Refleksi dan Resolusi
The Power of Idea
Bagaimana Menjadi Pribadi yang Optimis
Killer Statement
Membersihkan Sampah Kehidupan
Mengekspresikan Emosi
212 Extra Degree Extra Effort
Emotional Quotient dan Pengalaman
Manage Your Energy
Langkah Langkah Membangun Kecerdasan Emosi
Empat Tipe Manusia Menghadapi Tekanan Hidup
Permasalahan Dalam Kehidupan
Social Intelligence II
Neuro Psycho Imunologi
Do Customer Buy Because of Price Only?
Behave Like A Profesional Doctor
PEOPLE BUY VALUE NOT PRICE ONLY
THE BENEFITS TO DO TERRITORY MANAGEMENT
Why Do Some People Persist and Some Quit III
Why Do Some People Persist and Some Quit II
Why Do Some People Persist and Some Quit
Three Options Opportunnity to Create Reputation
Winner For Leader
Leading in Crisis Situation (I)
People of Influence Are Successful. Are You The One of Them ?
Leading in Crisis Situation (II)
Welcome To The Era of Economy Crisis : What Do You Do Then?
The Power of Preparation in Selling II
The Evolution of Sales Orientation
Leadership Factors in Sales Management II
Leadership Factors in Sales Management
How To Do A Smart and Effective Sales Training II - Interaksi
How To Do A Smart and Effective Sales Training II
How To Do A Smart and Effective Sales Training
How To Propose An Additional Sales Staff Professionally
How To Earn Your Trust From Your Prospect
9 Manfaat Perencanaan Bisnis
Tips Membangun Jiwa Usaha Entrepreneur
1. Sugesti diri pribadi.
Berkatalah selalu "aku bisa... aku bisa..!!" sekuat dan sekencang mungkin, apalagi ketika kita berada pada kondisi ketakutan dan ketidakmampuan. Sugesti ini akan menimbulkan energi positif dalam pribadi dan membuat kita menjadi berpikir positif dan berani menghadapi tantangan. Akan lebih baik lagi jika teriakan ini diikuti oleh gesture tubuh yang menunjang. Seperti, dada dibusungkan, kaki berdiri lurus, tangan mengepal ke udara, dan segala sesuatu yang membuat kita lebih nyaman dan lebih bersemangat.
2. Berkumpullah bersama pengusaha untuk mengatahui seperti apa dunia kewirausahaan itu.
Tak kenal maka tak tahu, tak tahu maka tak sayang. Ungkapan ini tepat untuk menggambarkan tips yang dijelaskan di atas. Dengan berkumpul dengan pengusaha website murah, maka kita akan tahu seperti apa dunia usaha yang sebenarnya, sehingga argumen2 yang menggejolak di dalam diri kita akan terkoreksi ketika mengetahui seperti apa dunia wirausaha yang sebenarnya.
3. Kalau belum berani mengeluarkan modal untuk memulai berwirausaha, kenapa tidak mencoba menghilangkan ketakutan itu??
Kebanyakan orang takut berwirausaha karena mereka takut uang mereka akan menjadi miskin, atau mereka akan dijerat mafia dunia bisnis, atau waktu mereka akan banyak tersita, dan alasan2 lainnya. Bagaimana jika kita berhasil mengalahkan ketakutan yang lebih mengerikan dibanding ketakutan yang muncul ketika berwirausaha? Sebagai contoh, jika kita takut kehilangan uang, apa yang membuat kita lebih takut dibanding kehilangan uang? Mungkin reputasi? atau istri? Mungkin nyawa? Bagaimana jika kita mengatasi ketakutan2 itu dulu? Seandainya kita lebih takut kehilangan reputasi ketimbang kehilangan uang. Lakukanlah hal2 yang membuat kita beresiko kehilangan reputasi, seperti berperilaku bagai orang gila. Seandainya perasaan kita tidak merasa takut setelah melakukan hal tersebut, maka tentu kita tak akan takut lagi kehilangan??
4. Perbanyak bahan referensi entrepreneurship.
Agar kita lebih yakin untuk melangkah, kita butuh buku panduan . Dengan buku panduan, selain kita lebih yakin, kita juga menjadi lebih berani dalam mengambil keputusan dalam dunia usaha kosmetik wajah. Ketakutan kita juga akan semakin berkurang dikarenakan kita telah menguasai buku panduan kita dalam mengarungi samudera entrepreneurship.
5. Jangan cuma diam dan membaca, Lakukan sekarang!!
Ada pepatah yang bilang, seseorang pasti bisa kalau dipaksa. Sebenarnya segala ketakutan anda mengenai dunia usaha perlahan pasti akan luntur seandainya anda langsung mencoba terjun untuk berwirausaha cth menjadi penerbit majalah. Perlahan tapi pasti anda akan mengerti bagaimana cara me-manage segala ketakutan dalam dunia usaha sehingga kita lebih berani.
Masih takut ber-wirausaha??
Entrepreneurship
Oleh: Budi Rahardjo
Artikel ini ditulis sebagai jawaban atas pertanyaan pak Zainal Abidin (Dosen Mesin ITB) yang dilontarkan di mailing list Dosen ITB. Pertanyaan itu sendiri muncul sebagai respon terhadap komik saya tentang kuliah Konsep Teknologi yang kami (4 dosen) ajarkan dimana pak Buntoro (sebagai tamu) mengatakan "Jangan Pernah Menulis Lamaran. Jadilah Entrepreneur!" Apakah ajakan ini bijaksana? demikian pertanyaan pak Zainal. Kemudian ada pertanyaan-pertanyaan lain yang saya akan coba jawab dalam tulisan ini.
Ternyata menulis artikel singkat ini membutuhkan waktu yang lumayan lama. Saya terpaksa menyingkir ke Starbucks (Ciwalk, Bandung) untuk mencoba menuliskan artikel ini. Writing gears saya dapat dilihat pada gambar di samping ini. Lihat iPod nano di sebelah kiri. Satu jam kemudian, artikel ini belum selesai juga. Kemudian saya pindah ke food court dari Ciwalk. Sambil makan, saya teruskan menulis artikel ini. Waktu ini belum termasuk untuk membuatnya dalam format yang lebih menarik seperti ini. Secara keseluruhan mungkin dibutuhkan waktu tiga jam untuk menulis artikel ini.
Baiklah, kita mulai.
Pak Zainal Abidin: "Saya justru menganjurkan lulusan untuk bekerja dulu di industri beberapa saat sebelum menjadi enterpreneur, karena ... (dihapus) biar punya modal, ... (dihapus) memiliki pandangan barang yang dibutuhkan oleh industri, ... (dihapus) mengenal pembeli, pensuplai, tenaga ahli yang diperlukan, dan cara pemasaran."
Tunggu sampai lulus dan bekerja dulu?
Apa yang dikatakan bapak benar, akan tetapi mengapa harus menunggu sampai mahasiswa lulus? Semestinya hal-hal mengenai entrepreneurship ini harus dimulai sebelum mereka lulus (ketika menjadi mahasiswa) atau bahkan tidak perlu lulus (drop out)! Ketika kampus tidak memberikan kemudahan untuk bereksperimen dalam entrepreneurship (dan lebih menekankan kepada kuliah kelas) maka drop out mungkin merupakan sebuah alternatif yang lebih menarik. Banyak contoh di luar negeri dan bahkan di Indonesia yang drop out dan sukses. How deep is your passion in your dream?
Mohon tulisan ini jangan dianggap sebagai ajakan atau legitimasi untuk dropout. Sebagai orang tua, saya pun tidak ingin anak saya drop out karena pendidikan dan lingkungan kampus dapat memberi banyak manfaat. (Asumsi saya kampus memang kondusif untuk entrepreneurship. Mengenai kebenaran asumsi ini akan kita bahas di bawah.)
Entrepreneurship dapat dimulai ketika masih menjadi mahasiswa, seperti mengerjakan cucian untuk kawan, membantu tutorial, dan sebagainya. Namun bapak menggelishkan bahwa semestinya anak didik kita (lulusan ITB) bergerak di usaha dalam bidangnya.
Apabila entrepreneurship baru dimulai setelah mahasiswa lulus, dan kemudian bekerja, maka berapa tahun lagi baru dia bisa memulai. Kesuksesan dalam segala hal membutuhkan waktu. Skill membutuhkan waktu untuk diasah. Intuisi membutuhkan waktu dipertajam. Saingan mahasiswa tersebut sudah mulai.
Aspek finansial
Dalam tulisan lain tentang entrepreneurship dan start-up saya katakan bahwa aspek finansial ini bukan masalah yang paling utama saat ini. Bukan berarti dia tidak penting, akan tetapi bukan masalah yang utama saat ini. Banyak orang yang datang ke saya karena kebingungan kemana uang mereka harus diinvestasikan.
Lihat tulisan di sini: http://budi.insan.co.id/start-up/articles/pendanaan.html
Masalah utama saat ini adalah mencari orang (SDM) yang kompeten untuk menjalankan usaha. Kompeten di sini maksudnya bukan dalam hal teknis saja, akan tetapi lebih kepada "dapat diandalkan".
Banyaknya kegagalan
Saya rasa dari 10 (atau bahkan 100) perusahaan yang berdiri hanya 1 yang dapat bertahan setelah 5 tahun (CMIIW). Apalagi menghadapi krisis ekonomi semacam ini.
Jadi bagaimana sebaiknya? Kita tidak usah mendirikan perusahaan dan membuka lapangan pekerjaan? Biarkan orang lain saja yang mengambil resiko? Lulusan kita sebaiknya menjadi pegawai saja? Atau lebih aman lagi, mungkin perlu kita anjurkan agar lulusan kita menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) saja?
Maaf kalau kalimat di atas menampilkan sinisme saya. Bukan maksud saya untuk mendiskreditkan seseorang atau sekelompok, akan tetapi perlu kita tegaskan kemana lulusan kita akan diarahkan. (Khususnya untuk bapak, saya bukan bermaksud menggurui.)
Entrepreneurship memang tidak untuk setiap orang. Namun perlu kita perhatikan berapa jumlah pencari pekerjaan (termasuk lulusan perguruan tinggi) setiap tahunnya? Siapa yang akan menyerap mereka? Siapa yang mau memikirkan pembuatan lapangan pekerjaan kalau bukan kita-kita? Sayangnya kita-kita, termasuk kampusku yang tercinta, tidak terlalu peduli. Business as usual.
Entrepreneurship dan Kampus
Apa itu entrepreneurship? Saya tidak tahu karena tidak pernah diajarkan di kampus.
Pembahasan mengenai entrepreneurship itu sendiri bisa menjadi satu buku. Bahkan sudah ada buku-buku yang membahas hal tersebut. Tulisan ini tidak bermaksud menguraikn definisinya. Mungkin di lain tulisan akan saya jawab. Saya lebih tertarik ingin mengomentari kalimat di atas.
Tepat sekali, saat ini memang kampus kita (ITB) belum mampu mengajarkan entrepreneurship. Padahal saya pernah mendengar rencana ITB untuk menjadi entrepreneurial university setelah menjadi research university. Untuk sementara ini bisa saya katakan bahwa ini masih mimpi. Jika tidak diajarkan di university, maka dimana mahasiswa bisa belajar mengenai hal ini? Berarti mahasiswa harus belajar di luar kampus.
Selain itu, menurut pendapat saya entrepreneurship tidak hanya diajarkan di kelas saja, akan tetapi harus dicontohkan juga. Akan lebih mudah menjelaskan sesuatu jika ada contoh yang nyata. Apakah ada contoh entrepreneur sukses di kampus ITB? Tidak banyak. Bagaimana mahasiswa akan percaya kalau tidak ada contoh, dan bahkan dosennya pun hanya berteori tanpa pernah mencoba. Kalaupun mencoba, dosen ini hanya menjalankan perusahaan "ecek-ecek" yang sebetulnya hanya mengerjakan proyek-proyek saja. Ini bukan entrepreneurship yang saya pikirkan.
Sebagai bahan renungan kepada para pembaca, apa yang Anda harapkan dari mahasiswa Anda? (Tidak harus dosen, saya hanya mengunakan perumpamaan ini karena berdiskusi di milis dosen.) Bagaimana bila semua (sekali lagi, SEMUA) mahasiswa di kelas Anda menjadi persis seperti Anda? Lengkap dengan kelebihan dan kekurangannya. Bila Anda senang mroyek, maka 200 mahasiswa akan menjadi proyektan (proyektor?) semua! Bila Anda senang menipu, maka 200 mahasiswa akan menjadi penipu. Bila dalam mengerjakan proyek Anda hanya mengerjakan laporan untuk sekedar memenuhi syarat, maka 200 mahasiswa Anda akan melakukan ini juga. (Bayangkan apabila anak Anda yang menjadi client yang akan dilayani oleh didikan Anda.) Di saat yang sama, apabila Anda memberikan layanan yang terbaik kepada client Anda, maka 200 mahasiswa akan memberikan layanan yang terbaik bagi client mereka nantinya. Kampus akan mencetak mahasiswa sesuai dengan dosennya.
Kembali ke masalah entrepreneurship di kampus. Sikap kampus terhadap entrepreneurship masih belum bersahabat, dan bahkan cenderung memusuhi. Pengamatan saya menunjukan sikap permusuhan ini. (Lihat saja contoh "Air Ganesha" di ITB.) Sadar atau tidak, nuansa tidak bersahabat ini akan dirasakan oleh mahasiswa. Lupakanlah mendidik mahasiswa untuk menjadi entrepreneur dengan aroma seperti ini.
Contoh yang baik dan bersahabat dengan entrepreneurship adalah mengijinkan stafnya (dan bahkan mahasiswanya!) untuk leave of absence dalam rangka entrepreneurship. Mereka boleh kembali lagi ketika mereka gagal. Tentunya kalau mereka berhasil, mungkin mereka tidak kembali lagi sebagai staf/mahasiswa. Mereka akan kembali sebagai entrepreneur yang berhasil dan membawa kontribusi (termasuk kontribusi finansial) kepada perguruan tinggi yang bersahabat dan memberi kesempatan kepada mereka.
Penutup
Saya masih ingin mengajak mahasiswa saya untuk mulai memikirkan bagaimana menciptakan lapangan pekerjaan. Entrepreneurship harus dimulai sejak dini. Di sisi lain, saya ingin mebuka mata para dosen dan pimpinan perguruan tinggi tentang pentingnya mendukung entrepreneurship yang tidak hanya berhenti di mulut saja, akan tetapi juga pada action. Jika ini pendekatan yang salah, mari kita diskusikan lebih lanjut.
Mendanai Start Up
Oleh: Budi Rahardjo
Banyak orang yang beranggapan bahwa masalah utama dalam mendirikan sebuah perusahaan start up adalah aspek pendanaan. Memang aspek pendanaan merupakan aspek yang penting, akan tetapi dia bukan aspek yang nomor satu menurut pandangan saya. Aspek lain yang lebih penting adalah ide dan SDM. Tapi, baiklah kita bahas aspek pendanaan ini.
Sumber pendanaan dari pendirian perusahaan start up ada banyak, antara lain: angel investors, institutionalized investors, dan bursa saham. Perlu diingat bahwa pinjam uang dari bank, bukan merupakan alternatif dalam mendirikan start up.
Angel investors
Angel investors adalah investor yang merupakan orang tua, saudara, teman, temannya teman, dan seterusnya. Pada prinsipnya adalah orang yang kenal dan mau melakukan investasi berdasarkan kepercayaan. Apakah ada orang semacam ini di Indonesia? Banyak. Hanya, karena memang landasan utamanya adalah kepercayaan, maka Anda harus mendapat kepercayaan dari sang investor. Saya sendiri berperan sebagai angel investor untuk beberapa start up dari kawan, yang sayangnya belum berhasil.
Mengapa saya mau menjadi angel investor? Begini. Saya ambil sebuah contoh. Pada suatu hari, pak Amat datang kepada Anda. Pak Amat ini ingin membuka usaha jualan mie bakso. Anda tahu pak Amat ini memang rajin, dan memang pandai membuat mie bakso. Hanya karena dia tidak punya modal, maka dia hanya bekerja sebagai tukang masak di sebuah warung. Dia meminta bantuan Rp 500 ribu untuk membuka usahanya dan dengan tawaran bagi hasil. Apa yang akan anda lakukan? Kalau saya, saya lihat perkiraan penghasilannya (tidak perlu pakai business plan formal), dan kemudian langsung ikutan investasi. Resikonya adalah Rp 500 ribu tersebut. Nah, seperti itulah mengapa orang mau menjadi angel investor.
Institutionalized Investors
Nah, saya belum sampai pada tahap ini sehingga belum dapat memberikan cerita mengenai hal ini. Institutionalized investors adalah para investor yang tergabung dalam sebuah perusahaan yang memang fokus dalam hal investasi.Apa yang dicari oleh investor
oleh: Budi Rahardjo (aka Mr. GBT)
Sebetulnya faktor apa yang dicari oleh investor sehingga dia mau menanamkan uangnya? Berikut ini adalah pandangan saya, sebagai seorang investor dan sebagai seorang peneliti (can I say that?) mengenai starting-up ini.
Ide
Faktor yang pertama dilihat tentu saja adalah ide. Ide tersebut tidak harus advanced. Bahkan ide yang terlalu "maju" mungkin malah terlalu beresiko. Beberapa perusahaan start up saya (waktu di Kanada dulu) gagal karena idenya terlalu maju. Ahead of its time.
Ide yang biasanya menarik adalah ide yang menjawab sebuah permasalahan. Necessity is the mother of invention. Biasanya permasalahan tersebut adalah permasalahan yang dihadapi banyak orang, yang membuat gatel sang innovator sehingga dia menciptakan sebuah solusi.
Orang
Untuk mewujudkan ide tersebut menjadi sebuah produk atau layanan dibutuhkan manusia. Aspek manusia ini merupakan aspek yang sangat penting karena bisa saja seorang penggagas ide tidak memiliki kemampuan (atau bahkan tidak memiliki kemauan) untuk mewujudkan idenya. Dia mungkin hanya menggagas ide saja kemudian kembali "bermimpi." Nah, investor akan melihat kesungguhan dari orang-orang yang berada di belakang perusahaan yang akan didanainya. Sekedar ide yang hebat saja tidak cukup.
Sebelum melakukan investasi biasanya saya melihat siapa yang berada di belakang kegiatan itu; bagaimana kesungguhan dia? (apakah dia siang malam memikirkan dan mencoba mewujudkan mimpinya itu?) track record? (apakah dia sudah pernah mendirikan start up sebelumnya? catatan: tidak masalah jika yang sebelumnya gagal. atau sudah pernah membuat produk sebelumnya?) karakter? (apakah dia mudah diajak bicara? keras kepala? arogan? sulit diajak bekerja sama dalam sebuah tim?)
Ketika saya mendapat investasi dari investor saya, inilah yang dilihat oleh investor saya. Investor saya percaya kepada saya dan tim saya untuk menjalankan ide bisnis yang saya ajukan. Apapun yang saya ajukan kemungkinan besar akan didanai oleh dia. Tentu saja saya tidak berminat untuk mengajikan usulan jika saya tidak berminat untuk mengerjakannya. Bukan uang yang menjadi pemicu saya (dan para founder lain) untuk mendirikan start up.
Arti dari ini semua adalah investor mempercayakan uangnya kepada orang yang dia percaya (dapat mewujudkan ide tersebut). Faktor kepercayaan (trust) ini sangat penting. Biarpun ide Anda bagus dan Anda mungkin mampu untuk mewujudkannya, akan tetapi jika sang investor tidak percaya kepada Anda maka dia tidak akan memberikan dananya kepada Anda. Memang hal ini merugikan bagi kedua belah pihak, terlebih bagi sang investor karena mungkin saja Anda pergi ke investor lain dan ternyata cocok.
Starting-Up: why do we have to grow up?Originally, I was planning to write this in English. But, I thought, there's enough stories about starting-up in English that I should write this in Bahasa Indonesia instead. This is a story about growing up. About a company that refuses to grow.
Beberapa waktu yang lalu saya melihat film (belum habis) tentang Peter Pan. Di sana diceritakan tentang seorang anak yang tidak mau menjadi dewasa. He refused to grow up. Saya membayangkan hal yang sama terjadi dengan perusahaan saya (INDO CISC) yang saat ini sedang tumbuh dari "taman kanak-kanak" menjadi "dewasa".
Perusahaan kami masih kecil. Saat ini baru berisi 8 orang. Pekerjaan utama kami adalah melakukan audit teknologi di bidang {network, information} security. (Sangat menarik, atau tepatnya ... lucu, melihat perkembangan akhir-akhir ini setelah situs KPU dihacked. Banyak yang tiba-tiba menjadi jagoan security.) Setelah beberapa tahun mencoba meyakinkan berbagai industri bahwa masalah keamanan merupakan masalah yang harus mendapat perhatian, baru tahun terakhir ini kami mendapat banyak pekerjaan. Kami pun mulai bersaing dengan perusahaan asing! (No need to mention names.) We know that we can beat them.
Waktunya untuk berkembang. It's time to grow up. Tapi, mengapa kita harus berkembang? Kami ingin tetap di taman kanak-kanak!
Tapi, menjadi dewasa bukanlah hal yang mudah. Sangat menakutkan. Terlebih-lebih setelah saya banyak membaca cerita-cerita "kegagalan" perusahaan start-up untuk menjadi lebih besar. Salah satu artikel yang baru saja saya baca adalah tulisan dari Eve Andresson yang berjudul Diary of a Start-Up: the rise and fall of ArsDigita and lessons from the world of venture capital. Artikel ini (dan link-link yang berhubungan dengan polemik atas tulisan tersebut) menceritakan pengalaman buruk mereka dalam mengembangkan perusahaan ArsDigita. Sekarang perusahaan ini sudah ambruk.
Selain artikel itu saya juga sudah baca buku tentang Jim Clark ("The New New Thing") yang mendirikan Silicon Graphics dan Netscape, atau cerita tentang berdirinya Cisco (anda tahu siapa pendiri Cisco? yang pasti bukan Chambers). Intinya sama. Tidak selamanya pendiri mendapatkan "kemenangan". Seringkali mereka ditendang dari perusahaan yang mereka dirikan. Ini membuat saya ketakutan.
Di satu sisi, tidak mungkin kita tetap di taman kanak-kanak. Suatu saat harus naik kelas menjadi SD, SMP, SMA, dan mahasiswa. Tapi dunia taman kanak-kanak sangat menyenangkan. Mengapa harus kita tinggalkan?
Saat ini bekerjan di perusahaan kami ini sangat menyenangkan. Saya takut membuatnya menjadi "kantoran". Bagaimana saran anda?