehatan, lingkungan hidup, memberantas kemiskinan, memajukan ilmu pengetahuan, meningkatkan pendidikan. Bukan sebatas membangun rumah ibadah, tapi juga memperindah laut, menyegarkan udara, bahkan melindungi hewan dan tumbuhan,†ia memaparkan. Sayangnya, Eka yang juga seorang botanis ini menilai banyak kegiatan yang justru masih terbatas pada kegiatan amal jariah bermotif agama.
“Itu saya katakan sebagai kegiatan beli paspor ke surga. Jadi dia menabung untuk kehidupan di akhirat agar masuk surga,†ujar Elan Merdy, COO Sampoerna Foundation merangkap Presiden Associaton Fundraising Professional, Indonesia Chapter. Sebagaimana Eka, kelahiran Palembang 1970, ini melihat sebagian besar kegiatan filantropi masih menyumbang untuk kegiatan keagamaan, seperti membangun tempat ibadah dan panti asuhan, serta zakat. “Yang kurang di Indonesia adalah kegiatan yang tidak berkaitan dengan agama. Semisal menyumbang untuk kegiatan pendidikan, kegiatan kampanye penanggulangan AIDS, memberikan beasiswa kepada orang yang tidak mereka kenal,†ia menandaskan.
Mengetahui betapa luasnya kegiatan filantropi bisa dilakukan, merupakan hal mendasar. Namun, itu jelas tidaklah memadai untuk menjadi filantrop yang berkelanjutan. Yang berikutnya, tandas Eka, adalah mengetahui isu mendasar dari suatu masalah yang ingin dibantu. “Misalnya jika ingin membersihkan Sungai Ciliwung, tentunya selain mengeruknya juga harus memberi advokasi agar masyarakat di sekitar tidak membuang sampah ke sungai. Dengan begitu sungai bisa terus bersih karena permasalahan mendasar teratasi,†ia menegaskan.
Dalam bahasa lain, timpal Hamid Abidin, dalam melakukan kegiatan, seorang filantrop harus berupaya turut mengatasi akar permasalahannya. “Seperti Yayasan Sampoerna yang tidak hanya memberi beasiswa tapi juga memperbaiki kualitas guru yang menjadi akar persoalan pendidikan di Indonesia. Mereka ini tidak terjebak mengatasi gejala saja,†ujar Hamid, Peneliti/Program Officer penguatan filantropi dan penguatan organisasi masyarakat sipil Public Interest Research and Advocacy Center.
Berani Mencoba |
|
|
|
|
"Seandainya kita berani mencoba dan kita lebih
tekun dan ulet, maka pasti yang namanya kegagalan itu tak akan pernah
ada." Purdi E. Chandra. ORANG bukannya gagal,
tetapi berhenti mencoba. Ungkapan ini sengaja saya kedepankan. Mengapa?
Karena sesungguhnya seseorang untuk dapat meraih kesuksesan dalam karier
atau bisnisnya, maka orang itu harus punya keberanian mencoba. Seorang entrepreneur -
dalam situasi sesulit apa pun - akan semakin tertantang untuk tidak
berhenti mencoba. Dengan kata lain “berani mencoba” dan orang yang
selalu berani mencoba itulah yang pada akhirnya justru akan meraih
kemenangan atau kesuksesan. Dalam bisnis, tampaknya kita perlu mengedepankan sikap seperti itu, dan saya kira tidak ada salahnya bila kita bersikap positif semacam itu. Berdasar pengalaman, saya melihat, bahwa seorang entrepreneur adalah orang yang tidak mudah percaya sebelum mencobanya. Meskipun ketika mencobanya, keyakinan kita hampir padam karena pasti akan diterpa ‘angin”. Dan ternyata, terpaan ‘angin” tersebut justru dapat membakar semangat kewirausahaan (the spirit of entrepreneurship) kita. Nalar bisnis (sense of business) kita semakin optimal, dan pada akhirnya, sebagai entrepreneur, kita semakin yakin akan kesuksesan yang akan kita raih. Tegasnya, keberhasilan dalam bisnis memang sangat ditentukan oleh semangat kewirausahaan kita yang tinggi. Dengan demikian sikap mencoba dan mencoba terus menerus itu akan dilakukannya. Pada akhirnya dengan sikap kita yang “berani mencoba’ itu, akan membuat kita tidak akan mudah terpuruk dengan keputus-asaan. Apalagi sampai menghancurkan hidup dan bisnis yang telah kita rintis lama. Selain itu, pikiran kita juga harus tetap diformulasikan ke arah positif. Bukan sebaliknya, suka berpikir negatif, apalagi sampai putus asa. Sikap semacam ini harus kita buang jauh-jauh. Jika pikiran kita tidak melihat hasil akhir, bahwa bisnis kita bakal sukses, maka tentu kita akan kehilangan semangat kewirausahaan. Sebab, dengan kita memiliki bayangan kesuksesan di masa depan, tentu akan dapat memotivasi kita untuk bekerja lebih giat. Bahkan, menjadikan diri kita bersikap tidak mudah putus asa. Dalam bisnis modern, kita tidak akan dapat hidup tanpa kita mempunyai sikap keberanian mencoba. Kita lihat saja, masih banyak orang yang gagal dalam usahanya, yang akhirnya putus asa tanpa mampu lagi berbuat sesuatu, tanpa berani mencoba lagi. Sikap semacam itu jelas akan merugikan kita, bukan saja dari aspek materi atau finansial saja, tapi juga dari aspek psikologis. Oleh karena itu, walaupun di masa krisis, sebaiknya kita harus tetap menjadi entrepreneur yang memiliki semangat kewirausahaan yang tinggi. Kita juga harus punya keyakinan, bahwa sesungguhnya seseorang itu tidak ada yang gagal dalam bisnisnya. Mereka yang gagal hanyalah karena dia berhenti mencoba, berhenti berusaha. Seandainya kita berani mencoba, dan kita lebih tekun dan ulet, maka pasti yang namanya kegagalan itu tidak akan pernah ada. Artinya, dengan kita mau berjerih payah dalam berusaha, tentu kita akan menuai keberhasilan. Untuk itu, kita harus berani mencoba. Sebab, tidak satu pun di dunia ini, termasuk di dalam dunia entrepreneur yang dapat mengantikan keberanian mencoba. Dengan bakat bisnis? Tidak bisa. Sebab orang berbakat yang tidak berhasil meraih sukses banyak kita jumpai. Bagaimana dengan kejeniusan seseorang? Juga tidak. Sebab kejeniusan yang hanya dipendam saja, itu sama saja dengan omong-kosong. Tergantung pendidikannya juga tidak. Sebab di dunia ini sudah penuh dengan pengangguran yang berijazah sarjana. Dan ternyata, hanya dengan keberanian mencoba dan mencoba itulah yang dapat menentukan kesuksesan bisnis kita. |
Berani Merantau |
|
|
|
"Kita itu memang harus, punya keberanian
merantau. Sebab, dengan keberanian
Bahkan, orang Cina pun banyak yang
sukses ketika dia merantau keluar negeri. Dan, tak sedikit pula, orang
Jawa yang sukses sebagai transmigran di Sumatera. Juga banyak orang dari
luar Jawa yang sukses bisnisnya ketika merantau di Yogyakarta. Tapi
banyak juga orang Yogya yang sukses menjadi pengusaha atau merintis
kariernya, ketika merantau di Jakarta. Hal itu wajar terjadi, karena
orang-orang tersebut memang punya Sebenarnya, apa yang diungkapkan di atas hanyalah
sekedar contoh, bahwa orang Menurut saya, keberanian merantau itu perlu kita miliki, karena dengan merantau berarti kita berani meninggalkan lingkungan keluarga. Sebab, ketika kita berada di lingkungan keluarga, meskipun kita sudah tumbuh besar atau dewasa, namun tetap dianggap sebagai anak kecil. Sehingga, hal itu akan membuat kita tergantung dan tidak mandiri. Akibat dari itu sangat jelas, kita mudah patah semangat atau putus asa. Tidak berani menghadapi tantangan atau risiko bisnis. Kita pun akan mudah tergantung pada orang lain. Tapi beda halnya. kalau kita berani merantau. Hal itu berarti kita siap menjadi “manusia baru”. Kita harus siap menghadapi lingkungan baru, yang barangkali tak sedikit tantangan yang harus dihadapi. Dan, jika saat dulu kita belum tahu apa sebenarnya kelemahan kita, maka dengan merantau hal tersebut bisa diketahui. sedikit demi sedikit kelemahan tersebut akan kita perbaiki di tanah perantauan. Itulah sebabnya mengapa saya yakin, keberanian merantau yang membuat kita punya jiwa kemandirian itu, akan membuat kita lebih percaya diri dalam setiap langkah dalam bisnis maupun karier. Jadi singkatnya, merantau itu akan membuat kita berjiwa “tahan banting”. Katakanlah, kalau usaha kita ternyata jatuh dan gagal, kita tidak terlalu malu, toh itu terjadi di kota lain. Dengan kata lain, berusaha di kota lain akan mengurangi beban berat, bila dibandingkan dengan merintis bisnis di kota kita sendiri. Selain itu, keberanian merantau ke daerah lain, akan membuat kita dapat menyelesaikan persoalan sendiri. Bahkan, kita akan merasa tabu terhadap bantuan orang lain. Kita ada rasa untuk tidak mau punya hutang budi pada orang lain. Oleh karena itulah, saya berpendapat, bahwa sesungguhnya ke-mandirian itu adalah semangat paling dasar dari kita untuk bisa meraih kesuksesan. Dan, alangkah baiknya jika sikap mandiri semacam itu bisa kita bentuk sejak kita masih sekolah. Maka, jika kita ingin menjadi entrepreneur yang mampu meraih sukses dan “tahan banting”, salah satu kuncinya adalah kemandirian itu sendiri. Dan, kemandirian akan muncul jika kita berani merantau. Buktikan sendiri.
|