Video Betti
Ngamen
untuk Anak Jalanan
Manusia,
Kota, dan Etos Pembangunan
Oleh: Jansen H.
Sinamo
To change life, we
must first change space
- Henri Lefebvre, French writer
Meskipun Homo sapiens sudah jadi spesies unggul sejak
40.000
tahun yang silam tetapi kota sebagai bentuk organisasi
sosial
baru muncul kurang dari 10.000 tahun yang lalu. Sebelum
itu,
manusia hidup sebagai kelompok-kelompok nomaden yang
terus
bergerak sebagai pemburu dan pengumpul hasil-hasil alam
untuk
makanan mereka. Kelompok-kelompok itu belum memiliki
pemukiman
karena mereka belum sanggup melumbungkan surplus makanan
secara
memadai. Hidup mereka sangat marjinal: bertahan hari
lepas hari
melulu oleh kemurahan alam.
Namun selepas itu, di berbagai wilayah di dunia, gejala
kota
akhirnya muncul juga ketika jumlah anggota
kelompok-kelompok
nomaden itu terus bertambah dan mulai bermukim. Hal ini
dimungkinkan oleh tiga faktor: ketersediaan pangan di
wilayah
itu, bertambah baiknya pengorganisasian kerja di dalam
kelompok-kelompok itu, dan berkembangnya pertukaran
komoditas
atau perdagangan antarkelompok.
Ketersediaan pangan di berbagai wilayah yang disebut di
atas
terjadi karena iklim Bumi semakin hangat. Sesudan zaman
es
terakhir – diperkirakan usai sekitar 13.000 tahun silam –
tanah
terus menghangat sehingga memunculkan banyak tumbuhan
baru,
khususnya berbagai jenis tanaman pangan. Inilah awal
zaman
pertanian. Lumbung-lumbung dibangun untuk menampung
surplus
pangan itu. Hewan-hewan liar dijinakkan dan diternakkan,
terutama kambing, domba, kuda, kerbau, dan sapi.
Teknologi
pengolahan tanah berkembang dengan memanfaatkan tenaga
hewan-hewan itu. Semua itu menyumbang terhadap surplus
pangan
lebih lanjut. Akibatnya, pemukiman semakin berkembang
dan
semakin terjamin (sustainable), jumlah penduduk
bertambah karena
semakin cukup makan, dan ragam pekerjaan non-petani pun
bertambah pula seperti seniman, ahli bangunan, ahli
irigasi,
tukang, pedagang, dan lain-lain. Singkatnya, proto-kota
pun
lahir.
Diversifikasi sosial juga muncul. Lahirlah kelas elit:
para
penakluk, kaum bangsawan, dan agamawan yang memerintah
dan
menentukan tata kehidupan bersama dalam kelompok itu.
Mereka
jadi kelas penguasa atas kaum tani, penata irigasi,
gembala,
pedagang, tukang, dan seniman. Demi keperluan hidup
bersama dan
kelanggengan kelas penguasa itu dibangun dan
diperkenalkanlah
bangunan-bangunan publik, tata upacara dan peribadahan,
alat
tukar, sistem perpajakan, dan metoda akumulasi kekayaan.
Pasar pun lahir. Perdagangan pun marak. Kota pun kian
berkembang.
Aksara juga ditemukan, demikian pula ilmu-ilmu hitung
dan ukur
yang dipakai dalam perdagangan, pembangunan irigasi,
pertukangan,
dan pembangunan kota. Ilmu-ilmu prediktif juga muncul
untuk
menentukan musim tanam, musim panen, hari-hari raya, dan
saat
untuk berperang. Lahir pula ekspresi seni dalam
arsitektur kota
dan bangunan-bangunan publik. Maka kota pun semakin
ramai.
Demikianlah kota Yeriko muncul di wilayah Palestina yang
sekarang sekitar tahun 7000 SM yang tumbuh dari desa
menjadi
kota dengan sekitar 3.000 penduduk.
Antara tahun 4000-3500 SM kota besar pertama dengan
populasi
sekitar 25.000 muncul di wilayah Mesopotamia, di lembah
sungai
Tigris dan Eufrat: Babel dan Niniwe. Kotanya sudah
berkubu.
Rumah-rumah dibangun dengan batu-bata yang terbuat dari
lempung
yang dibakar. Meski jalan-jalannya naik-turun-berkelok,
sempit,
dan tanpa perkerasan yang memadai, mereka sudah memakai
alat
angkut beroda.
Di Mesir, di sepanjang lembah sungai Nil, kota sudah ada
sejak
tahun 3300 SM seperti Tmn-Hor, Tell al-Rub, Pr-Bastet,
Hwt-ka-Ptah, To-She, Akhetaten, dan Kemet. Tetapi kita
lebih
tahu tentang piramid-piramid Mesir daripada kota-kota di
atas.
Di India ada dua kota utama, Harappa dan Mohenjo-Daro,
yang
muncul sekitar tahun 2500 SM. Jalan-jalannya lurus
sehingga
membentuk blok-blok pemukiman berbentuk segi empat.
Sudah ada
sistem pembuangan sampah dan air limbah. Inilah kota
pertama
yang menujukan tanda-tanda pembangunan yang berencana.
Barat
kota adalah pusat religius, politik, dan pendidikan.
Petani
tinggal di luar tembok kota dekat perladangan. Kelompok
miskin
menempati pinggir kota tetapi masih berada di dalam
tembok.
Pedagang dan seniman tinggal di dekat pusat kota,
sedangkan
bangsawan, agamawan, dan punggawa kerajaan menempati
wilayah
pusat.
Di Yunani kota muncul di sekitar tahun 2000 SM seperti
Sparta,
Thebes, Argos, Delphi, dan Olympia. Athena jadi kota
utama
sekitar tahun 800 SM. Struktur kotanya berbentuk
lingkaran.
Jalan-jalannya berpangkal dari pusat dan memencar keluar
secara
radial. Bagian-bagian kota juga memencar dari pusat
sehingga
setiap kelompok penduduk merasa tinggal dengan jarak
yang sama
dari pusat kota.
Di Cina kota muncul antara tahun 2000-1500 SM seperti
Chang'an,
Fanyang, Jiankang, Lingzhou, Xiangyang, Yinxu, dan
Zhaoge.
Kota Roma dibangun antara 700-600 SM. Kelak, ketika
kekaisaran
Romawi semakin berjaya Roma pun menjadi kota
internasional
pertama di dunia.
Di Amerika Tengah (Meksiko, Guatemala, Honduras, dan El
Salvador) kota-kota mulai tampak pada sekitar tahun 200
SM.
Di Eropa kota-kota bermunculan mulai abad ke-4 dan satu
per satu
menjadi kota industri sejak abad ke-18. Inilah permulaan
kota-kota modern yang kita kenal sampai sekarang.
Sesudah itu,
gejala desa yang mengalami proses kotanisasi merambah
dengan
cepat ke seluruh dunia. Dan urbanisasi pun menjadi
sebuah gejala
global. Kini dunia telah memiliki ratusan kota raksasa:
metropolitan dan megapolitan.
Kota Raja, Kota Tuhan
Tidak banyak kota yang
diketahui siapa arsitek pembangunannya?
Hal ini wajar sebab fenomena kota sebenarnya lebih masuk
akal
difahami sebagai fenomena “emergence”, dimana pemukiman
kecil
berubah jadi desa, berkembang perlahan-lahan, dan
akhirnya
menjadi kota; daripada fenomena arsitektur, dimana
seorang
arsitek agung merancang, merencanakan, dan membangun
sebuah kota
dari nol sampai selesai.
Tetapi ada kekecualian. Tradisi menyebutkan kota Babel
dibangun
oleh raja Sargon (hidup sekitar abad ke-24 SM). Neo
Babel
dibangun (mungkin lebih tepat diperluas dan ditata
ulang) oleh
raja Nebukadnezar (630-562 SM). Kitab Daniel dalam
Perjanjian
Lama mencatatnya sebagai berikut: “Semuanya itu terjadi
atas
raja Nebukadnezar; sebab setelah lewat dua belas bulan,
ketika
ia sedang berjalan-jalan di atas istana raja di Babel,
berkatalah raja: “Bukankah ini Babel yang besar itu,
yang dengan
kekuatan kuasaku dan untuk kemuliaan kebesaranku telah
kubangun
menjadi kota kerajaan?”
Legenda juga menyebutkan Roma dibangun oleh Romulus dan
menjadikannya ibukota kerajaannya.
Catatan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan adalah
kota-kota
yang dibangun oleh Iskandar Agung (Alexander the Great:
356-323
SM) dalam ekspedisi penaklukannya selama sepuluh tahun.
Di
setiap wilayah ia meletakkan rancangan, memulai
pembangunan,
atau menata ulang kota yang ditaklukkannya sesuai dengan
gaya
dan selera seni dan arsitektur Yunani. Kota-kota yang
dikaitkan
dengan jenderal akbar ini antara lain Alexandria
(Mesir),
Iskandiriyah (Irak), Alexandria Asiana (Iran),
Alexandria Ariana
(Afganistan), Kandahar (Afghanistan), Alexandria
Bucephalous
(Pakistan), Alexandria Eschate (Tajikistan), dan
Iskenderun (Turki).
Kota-kota kuno yang dibangun oleh atau atas perintah
seorang
raja mempunyai fungsi yang mirip: sebagai lumbung
kekayaan,
pusat kekuasaan, dan lambang kemuliaan, bahkan sebagai
kota
Tuhan. Babel atau Babylon misalnya, nama kota itu
berasal dari
bahasa Akkad babilu, yang berarti gerbang para dewa.
Dalam
paradigma kuno itu, raja umumnya dianggap sebagai
representasi
Tuhan, bahkan titisan Tuhan. Maka kota raja juga berarti
kota
Tuhan. Vatikan, Mekah, dan Yerusalem sampai hari ini
tetap
disebut kota suci bagi para pemeluk teguh agama-agama
samawi.
Namun demikian, tidak banyak kota-kota kuno itu yang
bisa
bertahan hingga kini. Tiga kota yang disebut belakangan
adalah
sedikit yang jadi kekecualian. Kebanyakan telah runtuh
dan
terbenam dalam timbunan debu tebal dari abad ke abad
sehingga
hanya para arkeolog saja yang mampu merekonstruksinya.
Problem utama kota-kota kuno itu sehingga akhirnya
ditinggalkan
warganya, kosong, dan jadi reruntuhan adalah sanitasi.
Tumpukan
sampah dan limpasan air limbah jadi sumber berbagai
penyakit
menular yang membinasakan warganya. Selain itu, api yang
tidak
bisa dikontrol marak menjadi kebakaran besar sehingga
menghanguskan seluruh kota.
Tetapi perang adalah sebab utama kehancuran kota-kota
kuno.
Yerusalem misalnya, dalam sejarahnya yang panjang sejak
abad
ke-18 SM sempat tiga kali dihancurkan: pada tahun 586 SM
oleh
raja Babel, Nebukadnezar; pada tahun 70 oleh penguasa
Romawi di
Palestina, Jenderal Titus; dan pada tahun 1480 oleh
pasukan
Mongol yang merambah dengan buas dari Asia Tengah.
Namun Yerusalem terhitung beruntung: ia selalu dibangun
kembali.
Kota-kota seperti Khartago, Sukhothai, Ayutthaya,
Mohenjo-Daro,
Harappa, Karakorum, Akkad, Ur, Babel, Niniwe,
Persepolis, Troya,
Machu Picchu, dan Pompeii kini tinggal hanya reruntuhan,
bahkan
hilang terbenam.
Berbeda dengan kota-kota kuno, problem kota-kota modern
terutama
disebabkan tekanan populasi dan manajemen kota yang
buruk. Soal
tekanan populasi ini dapat kita apresiasi dari data
berikut ini.
Jika pada sekitar tahun 8000 SM penduduk dunia hanya 100
juta,
pada permulaan abad Masehi masih 300 juta, tetapi sejak
abad
ke-19 jumlah itu meningkat dengan sangat pesat: tahun
1800 (1
milyar), tahun 1930 (2 milyar), tahun 1962 (3 milyar),
tahun
1974 (4 milyar), tahun 1987 (5 milyar), dan tahun 2000
(6 milyar).
Ketika urbanisasi berlangsung justru karena daya tarik
kota itu
sendiri maka pada titik jenuh tertentu tekanan populasi
itu
mengakibatkan komplikasi berbagai masalah bagi kota
tersebut dan
segenap warganya.
Kota Rakyat, Kota Publik
Era kota raja dan kota Tuhan berakhir sudah. Kini
kota-kota di
dunia adalah kota rakyat, kota publik, atau kota warga.
Artinya,
kota adalah urusan publik, urusan segenap warga kota.
Dikatakan
tegas: setiap kota harus mampu memenuhi aspirasi dan
kebutuhan
warganya. Dikatakan lain: kota dinilai tidak lagi
berdasarkan
selera raja, selera penguasa, tetapi dinilai berdasarkan
keterpenuhan aspirasi publik, yakni hidup yang
berkualitas bagi
segenap warga kota.
Dewasa ini, sejauh menyangkut kualitas hidup warganya,
Zurich
dan Jenewa adalah dua kota terbaik di dunia. Demikian
hasil
survei Mercer Consulting yang diterbitkan pada bulan
April 2007.
Vancouver menduduki nomor tiga dan berturut-turut
diikuti oleh
Wina, Auckland, Düsseldorf, dan Frankfurt. Penilaian itu
didasarkan atas tiga puluh sembilan determinan kualitas
hidup
manusia yang dikelompokkan dalam sepuluh kategori
sebagai
berikut:
1. Political and social environment (political
stability, crime,
law enforcement, etc.)
2. Economic environment (currency exchange regulations,
banking
services, etc.)
3. Socio-cultural environment (censorship, limitations
on
personal freedom, etc.)
4. Health and sanitation (medical supplies and services,
infectious diseases, sewage, waste disposal, air
pollution,
etc.)
5. Schools and education (standard and availability of
international schools, etc.)
6. Public services and transportation (electricity,
water,
public transport, traffic congestion, etc.)
7. Recreation (restaurants, theatres, cinemas, sports
and
leisure, etc.)
8. Consumer goods (availability of food/daily
consumption items,
cars, etc.)
9. Housing (housing, household appliances, furniture,
maintenance services, etc.)
10. Natural environment (climate, record of natural
disasters,
etc.)
Jika hal-hal di atas merupakan faktor penentu bagus
tidaknya
sebuah kota, maka dikatakan sebaliknya, secara negatif,
maka
kota yang buruk adalah kota yang...
1. fasilitas kesehatannya tidak memadai;
2. fasilitas pendidikannya tidak memadai;
3. infrastruktur dan fasilitas angkutan massalnya buruk;
4. jalan-jalan besarnya tidak memadai;
5. jalan-jalan kecil buat warga pejalan kaki tidak ada
atau
dibiarkan tak terawat;
6. kantong-kantong penduduk miskinnya banyak;
7. keamanannya rendah atau sudut-sudut kota tertentu
keamanannya
rendah;
8. kelompok-kelompok premannya yang memeras warga kota
banyak;
9. keterlibatan warganya dalam memelihara fasilitas kota
rendah;
10. ketersediaan air bersih, listrik, dan teleponnya
rendah;
11. korupsi di jawatan-jawatan publik di kotapraja
tinggi;
12. kotanya semrawut, tidak ada zonasi kota yang
terencana dan
tersistem;
13. peredaran dan penggunaan narkoba dan minuman keras
tidak
terkontrol;
14. permusuhan dan perkelahian antarkelompok warga kota
tinggi;
15. sektor kumuhnya banyak;
16. tingkat kemacetannya tinggi;
17. tingkat krimininalitasnya tinggi;
18. tingkat penganggurannya tinggi;
19. tingkat polusinya tinggi; dan
20. wilayah lampu merah dan perjudiannya berkembang
tidak
terkontrol.
Pengembangan Kota dan Etos Pembangunan
Meskipun kota-kota modern kini adalah kota publik,
urusan publik,
dan bukan kota raja apalagi kota Tuhan, tapi secara
politik
warga kota kemudian menyerahkan tanggungjawab
pemerintahan dan
manajemen kota mereka kepada seorang walikota melalui
proses
pemilihan umum. Itu berarti walikota adalah orang yang
menjadi
wali-pemegang-amanah seluruh warga kota agar kota mereka
dikelola menjadi kota yang baik.
Selanjutnya, proses, program, dan proyek untuk
mewujudkan
aspirasi seluruh warga kota itu secara teknis diserahkan
kepada
para kontraktor pembangunan dan pemeliharaan kota.
Tetapi secara profesional semua aspirasi warga kota di
atas
diserahkan kepada para arsitek. Inilah sebuah profesi
yang
semakin penting peranannya dalam menjawab
masalah-masalah
perkotaan dan pemukiman di seluruh dunia.
Tri Harso Karyono, guru besar arsitektur Universitas
Tarumanagara dan peneliti utama pada Balai Besar
Teknologi
Energi (B2TE BPPT), Serpong, dalam artikelnya “Pemanasan
Bumi
dan Dosa Arsitek”, di harian KOMPAS, Selasa, 11
September 2007,
mengatakan: Arsitek berperan besar dalam [pemanasan]
Bumi.
Kekeliruan tangan arsitek akan memanaskan Bumi dan
berpotensi
lebih besar membasmi manusia dibandingkan dengan
kemampuan
teroris.
Sedemikan dahsyat peran arsitek modern bagi kehidupan
manusia
sebagaimana dikatakan Tri Harso Karyono di atas, maka
tidak
berlebihan jika peran arsitek itu dapat saya ungkapkan
bagi
kehidupan sebuah kota sebagai berikut: Arsitek berperan
besar
dalam menentukan hitam putihnya sebuah kota. Kekeliruan
tangan
arsitek akan menghancurkan sebuah kota dan berpotensi
membuat
kota itu menjadi kota setan.
Semakin krusial peranan suatu profesi dalam masyarakat,
semakin
penting pula profesi itu merumuskan etosnya, menegakkan
etos itu,
dan menghukum anggota profesi yang melanggarnya. Hanya
dengan
demikian sebuah profesi punya tempat yang terhormat
dalam
masyarakat. Sejumlah profesi sudah melakukannya: dokter,
wartawan, dan pengacara. Ciri khasnya: mereka punya
asosiasi
profesi, dan dalam tubuh asosiasi itu terdapat sebuah
dewan
kehormatan sebagai mahkamah tertinggi dalam penegakan
etos
profesi itu.
Sekarang, marilah kita selidiki serba sedikit tentang
etos ini.
Dengan memeriksa sejumlah kamus, kita akan menemukan
bahwa etos
adalah sebuah kata yang memiliki banyak makna, antara
lain: (a)
esprit d’corps; (b) karakter, keyakinan, dan hakikat
moral dari
seseorang, sekelompok orang, atau sebuah institusi; (c)
kode
perilaku suatu perusahaan yang menentukan cara bagaimana
mereka
memperlakukan karyawannya, pelanggannya, lingkungannya,
serta
tanggungjawab-tanggungjawab legalnya; (d) spirit khas
suatu
budaya atau era; dan masih banyak lagi.
Tapi untuk keperluan seminar ini saya memilih
mengartikan etos
sebagai sebuah rumusan yang disepakati bersama tentang
apa yang
dianggap paling penting oleh sekelompok orang untuk
pekerjaan (profesi)
yang mereka jalankan, dan perilaku apa yang dituntut
untuk
mencapai hal paling penting tersebut, termasuk apa-apa
yang
tidak boleh dilanggar dalam pelaksanaan pekerjaan atau
profesi
tersebut.
Inilah definisi etos profesi yang berlaku umum untuk
semua
profesi seperti keguruan, kedokteran, kehakiman,
kependetaan,
kewartawanan, kemiliteran, kepengacaraan, dan
kearsitekan.
Dan hari ini kita berbicara tentang etos kearsitekan
atau etos
arsitek.
Ketika kota dirumuskan oleh panitia seminar ini – yang
notabene
terdiri dari sejumlah arsitek muda yang idealis,
kreatif, dan
berwawasan luas – (1) sebagai sebuah simbolisme kosmik,
(2)
sebagai manisfestasi spiritualitas manusia, (3) sebagai
biosfer
hidup yang berkelimpahan, (4) sebagai ekosistem
pengembangan
manusia, (5) sebagai mandala penciptaan karya-karya yang
estetik,
(6) sebagai wilayah kerja yang produktif, dan (7)
keragaman
sosial budaya manusia urban, harus diakui bahwa aspirasi
ini
adalah sebuah rumusan yang ideal, luhur, dan menyeluruh.
Dengan mengandaikan bahwa konsep kota di atas sekarang
diterima
dan dianggap sangat penting oleh komunitas arsitek di
negeri ini,
maka dalam bahasa etos, idealisme tentang kota di atas –
di
tingkat perilaku kerja – dapat coba saya rumuskan
sebagai
berikut:
Etos 1: Kota adalah simbolisme kosmik; maka sebagai
arsitek
profesional kita wajib merancang, membangun, dan
mengembangkan
kota yang mengingatkan warganya bahwa kota sebagai ruang
kehidupan adalah bagian dari kosmos ciptaan Tuhan yang
punya
desain, keteraturan, keluasan, keagungan, dan keindahan.
Etos 2: Kota adalah manisfestasi spiritualitas manusia;
maka
sebagai arsitek profesional kita wajib merancang,
membangun, dan
mengembangkan kota yang mampu membuat seluruh warganya
merasa
terhubungkan satu sama lain, yang merasa menyatu dengan
lingkungannya, serta memetik makna, identitas, dan
kebanggaan
daripadanya sehingga menumbuhkan rasa cinta pada
kotanya.
Etos 3: Kota adalah biosfer hidup yang berkelimpahan;
maka
sebagai arsitek profesional kita wajib merancang,
membangun, dan
mengembangkan kota yang lapang, longgar, lancar, bersih,
hijau,
berlimpah dengan air segar dan udara murni, serta bebas
dari
sampah maupun limbah.
Etos 4: Kota adalah ekosistem bagi pertumbuhan manusia
yang
sehat; maka sebagai arsitek profesional kita wajib
merancang,
membangun, dan mengembangkan kota yang cukup ruang untuk
bermukim, bekerja, belajar, bermain, berekreasi,
beribadah,
berolahraga, berkesenian, dan berkebudayaan.
Etos 5: Kota adalah mandala penciptaan karya-karya yang
estetik;
maka sebagai arsitek profesional kita wajib merancang,
membangun,
dan mengembangkan kota yang secara keseluruhan dinilai
sebagai
indah, termasuk bagian-bagiannya, unit-unitnya, dan
detail-detailnya
sehingga mampu memuaskan cita rasa seluruh warga kota
secara
sensual-indrawi, intelektual-karsawi, dan
spiritual-rohani.
Etos 6: Kota adalah lapangan kerja yang produktif; maka
sebagai
arsitek profesional kita wajib merancang, membangun, dan
mengembangkan kota yang mampu menyediakan cukup ragam
mata
pencaharian bagi segenap warganya: dari jenis pekerjaan
yang
cuma mengandalkan otot, keringat, dan fisik sampai jenis
pekerjaan yang mengandalkan imajinasi, kreativitas, dan
inovasi.
Etos 7: Kota adalah wahana keragaman sosial-budaya
manusia
urban; maka sebagai arsitek profesional kita wajib
merancang,
membangun, dan mengembangkan kota yang mampu menyediakan
ruang
untuk ekspresi keragaman sosial-budaya itu, interaksi
sinergis
dalam pluralisme itu, serta kultur apresiatif dalam
kebhinekaan
itu.
Sesungguhnya perumus etos suatu profesi haruslah orang
dalam
profesi itu. Demikian pula etos arsitek haruslah
dirumuskan oleh
para arsitek itu sendiri. Orang seperti penulis makalah
ini,
meski pun sering dijuluki media sebagai mister etos atau
guru
etos, paling banter bisa berperan sebagai konsultan
saja.
Sebagai penutup, izinkanlah saya meninggalkan sebuah
saran:
panitia seminar ini perlu sesegera mungkin berkoordinasi
dengan
Ikatan Arsitek Indonesia guna merumuskan sehimpunan etos
arsitek
yang luhur, menyeluruh, inspirasional, dan motivasional
sehingga
pada satu waktu nanti kita akan melihat kota-kota di
republik
ini sungguh-sungguh menjadi kota-kota yang “gemah ripah
loh
jinawi, tata tentrem karta raharja”.
Apa yang saya rumuskan di atas adalah sebuah percobaan
dan harus
dianggap sebagai sebuah masukan saja. Terimakasih dan
selamat
berseminar.
*) Disampaikan pada seminar internasional The Knowledge
City:
Spirit, Character, and Manifestation, 13-14 November
2007, Danau
Toba Convention Hall, Medan, Indonesia.
7
Mentalitas Profesional
Oleh: Jansen H.
Sinamo
Kini adalah zaman
profesional.
Abad 21 dicirikan oleh globalisasi yang serba kompetitif
dengan
perubahan yang terus menggesa. Tidak terbayangkan lagi
ada
organisasi yang bisa bertahan tanpa profesionalisme.
Bukan
sekadar profesionalisme biasa tetapi profesionalisme
kelas
tinggi, world-class professionalism, yang
memampukan kita
sejajar dan bermitra dengan orang-orang dan
organisasi-organisasi terbaik dari seluruh dunia.
Kaum profesional dari pelbagai disiplin kerja sekarang
sudah
merambah ke seluruh dunia. Bagi mereka batas-batas
negara tidak
lagi relevan. Wawasan mereka sudah kosmopolitan. Mereka
adalah
warga dunia yang bisa memberikan kontribusi mereka di
mana saja
di muka Bumi. Mereka bisa bekerja di mana saja di planet
ini.
Bangsa kita jelas memerlukan sekelompok besar kaum
profesional
untuk mengisi pembangunan masyarakat di segala bidang.
Jika
tidak mampu, maka kita terpaksa harus mengimpor mereka
dengan
harga yang sangat mahal.
Sesungguhnya, Indonesia berpotensi pula mengekspor
tenaga-tenaga
kerja profesional dalam pelbagai kelas ke mancanegara:
perminyakan, pertambangan, kehutanan, sastra, seni, dan
lain-lain.
Untuk dua hal di atas diperlukan usaha besar: membangun
mentalitas profesional.
1. Mentalitas Mutu
Seorang profesional
menampilkan
kinerja terbaik yang mungkin. Dengan sengaja dia tidak
akan
menampilkan the second best (kurang dari terbaik)
karena
tahu tindakan itu sesungguhnya adalah bunuh diri
profesi.
Seorang profesional mengusahakan dirinya selalu berada
di ujung
terbaik (cutting edge) bidang keahliannya. Dia
melakukannya karena hakikat profesi itu memang ingin
mencapai
suatu kesempurnaan nyata, menembus batas-batas
ketidakmungkinan
praktis, untuk memuaskan dahaga manusia akan ideal mutu:
kekuatan, keindahan, keadilan, kebaikan, kebergunaan.
Jelas, profesionalisme tidak identik dengan pendidikan
tinggi.
Yang utama adalah sikap dasar atau mentalitas. Maka
seorang
pengukir batu di pelosok Bali misalnya, meskipun tidak
lulus SMP,
namun sanggup mengukir dengan segenap hati sampai
dihasilkan
suatu karya ukir terhalus dan terbaik, sebenarnya adalah
seorang
profesional. Seorang guru SD di udik Papua yang mengajar
dengan
segenap dedikasi demi kecerdasan murid-muridnya adalah
seorang
profesional.
Di fihak lain, seorang dokter yang menangani pasiennya
dengan
tergesa-gesa karena mengejar kuota pasien bukanlah
profesional.
Demikian pula seorang profesor yang mengajar
asal-asalan,
meneliti asal jadi, membina mahasiswa terlalu banyak
sampai
mengorbankan kualitas, bukanlah profesional. Atau,
seorang
insinyur yang dengan sengaja mengurangi takaran bahan
bangunannya demi laba yang lebih besar bukanlah
profesional.
Jadi mentalitas pertama seorang profesional adalah
standar
kerjanya yang tinggi yang diorientasikan pada ideal
kesempurnaan
mutu.
2. Mentalitas Altruistik
Seorang profesional
selalu
dimotivasi oleh keinginan mulia berbuat baik. Istilah
baik di
sini berarti berguna bagi masyarakat. Aspek ini
melengkapi
pengertian baik dalam mentalitas pertama, yaitu mutu.
Baik dalam
mentalitas kedua ini berarti goodness yang
dipersembahkan
bagi kemaslahatan masyarakat. Profesi seperti guru,
dokter, atau
advokat memang jelas sangat bermanfaat bagi masyarakat.
Demikian
pula pialang saham, computer programmer, atau konsultan
investasi. Taat asas dengan pengertian ini, tidak
mungkin ada
pencuri profesional atau pembunuh profesional. Mungkin
saja
teknik mencurinya atau metoda membunuhnya memang canggih
dan
hebat, tetapi menggelari mereka sebagai kaum profesional
adalah
sebuah kerancuan istilah.
Mutu kerja seorang profesional tinggi secara teknis,
tetapi
nilai kerja itu sendiri diabdikan demi kebaikan
masyarakat yang
didorong oleh kebaikan hati, bahkan dengan kesediaan
berkorban.
Inilah altruisme.
Di fihak lain, paradoksnya, karena kualitas kerjanya
tinggi,
berbasiskan kompetensi teknis yang tinggi, maka
masyarakat
menghargai jasa kaum profesional ini dengan tinggi pula.
Artinya,
imbalan kerja bagi kaum profesional umumnya selalu
mahal.
Permintaan atas jasa mereka selalu lebih tinggi dari
ketersediaannya. Itulah yang mengakibatkan imbalan kerja
kaum
profesional menjadi tinggi. Oleh karena itu pula, status
sosial
kaum profesional dari segi moneter umumnya berada di
lapisan
tengah ke atas. Ini bukan karena kaum profesional
menuntut untuk
didudukkan di kelas tersebut, tetapi sebagai akibat
logis dari
eksistensi profesionalnya.
Maka ciri kedua profesionalisme ialah hadirnya motif
altruistik dalam sikap dan falsafah kerjanya.
3. Mentalitas Melayani
Kaum profesional tidak bekerja untuk kepuasan diri
sendiri saja
tanpa peduli pada sekitarnya. Kaum profesional tidak
melakukan
onani profesi. Sebaliknya, kepuasannya muncul karena
konstituen,
pelanggan, atau pemakai jasa profesionalnya telah
terpuaskan
lebih dahulu via interaksi kerja.
Kaum profesional lahir karena kebutuhan masyarakat
pelanggan.
Sorang maestro seni lukis sekelas Michelangelo saja pun
tetap
punya pelanggan, yakni Sri Paus, sang penguasa Vatikan,
yang
keinginannya harus dipuaskan.
Seorang profesional bahkan dengan tegas mematok nilai
moneter
atas jasa profesionalnya. Dengan ketegasan ini berarti
sang
profesional berani berdiri di mahkamah tawar-menawar
rasional
dengan para pelanggannya. Maka seorang profesional harus
bisa
melayani pelanggannya sebaik-baiknya. Dan sang
profesional
diharapkan melakukannya secara konsisten dengan segenap
ketulusan dan kerendahan hati sebagai apreasiasi atas
kesetiaan
pelanggannya di sepanjang karir profesionalnya.
Maka ciri ketiga seorang pekerja profesional adalah
sikap
melayani secara tulus dan rendah hati kepada
pelanggannya dan
nilai-nilai utama profesinya.
4. Mentalitas Pembelajar
Di bidang olahraga,
seorang
pemain profesional, sebelum terjun penuh waktu, terlebih
dahulu
menerima pendidikan dan pelatihan yang mendalam. Dan di
sepanjang karirnya ia terus-menerus mengenyam
latihan-latihan
tiada henti.
Begitu juga di bidang lain, seorang pekerja profesional
adalah
dia yang telah mendapat pendidikan dan pelatihan khusus
di
bidang profesinya. Bahkan untuk profesi-profesi yang
sudah mapan,
sebelum seseorang diberi hak menyandang status
profesional, dia
harus menempuh serangkaian ujian. Bila lulus barulah dia
mendapatkan sertifikasi profesional dari asosiasi
profesinya.
Kompetensi tinggi tidak mungkin dicapai tanpa disiplin
belajar
yang tinggi dan berkesinambungan. Dan karena tuntutan
masyarakat
semakin lama semakin tinggi, tak pelak lagi, belajar dan
berlatih seumur hidup harus menjadi budaya kaum
profesional.
Tanpa itu maka sajian nilai sang pekerja profesional
semakin
lama semakin tidak relevan. Bahkan bisa tak bersentuhan
dengan
realitas sekitarnya. Pada saat itulah seorang pekerja
gagal
menjadi profesional.
Jadi ciri keempat pekerja profesional adalah hati
pembelajar
yang menjadikannya terus bertumbuh dan mempertajam
kompetensinya
kerjanya.
5. Mentalitas Pengabdian
Seorang pekerja
profesional
memilih dengan sadar satu bidang kerja yang akan
ditekuninya
sebagai profesi. Pilihannya ini biasanya terkait erat
dengan
ketertarikannya pada bidang itu, bahkan ada semacam rasa
keterpanggilan untuk mengabdi di bidang tersebut.
Mula-mula,
pilihan itu dipengaruhi oleh bakat dan kemampuannya yang
digunakannya sebagai kalkulasi peluang suksesnya di
sana. Tetapi
kemudian berkembang sebuah hubungan cinta antara sang
pekerja
dengan pekerjaannya.
Hubungan ini mirip dengan hubungan jejaka-gadis yang
jatuh cinta.
Semakin mereka mengenal, rasa cinta makin kental, dan
akhirnya
mengokohkan hubungan itu secara marital. Demikian juga
seorang
profesional, semakin ia menekuni profesinya semakin
timbul rasa
cinta. Dan bila hatinya sudah mantap betul maka ia
memutuskan
untuk hanya menekuni bidang itu sampai tuntas dan
menyatu padu
dalam sebuah ikatan cinta yang kekal. Demikianlah,
seorang
profesional mengabdi sepenuh cinta pada profesi yang
dipilihnya.
Jadi ciri kelima seorang profesional sejati adalah
terjalinnya dedikasi penuh cinta dengan bidang profesi
yang
dipilihnya.
6. Mentalitas Kreatif
Seorang olahragawan
profesional
menguasai sepenuhnya seni bermain. Baginya permainan
tidak
melulu soal teknis, tetapi juga seni. Ia beranjak dari
seorang
jago menjadi seorang maestro seperti Rudy Hartono di
bulutangkis,
Pele di sepakbola, atau Muhammad Ali di tinju. Sedangkan
pemain
amatir, tidak pernah sampai ke jenjang seni; asal
menguasai
teknik-teknik dasar maka memadailah untuk ikut
pertandingan-pertandingan.
Seorang pekerja profesional, sesudah menguasai
kompetensi teknis
di bidangnya, berkembang terus ke tahap seni. Dia akan
menemukan
unsur seni dalam pekerjaannya. Dia akan menghayati
estetika
dalam profesinya. Mata hatinya terbuka lebar melihat
kekayaan
dan keindahan profesi yang ditekuninya. Seterusnya,
perspektif,
keindahan, dan kekayaan ini akan memicu kegairahan baru
bagi
sang profesional yang pada gilirannya memampukannya
menjadi
pekerja kreatif, berdaya cipta, dan inovatif.
Jadi ciri keenam seorang pekerja profesional adalah
kreativitas kerja yang lahir dari penghayatannya yang
artistik
atas bidang profesinya.
7. Mentalitas Etis
Seorang pekerja
profesional,
sesudah memilih untuk "menikah" dengan profesinya,
menerima
semua konsekuensi pilihannya, baik manis maupun pahit.
Profesi
apa pun pasti terlibat menggeluti wacana moral yang
relevan
dengan profesi itu. Misalnya profesi hukum menggeluti
moralitas
di seputar keadilan, profesi kedokteran menggeluti
moralitas
kehidupan, profesi bisnis menggeluti moralitas
keuntungan,
begitu seterusnya dengan profesi lain.
Maka seorang profesional sejati tidak akan menghianati
etika dan
moralitas profesinya demi uang atau kekuasaan misalnya.
Penghianatan profesi disebut juga sebagai pelacuran
profesionalisme yakni ketidaksetiaan pada moralitas
dasar kaum
profesional.
Di pihak lain, jika profesinya dihargai dan dipuji
orang, dia
juga akan menerimanya dengan wajar. Kaum profesional
bukanlah
pertapa yang tidak membutuhkan uang atau kekuasaan,
tetapi
mereka menerimanya sebagai bentuk penghargaan masyarakat
yang
diabdinya dengan tulus.
Jadi ciri keenam pekerja profesional adalah kesetiaan
pada
kode etik profesi pilihannya.
***
Tampaklah bahwa menjadi profesional sangat berat. Tanpa
motivasi
akbar, dan stamina moral yang tinggi seseorang tidak
mungkin
menjadi profesional sejati.
Pertanyaan penting disini: darimana kah seorang
profesional
mendapatkan motivasinya sehingga ia dapat bertahan
bahkan
bertumbuh di arena profesional itu? Pasti tidak dari
sekadar
uang saja meskipun dunia profesional berlimpah dengan
uang.
Lagipula sudah diketahui bahwa motivasi uang selalu
berbentuk
kurva lonceng, maksudnya uang memang memotivasi orang,
tetapi
sesudah uang diperoleh, tingkat motivasinya akan turun
kembali;
mendaki ke puncak kurva lalu menurun menuju dasar kurva.
Motivasi seorang profesional selalu berasal dari ruang
spiritual. Dari ruang ini dapat didulang berbagai jenis
motivasi
luhur seperti demi negara, demi bangsa, demi kaum papa,
demi
perdamaian, demi demokrasi, demi kemanusiaan, demi
peradaban,
dan sebagainya.
Dalam Abad 21 kini, dimana kompetisi antarmanusia,
antarorganisasi, antarperusahaan, dan antarbangsa telah
menjadi
norma, maka profesionalisme di segala bidang menjadi
tiket masuk
ke stadion peradaban. Tanpa profesionalisme maka kita
cuma jadi
penonton. Dan sebagai penonton, kita harus selalu
membayar. Juga,
tidak ada calo yang menjual karcis catutan. Artinya
setiap orang
harus menjadi profesional. Setiap perusahaan, partai
politik,
atau organisasi apa pun harus menjadi profesional.
Bahkan setiap
negara akhirnya harus berkelakuan profesional terhadap
konstituen utamanya: rakyat! Jika tidak, masyarakat akan
berkata
pada kita: go to hell with your filthyness.
Gelar No,
Ilmu Yes
Oleh: Jansen H.
Sinamo
Di era 70-an Nurcholish
Madjid
terkenal dengan teriakannya: Politik No, Islam Yes. Kini
teriakan senada harus dikumandangkan: Gelar No, Ilmu
Yes. Ini
perlu dilakukan karena masyarakat kita sudah sampai
memberhalakan gelar kesarjanaan. Banyak orang bangga
menyandang
gelar-gelar mentereng itu tetapi sesungguhnya hampa
bobot.
Epidemi ini sekarang merambat lebih ganas karena banyak
“mafia”
berkedok dosen yang terjun menjadi penjaja gelar dengan
harga
terjangkau. Ironinya, sejumlah PTN ternyata juga
terlibat
praktik jual-beli gelar master atau doktor (Suara
Pembaruan, 20
April).
Dari mana asal-usul wabah sosial ini? Awalnya dimulai
ketika
orang-orang tertentu tanpa risih menderetkan gelar S1,
S2, S3
sekaligus, umpamanya Dr. Ir. Polan Polin, M.Sc. atau Dr.
Polin
Polan, SE, SH, MBA (sebenarnya cukup gelar tertingginya
saja).
Gelar berderet ini dianggap mampu meningkatkan derajat
sosialnya.
Dan, gayung pun bersambut hangat oleh masyarakat kita
yang
umumnya masih bermental hamba. Para penderet gelar itu
mendapat
sanjungan sosial.
Lanjutannya, tumbuhlah semacam keharusan baru untuk
menulis dan
memanggil nama orang lengkap dengan gelarnya. Dalam
acara-acara
resmi pemanggilan nama secara komplit menjadi protokol
baru.
Ingat saja saat voting di SU-MPR lalu, nama-nama anggota
terhormat itu dipanggil serba lengkap. Saya perkirakan,
durasi
voting bisa berkurang sampai 25 % bila anggota MPR itu
dipanggil
dengan nama polos mereka saja. Namun bukan cuma di
gedung MPR,
di stasiun kereta api, bandara, ruang tunggu dokter,
bahkan di
rumah-rumah ibadah gelar-gelar akademis ini juga menjadi
wajib
panggil dan wajib tulis.
Keinginan dianggap hebat dan berkelas merupakan motivasi
di
balik kegemaran memasang gelar-gelar mentereng itu.
Meskipun
sampai dosis tertentu ambisi tersebut dapat dianggap
sehat,
namun dosis berlebihan jelas merupakan penyakit. Saya
mengenal
seseorang yang menulis gelar doktorandusnya bahkan di
tikar,
tong air, pantat gelas, pantat piring, punggung kursi,
dan
tembok rumahnya. Ini bukan lagi sekadar penyakit
eksibisionisme,
tetapi sudah berkomplikasi dengan rasa rendah diri akut.
Di sini,
sebuah gelar sarjana diharapkan mampu mengobatinya.
Harus diakui, para sarjana Indonesia tidak mau dianggap
biasa,
bersahaja. Mereka itu hebat. Sedihnya, meskipun tidak
hebat
tetapi ingin dianggap hebat.
Di dunia bisnis misalnya, sejak Tanri Abeng naik daun
dengan
gelar MBA-nya pada dekade 80an – dan dijuluki manajer
satu
milyar – maka kerabat gelar itu seperti MM atau MBM
menjadi
gengsi baru yang didambakan orang. Dengan titel MBA
seseorang
menjadi ningrat baru dalam kerajaan bisnis. Biasanya
untuk
menopang gengsi itu ditampilkan pula sebuah gaya hidup
mewah.
Di fihak lain, anggota masyarakat yang tidak sempat
bergelar
ikut-ikutan naik birahi memiliki gelar dengan
upaya-upaya tidak
terpuji termasuk membeli ijazah palsu. Dan syahwat
masyarakat
ini semakin tidak tertahankan tatkala kesempatan
memiliknya
dengan seolah-olah sah -- tapi sebenarnya tidak autentik
--
dimunculkan oleh lembaga-lembaga penjaja gelar. Sejak
itulah
orang bisa mendapatkan gelar BA, MA, PhD; BSc, MSc, Dr;
atau BBA,
MBA, DBA asal membikin resume cantik, ikut tutorial
singkat,
membayar beberapa juta, dan melancong sambil wisuda ke
Amerika.
Amerika memang negeri yang sangat kreatif. Kita bisa
mejeng
sebagai Man of the Year di majalah Time misalnya dengan
berfoto
di emper toko dan membayar US$8. Tapi kreativitas begini
memang
sekadar lucu-lucuan. Itu sebabnya majalah Time yang asli
tidak
pernah memprotes praktik itu karena semua orang tahu
bahwa itu
memang ecek-ecek (dialek Medan yang artinya main-main,
pura-pura,
tidak serius).
Sayangnya wisudawan aspal dari Amerika di atas, tidak
merasa
bahwa lakon mereka itu sebenarnya ecek-ecek. Dengan
gagahnya
gelar-gelar itu kemudian dicetak di kartu nama. Bahkan
ada yang
berani naif-tanpa-malu memasangnya di iklan surat kabar.
Mestinya badut-badut akademis itu jadi bahan tertawaan.
Tapi
aneh bin ajaib, di negeri ini orang demikian malah
dikagumi dan
diteladani ramai-ramai.
Pertanda apa ini? Bagi saya, tak bisa lain, inilah
masyarakat
yang sakit. Rupanya, bukan cuma si doktor atau si master
ecek-ecek saja yang sakit. Semua kita sudah sakit.
Contoh getir sudah saya alami sendiri. Suatu saat saya
diundang
oleh sebuah universitas swasta memberi ceramah. Karena
saya
memang tidak pernah mencantumkan gelar, tanpa
sepengetahuan saya,
panitia memasang MBA (padahal tak punya) di belakang
nama saya
pada spanduk, undangan, dan sertifikat seminar. Ketika
saya
persoalkan, mereka berkilah, janggal seorang penceramah
dan
direktur sebuah institut hanya bernama polos. Saya cuma
bisa
tersenyum kecut. Jika dunia akademis saja tidak lagi
percaya
pada kekuatan kompetensi teknis (itu sebabnya saya
diundang) –
lalu menggantungkannya pada wibawa sebuah gelar – kita
bisa
membayangkan apa yang terjadi di masyarakat.
***
Apakah mungkin menyembuhkan penyakit ini? Yang jelas,
tak ada
gunanya melarang dengan sebuah SK menteri apalagi
dirjen. Mereka
pandai berkelit dan lihai membenarkan diri.
Hemat saya, pertama-tama, kita harus berani berteriak
bahwa
gelar mereka itu cuma ecek-ecek, tidak sejati, tidak
autentik.
Dalam kaitan ini, media harus memberi tempat pada
teriakan
semacam ini. Jangan sebaliknya malah mengambil untung
dengan
memberi ruang bebas pada iklan mereka. Minimal, iklan
gelar
ecek-ecek harus diperlakukan sama dengan iklan kondom.
Kedua, instansi publik termasuk perusahaan harus
menyisir lebih
ketat supaya pemilik gelar ecek-ecek jangan sampai masuk
melalui
proses rekrutmen. Jika lolos juga dan belakangan
ketahuan, agar
dipecat secara tidak hormat dengan delik penipuan.
Ketiga, agar pemilik gelar sejati berusaha menahan diri
memamerkan gelarnya. Tak usahlah memasang gelar jika
bukan dalam
konteks akademik. Mudah-mudahan pemilik gelar ecek-ecek
itu jadi
sungkan dengan kerendahan hati para sarjana sejati.
Gerakan
hemat-memakai-gelar ini perlu diperluas sekaligus agar
gelar-gelar sejati itu kembali mendapat kehormatan yang
layak.
Bukankah bintang kehormatan semacam Jalasena tidak
dipakai orang
sehari-hari tetapi pada acara khusus saja? Dalam kaitan
ini,
saya menyatakan respek kepada Kusmayanto Kadiman, Rektor
Institut Teknologi Bandung. Ketika kami berseminar dua
bulan
lalu di Jakarta, ia wanti-wanti agar gelar akademisnya
tak usah
dipasang. Saat saya tanya alasannya kemudian, ia
menjawab dalam
rangka silent protest bagi gelar ecek-ecek. Ini sebuah
contoh
yang saya maksudkan.
Diharapkan, jika semakin banyak orang sadar bahwa gelar
ecek-ecek bergentayangan di masyarakat, mereka akan malu
menggunakannya sehingga berkurang dengan sendirinya.
Bisnis jual
beli gelar boleh tetap ada, bahkan mereka berhak hidup
sama
seperti bisnis-kaki-lima Man of the Year majalah Time.
Tetapi
semua kita sepakat bahwa itu just for fun, cuma
ecek-ecek. Jika
toh ada orang yang mau membayar lima juta untuk kegiatan
ecek-ecek, dalam konteks ini, hal itu sah-sah saja.
***
Namun mengusulkan hal di atas sebenarnya sekaligus
menepuk air
di dulang ke muka universitas-universitas kita. Pertama,
jumlah
sarjana penganggur (gelarnya bukan ecek-ecek) sudah
mencapai
500.000 orang dan bertambah 50.000 setiap tahun (Kompas,
22
April).
Sementara itu instansi resmi, khususnya perusahaan
swasta,
selalu kekurangan tenaga bermutu tinggi. Di dunia bisnis
saya
tahu persis, mendapatkan 2 atau 3 pegawai baru dari
2.000-an
pelamar setingkat S1 adalah peristiwa rutin. Artinya,
ada
problem kualitas yang amat besar dalam sistem pendidikan
tinggi
kita.
Maka inilah gugatan kita: Mengapa mahasiswa diluluskan
padahal
belum bisa berpikir dan berbahasa dengan runtut? Mengapa
orang
diberi gelar sarjana padahal sekadar bekerja profesional
pun
tidak bisa? Mengapa keluaran universitas tidak mampu
berkerja
menggunakan metoda ilmiah yang rigor dan koheren?
Mengapa mereka
disebut magister dan doktor tapi tidak mampu memproduksi
karya-karya ilmiah seperti artikel, makalah, buku, dan
laporan
kecuali dulu sebagai persyaratan lulus? Dan di markas
besarnya,
mengapa ada dosen yang dibiarkan eksis tanpa menulis
karya
ilmiah padahal ada prinsip publish or perish?
Kualitas rendah adalah ciri pokok apa saja yang disebut
ecek-ecek. Saking rendahnya kualitas sarjana di atas
tadi, bisa
dikatakan hampir tak ada lagi bedanya dengan sarjana
ecek-ecek.
Dan ini tentu mengundang dugaan nakal lainnya.
Jangan-jangan
sejak awal memang ecek-ecek belaka. Ada Ebtanas
ecek-ecek, NEM
ecek-ecek, UMPTN ecek-ecek, kurikulum ecek-ecek, kuliah
ecek-ecek, universitas ecek-ecek, dosen ecek-ecek, dan
sarjana
ecek-ecek.
***
Pada arah sebaliknya, kita harus mempromosikan kembali
betapa
pentingnya orang biasa, betapa terhormatnya orang
bersahaja,
betapa mulianya hidup apa adanya. Khususnya, kita perlu
mengharg
ai orang biasa tetapi mampu berkarya luar biasa.
Pramoedya
Ananta Toer, Sitor Situmorang, Ajip Rosidi, dan Rendra,
adalah
contoh insan tidak bergelar, tetapi kualitas karya
mereka
melebihi karya sarjana, bahkan sudah mencapai tahap empu
(maestro) di bidang masing-masing.
Tampil bersahaja namun berkualitas bertambah penting
lagi karena
masyarakat kita sangat suka pada gincu. Dan gincu bangsa
kita
sudah terlalu tebal. Alhasil, jadi norak. Buktinya,
sekian
banyak doktor ekonomi kita tapi ekonomi bangsa ini
sangat payah.
Sekian banyak sarjana hukum kita tapi nasib dewi
keadilan
terpuruk di negeri ini. Sekian banyak doktor politik
kita tapi
kondisi politik republik ini amburadul. Sekian banyak
inspektur,
komisaris, dan jenderal kita tapi keamanan nusantara
rawan di
mana-mana. Jadi bukankah kita layak menduga bahwa di
balik
gelar-gelar mentereng itu sebenarnya tidak ada apa-apa?
Kosong
tanpa kualitas? Ecek-ecek? Gincu doang?
Kita bukan anti gincu. Tapi marilah mengakui bahwa itu
memang
gincu. Yang kita tolak adalah klaim bahwa gincu itu rona
asli
wajah kita. Jadi, marilah memulai kebersahajaan: Jangan
lagi
pakai gelar-gelar akademis itu. Bukan karena tidak
boleh, tetapi
dengan tampil bersahaja kita selalu diingatkan bahwa
kita belum
apa-apa. Kita disadarkan, yang penting itu kualitas
ilmunya,
bukan gelarnya.
Saya mempunyai buku yang mengoleksi sejumlah surat
Einstein
dengan ilmuwan sezamannya. Saya takjub, tak sekalipun
saya temui
tertulis Prof. Dr. Albert Einstein. Cukup ditulis A.
Einstein
atau Albert Einstein saja. Sangat bersahaja, sangat
biasa. Tapi
kita belum lupa, Einstein sudah dinobatkan sebagai Man
of The
Century oleh majalah Time di penghujung tahun 2000 lalu.
Artinya,
dialah individu yang karena kedalaman ilmunya diakui
sebagai
penyumbang terbesar terhadap peradaban manusia sepanjang
abad
ke-20. Jadi, jika kita tidak lagi malu pada diri
sendiri, tidak
malu lagi pada masyarakat, tidak malukah kita kepada
Einstein?
Kini Indonesia terpuruk dengan utang ratusan milyar
dolar. Sebab
fundamentalnya, menurut saya, ialah karena kita tidak
bersedia
hidup bersahaja apa adanya. Sebaliknya kita kepingin
keren dan
hebat, punya ini punya itu, kelihatan begini kelihatan
begitu.
Lalu kita membeli gincu mahal-mahal dengan utang kiri
kanan.
Maka pasak pun semakin besar sementara tiang semakin
kecil.
Maka sekali lagi, marilah sederhana dan bersahaja: Gelar
No,
Ilmu Yes!
7 Rasa
Takut
Oleh: Jansen H.
Sinamo
Sekitar dua milenium
lalu,
Herodes melakukan kebodohan dengan membunuh ratusan bayi
Betlehem yang tidak bersalah karena takut pada ramalan
orang
Majus bahwa seorang raja telah lahir di antara
rakyatnya.
Dikiranya sang bayi akan menggulingkan dirinya. Orang
Majus dari
Timur itupun ditipunya. Tapi kita tahu, Herodeslah yang
ditipu
sejarah.
Satu milenium kemudian, sekelompok raja dan pemimpin
agama di
Eropa melakukan kebodohan yang mirip dengan mengobarkan
Perang
Salib yang memakan jutaan korban karena takut kemuliaan
Tuhan
dihinakan. Mereka merasa telah berjasa besar di hadapan
Tuhan
itu, tetapi kita tahu, merekalah yang berutang di mata
sejarah.
Menjelang akhir milenium kedua, Amerika memerangi
Vietnam karena
takut pada hantu komunisme. Mereka menyangka bakal jadi
pahlawan
dunia, tapi kita tahu, Amerika lah yang jadi pecundang
di mata
semua, termasuk di mata rakyatnya sendiri.
***
Anda dan saya juga, dalam skala yang lebih kecil, pasti
pernah
berbuat kebodohan, yang belakangan kita sesali.
Mengapa kita begitu bodoh? Apa esensi kebodohan itu
sehingga
banyak sarjana, master, dan doktor sering tampil bodoh
di mata
rakyat biasa?
Hikmah sejarah sebenarnya sudah mengajarkan: kebodohan
selalu
muncul dari ketakutan. Takut malu, malinglah kita. Takut
pada
realita, bohonglah kita. Takut kalah, ganaslah kita.
Takut
miskin, rampoklah kita.
Sesungguhnya benarlah pendapat ini: induk segala
kebodohan ialah
rasa takut dan akar segala dosa ialah ketakutan.
Begitulah,
semua kebodohan sosio-ekonomi-politik di negeri ini
sesungguhnya
bermula dari ketakutan, khususnya ketakutan kaum elit
penguasa.
Kini, ketika milenium ketiga baru saja menggelar tikar,
dapatkah
kita bebas dari ketakutan yang memperanakkan kebodohan
dan
mempercucukan kesalahan itu? Mungkin tak banyak yang
punya waktu
memikirkannya karena terbelenggu oleh tujuh rasa takut
utama:
takut miskin, takut disalahkan, takut sakit, takut
dibenci,
takut kalah, takut tua, dan takut mati. Padahal benarlah
ungkapan-ungkapan paradoksal ini: Barangsiapa takut
miskin akan
kehilangan kekayaannya. Barangsiapa takut dikritik akan
kehilangan rasa damainya. Barangsiapa takut sakit akan
kehilangan kesehatannya. Barangsiapa takut dibenci akan
kehilangan para pecintanya. Barangsiapa takut kalah akan
kehilangan kemenangannya. Barangsiapa takut tua akan
kehilangan
kemudaannya. Barangsiapa takut mati akan kehilangan
kehidupannya.
Tujuh rasa takut ini sesungguhnya adalah setan belang
yang telah
mencuri kehidupan, kesejahteraan, kekayaan, damai
sejahtera, dan
kegembiraan kita. Tegasnya, ketakutan adalah musuh
terbesar kita.
Sebagai guru saya dapat bersaksi bahwa hambatan utama
bagi
perkembangan, pertumbuhan, dan kemajuan manusia di
tingkat
individu, organisasi dan sosial, tanpa kecuali, semuanya
adalah
ketakutan dalam berbagai bentuk.
Kaum agama takut kepada kaum nasionalis maka agama pun
menjadi
momok. Kaum nasionalis takut kepada kaum agama maka
nasionalisme
pun menjadi monster. Kaum sekuler takut kepada kaum
fundamentalis maka sekularisme pun menjadi hantu. Kaum
fundamentalis takut kepada kaum sekuler maka
fundamentalisme pun
menjadi setan gundul.
Juga, tentara takut kepada rakyatnya maka tentara pun
menjadi
tukang tembak. Rakyat takut kepada tentara maka rakyat
pun
menjadi demonstran perusuh. Presiden takut kepada DPR
maka
Presiden pun menjadi despot. DPR takut kepada Presiden
maka DPR
pun menjadi tukang bantai.
Demikian pula, buruh takut kepada majikan maka serikat
buruh
menjadi musuh. Majikan takut kepada buruh maka manajemen
menjadi
penghisap. Pemimpin takut kepada anakbuah maka atasan
menjadi
diktator. Anakbuah takut kepada atasan maka bawahan
menjadi kaum
mbalelo.
Padahal, cita-cita sosial kita ialah demokrasi
berkemajemukan
dan berkemakmuran. Visi organisasional kita ialah sukses
tertinggi. Dan dambaan personal kita ialah kesentosaan.
Tetapi
saya berpendapat sekarang: selama ketakutan masih
berkuasa di
hati kita, demokrasi sejati tak akan tercipta, visi
organisasi
tak akan tercapai, dan aspirasi pribadi kita tak akan
tergapai.
Dan dalam kaitan ini, saya katakan pula: musuh terbesar
demokrasi bukanlah fasisme/militerisme melainkan jiwa
penakut;
musuh utama organisasi/perusahaan bukanlah persaingan
melainkan
roh penakut; dan musuh nomor satu kita ialah hati
penakut.
Jadi siapakah yang menciptakan momok, monster, atau
setan gundul?
Jawabnya: kita sendiri dalam ketakutan kita. Artinya,
sang
penakutlah yang menciptakan setan bagi dirinya.
Sayangnya, “the
devil within me” dapat memicu bangkitnya “the devil
within you”,
kemudian “the devil everywhere”.
Supaya terbebas dari rasa takut maka kita memerlukan
tiga hal:
imajinasi positif, daya cipta kreatif, dan kesadaran
bahwa kita
lebih besar dari ketakutan itu sendiri. Pada saat itulah
kita
memulai karir sebagai manusia rahmatan.
The 8
Habit dan 8 Etos: Merambah Jalan Baru Menuju Keunggulan
Oleh: Jansen H.
Sinamo
Stephen Covey
mengejutkan saya.
Buku The 8th Habit menampilkan suara sebagai inti
keagungan. Ini
konsep kuno warisan Martin Luther dari abad ke-16, yang
mengajarkan pekerjaan sebagai panggilan (Beruf). Orang
harus
bertekun dalam panggilan itu sebab demikianlah kehendak
Tuhan.
Menurut Max Weber (1905), inilah elemen etos ekonomi
yang
terlibat dalam proses keberjayaan dunia Barat. Menurut
kamus
Oxford, suara yang memanggil, vocare (Latin), menjadi
vocation (Inggris),
berarti pekerjaan. Tak bisa lain, vocation harus
dimaknai secara
lengkap: bekerja adalah sabda ilahi. Jadi, keterangan
sosiologi
ekonomi cocok dengan kamus. Singkatnya, jika panggilan
(suara,
titah, sabda) ilahi itu ditanggapi penuh gairah melalui
akal
budi, khususnya nurani, dalam konteks kerja, ia akan
terpantul
menjadi suara jiwa kita yang unik dan mendesak
diekspresikan.
Buahnya ialah keunggulan dan kejayaan.
Dalam bahasa Covey: temukanlah suaramu, lalu ilhami lah
orang
lain menemukan suaranya! Itulah habit ke-8. Itulah suara
jiwa:
melodi spiritual talenta, kegairahan, nurani, dan
kebutuhan kita.
Jika orang menemukan lalu mengekspresikan suara jiwanya,
ia akan
bergemilang. Dan, jika pemimpin menolong setiap warganya
menemukan suaranya, keseluruhannya akan menjadi
organisasi yang
gemilang. Dimampatkan, begitulah argumentasi Covey.
Secara fenomenologis teramati bahwa semua orang ingin
menjadi
orang besar, paling tidak, bagian dari yang serba besar.
Buat
saya, itulah penjelasan mengapa manusia selalu bernafsu
tinggi
pada apa saja yang besar-besar: rumah besar, mobil
besar, dan
gaji besar; dan pada kategori lain, perusahaan unggul,
partai
unggul, dan tentu saja: negara unggul! Pokoknya, manusia
tidak
puas dengan yang kecil-kecil, biasa-biasa, atau
sedang-sedang.
Sebagai nilai, greatness (kejayaan, kemegahan,
keagungan) telah
menjadi poros budaya semesta yang menggerakkan manusia
untuk
meraih atau menciptakannya. Evolusi budaya telah
berhasil
menanamkan greatness menjadi semangat utama di hati
manusia,
bahkan menjadi pilar spiritualitasnya. Secara religius,
ini
setara dengan pengabdian manusia tiada henti pada
atribut
keilahian, seperti kesucian, keakbaran, dan kebenaran.
Manusia
selalu terpesona pada obyek-obyek besar, seperti gunung,
samudra,
atau langit. Bukan kebetulan, ketiganya juga merupakan
metafora
kebesaran ilahi. Jadi, di tingkat rohani, jiwa manusia
selalu
merindu pada keagungan. Jelasnya, hati manusia belum
merasa puas
tuntas hingga akhirnya ia menemukan, mengalami, atau
berjumpa
dengan keagungan itu.
Dalam konteks inilah The 8th Habit: From Effectiveness
to
Greatness menjadi relevan sebab penulisnya menjanjikan
kitab itu
sebagai roadmap menelusurinya, vade mecum menjalaninya,
dan
secara khusus: strategi bagi para CEO untuk
mentransformasikan
organisasi mereka ke tingkat akbar. Covey mengerti dan
berempati
dengan dahaga jiwa manusia akan kejayaan. Dan, ia
menjawabnya
dengan solusi.
Secara
fisik, buku ini berukuran jumbo, dalam edisi Indonesia
tebalnya
lebih dari 600 halaman, tetapi juga besar karena ia
sarat dengan
pikiran-pikiran akbar. Peluncuran buku ini pun, Rabu
(30/11),
sangat megah untuk acara sejenis. Dihadiri sekitar 2.000
orang,
yang membayar jutaan untuk mendengar ceramah Covey
sekitar 200
menit, Presiden Yudhoyono sendiri berkenan menyambutnya
sambil
membuhul tekad agar bangsa kita pun segera membangun
budaya
unggul supaya negeri ini bisa menyusul Malaysia, India,
atau
China.
Buku ini hebat karena sejarah pendahulunya The 7 Habits
of
Highly Effective People (1989) memang hebat: berstatus
mega-bestseller, terjual 15 juta eksemplar dalam 15
tahun saja.
Bandingkan dengan rivalnya: How To Win Friends and
Influence
People (Dale Carnegie, 1936) yang baru mencapainya
sesudah 60
tahun. Menurut Wikipedia, cuma ada tiga buku sejenis
yang
mengungguli keduanya: The Power of Positive Thinking
(Norman
Vincent Peale, 1952), Think and Grow Rich (Napoleon
Hill, 1937),
dan The Greatest Salesman in the World (Og Mandino,
1974),
masing-masing terjual 20 juta, 30 juta, dan 50 juta
eksemplar.
Semuanya kini dianggap sebagai karya klasik dalam
literatur
sukses.
Guru-guru sukses di atas memiliki kesamaan: sangat
inspiratif,
kaya ilustrasi, dan menulis penuh pathos. Mereka
mengakarkan
pikiran-pikirannya pada khazanah spiritual. Bedanya,
empat guru
lain bicara pada tingkat pribadi saja dengan resep
kiat-kiat
praktis, sedangkan Covey bicara juga di tingkat
organisasi
dengan topangan konsep-konsep yang terstruktur amat
baik. Lepas
dari plus minusnya, jutaan orang mengaku telah diubahkan
oleh
ajaran guru-guru tersebut.
Berbeda dengan The 7 Habits, narasi The 8th Habit terasa
berat,
monoton, dan kering. Untunglah kita terbantu dengan
banyak
gambar: bagan, tabel, dan diagram. Jelas, Covey
mengandaikan
pembacanya dari kalangan manajer dan eksekutif puncak
yang
berkemampuan abstraksi di atas rata-rata. Covey juga
tampak
meniatkan buku ini menjadi semacam ensiklopedia
ajaran-ajarannya,
bahkan terasakan ambisi: ia mau merangkum semua teori
sukses
yang pernah ada sejak era Yunani purba.
Keunikan dan kekuatan buku ini, menurut saya, terletak
pada
koherensi konsep-konsep pengembangan manusia,
kepemimpinan, dan
organisasi yang dipilih dan diletakkannya pada sebuah
bingkai
yang disebutnya paradigma pribadi-utuh (whole-person
paradigm):
jiwa, tubuh, pikiran, dan hati. Paradigma ini menjadi
kerangka
semua narasi Covey secara konsisten dari awal hingga
akhir. Dan,
Covey begitu piawai meringkas dan memvisualkan narasinya
dalam
berbagai bentuk geometris (semuanya 57 gambar) yang
bagus-bagus.
Bagi yang berniat menjadikan buku ini sebagai panduan,
saya
anjurkan membaca Bab 14 dan 15 dulu, sebab keseluruhan
konsep
besar Covey diringkaskan di sini. Intinya, untuk
membangun
greatness, harus dimulai dari ranah pribadi (personal
greatness)
dengan menerapkan the seven habits dalam bentuk visi,
disiplin,
antusiasme, dan nurani. Selanjutnya, ranah kepemimpinan
(leadership greatness) dengan menerapkan empat peranan
kepemimpinan ala Covey: panutan dalam the seven habits,
perintis
jalan ke kegemilangan, penyelaras semua elemen
organisasi, dan
pemberdaya bagi segenap potensi warga organisasi.
Terakhir,
ranah organisasi (organizational greatness) dengan
perumusan
visi, misi, dan nilai-nilai pokok organisasi yang
membuahkan
kejelasan, komitmen, sinergi, pemampuan, dan
akuntabilitas. Jika
semua ini dijalankan simultan, janji Covey, maka
terciptalah
kinerja unggul secara berkelanjutan, dan di ujung sana:
kejayaan
dan kegemilangan.
Covey memang seorang humanis spiritual yang serba
optimistis,
dalam arti pemercaya penuh pada potensi nilai dan
kebaikan
manusia, peyakin teguh akan kebutuhan manusia yang
universal,
dan pejuang gagah bagi cara-cara rasional memecahkan
masalah-masalah kemanusiaan. Covey melihat kondisi
pengap iklim
organisasi adalah sumber dari begitu negatifnya sikap,
rapuhnya
emosi, buruknya keterampilan, atau rendahnya motivasi
manusia di
ruang kerjanya yang berakibat pada buruknya kinerja dan
produktivitas mereka. Itulah yang harus diperbaiki.
Mulai dari
para pemimpin: menata paradigma dan tujuan, merumuskan
peran,
relasi, dan prioritas kerja, serta mengeksekusinya
tuntas dengan
mengerahkan segenap bakat, talenta, dan kecerdasan.
Covey
percaya, jika hal-hal ini dilakukan, benih-benih
keagungan
manusia akan tumbuh-mekar berbuah-lebat di lahan subur
organisasi. Sambil mengisahkan tapak-tapak panjang
sejarah
korporasi yang kelabu sejauh ini, Covey menawarkan resep
memperbaiki kesalahan-kesalahan itu seraya merambah
jalan baru
menuju keunggulan.
Tatkala warga negeri ini masih banyak yang terjebak
dalam dilema
klasik kemanusiaan universal: mau bahagia tetapi gemar
mengeluh;
mau dipercaya tetapi tak sanggup menjaga amanah; mau
berkilau
tetapi tak tahan dikritik; mau terpilih tetapi emoh
melayani;
mau menabung tetapi gemar bergaya hidup boros; mau
pintar tetapi
malas belajar -- yang berdampingan rapat dengan
kenyataan begitu
banyaknya manusia-manusia berjiwa kerdil, berintelek
kurus,
bermental keropos, dan berkesadaran rendah -- maka
kehadiran
buku Covey ini perlu disimak serius. Yang jelas, kita
semua
harus menjawab panggilan Suara Agung tersebut: itulah
panggilan
Suara Tuhan, Suara Rakyat, dan Suara Ibu Pertiwi yang
terus
merintih demi kemaslahatan seluruh anak negeri. Apabila
memekakkan telinga terus, kita masih akan terus terpuruk
untuk
jangka waktu yang masih panjang. Amit-amit deh!
*) Artikel ini dimuat di Harian KOMPAS, Rubrik
Pustakaloka Edisi
Sabtu, 17 Desember 2005
8 ETOS
ENTASKAN KEMISKINAN
Semua orang ingin hidup
makmur, sejahtera, sudah merupakan
aspirasi global dan universal. Lalu kemudian ada orang
yang
akhirnya hidup menderita dan miskin, itu juga fakta yang
tidak
bisa terbantahkan. Tetapi kewajiban untuk membebaskan
diri dari
kemiskinan, merupakan tanggungjawab semua orang. Karena
tidak
ada orang sehat yang ingin miskin. Tetapi yang harus
diingat,
kemiskinan itu bukanlah azab. Point utamanya adalah,
apakah
kemiskinan itu melemahkan atau justru menjadi daya pecut
untuk
maju. Demikian beberapa poin komentar yang diberikan
Jansen
Hulman Sinamo, Mr. Ethos Indonesia, saat dimintai
keterangannya
oleh tim
Info Societa
seputar kemiskinan dan
etos. Berikut ini,
hasil wawancara penulis buku best seller,
8 etos kerja.
Bagaimana pandangan Anda tentang fenomena kemiskinan di
Indonesia saat ini?
Wah, saya bukan pakar
kemiskinan.
Tapi mungkin Anda bisa kaitkan dengan etos kerja?
Sebenarnya etos kerja
ini di drive atau dibangkitkan, betapa
sesungguhnya kita sangat miskin. Jadi fakta bahwa negara
kita
miskin, tidak perlu didiskusikan lagi. Ada alasan
kultural,
alasan mentalitas. Jadi itu semua kemudian membuat kita
jadi
miskin. Yang saya maksud dengan alasan kultural
misalnya,
menurut saya kita kurang jujur untuk melihat
kenyataan-kenyataan.
Artinya kenyataan pahit kita bungkus dengan istilah yang
bagus.
Misalnya saja, keluarga miskin disebut keluarga pra
sejahtera.
Artinya kita tidak ingin melihat kenyataan secara apa
adanya.
Bahwa pemerintah ikut membangun budaya itu, ya. Tanpa
sengaja,
tanpa tahu. Korupsi dikatakan kesalahan prosedurlah, ada
yang
salah, oh, itu oknum!. Padahal, orang kalau mau keluar
dari
masalah, termasuk masalah kemiskinan, dia harus
mengambil
tanggungjawab pribadi. Ini sudah masalah mental. Kalau
saya
bodoh, miskin, mabuk, tidak lulus sekolah, itu saya yang
harus
disalahkan, itu karena saya, sayalah penanggungjawab
utama.
Bahwa, ada penyebab-penyebab sekunder di luar, itu
betul, tetapi
secara mentalitas, orang mesti kembali kepada
tanggungjawab
pribadi.
Pemerintah selama ini, membuat program pengentasan
kemiskinan,
menurut Anda bagaimana itu?
Ada baiknya itu semua,
tetapi kembali lagi pada manusia itu
sebagai pribadi, sebagai insan yang berdaulat,
bertanggungjawab.
Kalau saya jenis pribadi yang tidak bertanggungjawab
atas hidup
saya atas kondisi emosi saya, atas kemiskinan saya, atas
kebodohan saya, dikasihpun bantuan, bukan lepas dari
masalah,
tetapi justru di habiskan. Jangan salah, setiap bantuan
dari
orang lain, sesungguhnya melemahkan diri sendir
Kalau bantuan semacam charity bagaimana?
Ya, bantuan itu seperti
pedang bermata dua. Kalau saya minta
bantuan orang lain, sebenarnya saya memperlemah diri
saya,
dengan menggunakan kekuatan orang lain. Kalau saya di
bantu
orang lain, kesempatan otot saya untuk mengalami
aktualisasi,
pengembangan menjadi terhalang. Contoh paling ektrim
misalnya,
mahasiswa sedang ujian. Menjelang ujian meminta bantuan
kepada
orang lain. Itu akan berbeda kalau dia bergulat sendiri,
menemukan solusi, memecahkan masalahnya. Jadi setiap
bantuan
pihak luar, selalu memperlemah diri kita. Baik Nasional,
Internasional, Organisasional maupun personal.
Apakah ada hubungan antara utang negara dan kemiskinan?
Ya, jelas, belum lagi
efek korupsi. Artinya niat membantu,
memfasilitasi, dikorupsi juga, ini menjadi tali-temali.
Ada
banyak teori tentang kemiskinan. Salah satunya Hernando
De
Sotto, yang mencuat namanya melalui bukunya “The Mystery
of
Capital”, Misteri Kapital. Inti dari teorinya adalah
bebaskanlah
aset orang miskin. Orang miskin di daerah terutama, kan
memiliki
tanah. Tanah ulayt itu, tanah keluarga, tetapi itu kan
tidak
bisa dipakai menjadi kapital ekonomi, kecuali
disertifikatkan.
Nah, begitu tanah rakyat disertifikatkan, maka dia
menjadi
bankabel, bisa diagunkan kepada bank. Bersama dengan
itu,
Hernando juga mengatakan bahwa pemerintah harus
memperpendek
jalur birokrasi. Dalam bukunya, disebutkan bahwa untuk
mengeluarkan izin misalnya, di negara-negara miskin,
seperti
Mesir, Chile termasuk Indonesia, perlu melewati 207 meja
bahkan
lebih, dengan waktu hingga 2 tahun, ini kan birokrasi
biaya
tinggi. Jadi boleh dikatakan, ”goverment, ikut berperan
dalam
memiskinkan rakyat.”
Lalu dimana letak etos kerja nanti?
Etos kerja mengatakan
begini, teorinya membebaskan diri, perkuat
etos ekonomi.
Bisa dijelaskan etos ekonomi itu?
Ya, begini, etos ekonomi
sederhananya, perilaku apa yang harus
kita bangun, dikembangkan, agar kita secara ekonomi
senantiasa
meningkat, surplus, produktif. Nah itu erat kaitannya
dengan
mentalitas. Dalam hidup ini tidak boleh, pasak lebih
besar dari
tiang. Lebih hemat, menghargai waktu, mengutamakan
kualitas,
berpikir harus rasional, itu etos ekonomi. Kalau nanti
sudah ada
surplusnya, harus ada reinvestasi, jadi terus meningkat
surplus
kita, kapital kita terus meningkat.
Jadi mungkin bisa digambarkan seperti kerang yang
menyimpan
pasir?, Menahan perih dulu, nanti menghasilkan mutiara?
Ya, betul, nenek moyang
kita kan ada ajarannya, bersakit-sakit
dahulu, bersenang-senag kemudian. Ini berlaku hanya jika
etos
ekonominya sudah terbentuk.
Sekarang apa yang harus dilakukan oleh pemerintah, untuk
menumbuhkan ini, bagi fakir miskin, orang yang paling
rendah
pendidikannya, sikap mentalnya juga rendah?
Ya, kalau kita bicara tugas pemerintah, banyak cara yang
bisa
dilakukan. Intinya secara umum lewat pendidikan, baik
formal
maupun informal. Bagi saya, sederhananya seperti ini,
untuk
memahami ajaran etos ekonomi tidak memerlukan pendidikan
tinggi.
Dengan hemat, rajin, jangan buang-buang waktu, kalau
kerja
mengutamakan kualitas, bekerjasama, jangan saling iri,
itu hal
yang sederhana, dan itu merupakan etos ekonomi!.
Menabung itu
prinsip dasar. Menurut saya, bangun subuh, setiap muslim
kan
mestinya bangun subuh, tapi jangan sesudah subuh tidur
lagi.
Habis sembahyang subuh langsung bekerja, dengan penuh
semangat.
Kalau buku Anda 8 etos keja itu dituangkan dalam program
kerja
pengetasan kemiskinan, kira-kira seperti apa bentuknya?
Buku itu,–cerita kerang
itu–sebenarnya sebuah paradigma, pertama-tama
saya ingin mengatakan, bahwa hidup ini sarat dengan
penderitaan,
itu yang pertama perlu diperhatikan. Tak ada manusia
yang bebas
dari penderitaan, penderitaan karena kemiskinan,
penyakit, cacat,
karena cekcok dalam rumah tangga, dan lainnya. Jadi para
konglomerat itu, bukan berarti hidupnya bebas dari
penderitaan!,
tapi mungkin penderitaan dalam dimensinya yang lain,
dibandingkan dengan orang miskin. Mungkin penderitaan
orang kaya
itu justru lebih berat, misalnya karena anak-anaknya
berebut
harta. Namun demikian, penderitaan pun ada hikmahnya,
kalau kita
bersedia menghadapi penderitaan itu dengan gagah
perkasa,
bersedia tegar menghadapi penderitaan itu, kalau secara
metaforis, maka dia akan berubah menjadi mutiara.
Dari kurang lebih 4 juta fakir miskin Indonesia,
anggaranya
hanya 500 miliar pertahun, tanggapan Anda bagaimana?
Ya, menyedihkanlah. Oleh
karena itu selalu ada orang di luar
pemerintah yang melakukan apa yang bisa dilakukannya.
Seperti
saya misalnya, mencoba memberikan penguatan mentalitas,
penguatan etos, memberi pencerahan agar sadar. Jadi,
berapapun
anggarannya akan kurang, believe me!, negara kita sudah
sekaya
Jepangpun, anggaran itu masih akan kurang. Yang
terpenting
sebenarnya, berapapun anggaran kita, bagaimana
menggunakannya
secara bijak. Kalau itu semua dibuat menjadi charity,
pasti ada
yang tertolong dengan charity, terutama yang terjepit,
tapi saya
sudah bilang sebelumnya, apapun bentuk charity akan
membawa
dampak melemahkan yang dibantu.
Seperti Bantuan Langsung Tunai itu?
Ya, kan banyak yang
mengkritiknya. Tapi tidak mungkin menjadi
program standard dan program wajib kan. Lagi pula, buat
saya,
orang yang selalu dibantu, itu dignitynya (harga diri)
merosot!
Maka bagi si penerima bantuanpun, harus juga memiliki
kesadaran
yang critical. Apakah bantuan ini memperlemah saya,
menurunkan
dignity saya, apakah bantuan ini membuat saya dalam
posisi hamba
atas diri saya. Kita akhirnya tidak lagi bisa bersifat
kritis,
independensi kita berkurang. Sama seperti wartawan,
kalau sumber
beritanya senantiasa memberi amplop, mana bisa
independen!.
Karena saya rasakan begitu, teman-teman pemilik media
juga
bergulat dalam persoalan itu. Sama halnya dengan negara,
dimana
independensi kita sebagai bangsa, kemudian berkurang,
karena
selalu menerima bantuan luar negeri.
Jadi mungkin pengalihan bantuan itu sebagai usaha
produktif,
bukan begitu?
Ya, mestinya begitu
mempercepat produktifitas. Jadi yang harus
dipastikan dulu, dia harus menjadi individu yang
produktif. Jadi
harus ada uji coba dahulu. Jika sudah teruji
mentalitasnya dalam
mendayagunakan uang seratus ribu menjadi lebih besar.
Kalau
sudah terbukti mentalitasnya, baru ditambah. Sehingga,
prosesnya
makin lama makin cepat. Penting dibedakan dengan charity
murni,
misalnya kita membantu orang-orang yang cacat, atau
lansia,
jompo, itu lain karena hal itu merupakan tugas sosial
dan
kewajiban mulia – Tugas Utama Departemen Sosial RI–.
Lalu apakah sudah ada formula khusus, etos untuk kaum
miskin?
Mudah sekali membuatnya.
Karena dari pengalamanyang sudah kami
lakukan, misalnya memberikan training etos sudah ke
berbagai
tahap masyarakat. Baik di Karang Taruna, dosen, pegawai
bank.
Sebab apa, etos itu merupakan ajaran yang sangat
sederhana. Apa
susahnya memahami, kalau kerja itu rahmat. Maka kalau
kita
bekerja harus ikhlas dengan rasa tulus harus bersyukur.
Untuk
secanggih Presidenpun relevan dan semiskin fakir
miskinpun
relevan. Orang cacat, orang buta saja masih bersyukur,
bagaimana
kita yang masih sehat malah tidak bersyukur. Itu ajaran
pertama.
Kalau kita bisa bersyukur itu saja sudah memberikan
resources,
mental kepada kita. Karena kita kemudian menjadi peka,
melihat
opportunity-opportunity, berjiwa besar, tidak mudah
patah arang.
Etos 8 misalnya, kita harus melayani dengan rendah hati.
Kerendah-hatian itu penting. Jangan baru pegang 2-3 juta
sudah
sombong, bersikap melayani, siapapun teman atau klien
kita atau
rekan bisnis kita. Ajaran seperti ini sangat mendasar, 8
ajaran
etos ini sangat dasar. Jadi kalau ditanya bisa nggak
kalau kita
paket menjadi pelatihan kepada orang miskin atau kepada
kelompok
penggerak orang miskin, akan mudah sekali membuatnya.
Karena
kita semua berangkat dari orang akademik, awalnya memang
kita
buat untuk orang level atas, tapi itu dengan mudah kita
bikin
modul untuk orang semiskin dan serendah apapun
pendidikannya,
tidak ada masalah itu.
Kalau dalam bingkai 8 etos, masuk etos berapa, tentang
tanggungjawab sosial setiap individu dan perusahaan?
Secara spesifik mungkin
masuk dalam etos 8, pelayanan. Tetapi
sebenarnya 8 etos ini, bisa kita katakan etos sosial,
karena 8
etos ini demikian mendasar. Sehingga dia kualified
menjadi etos
bisnis, politik, akademik, sosial, spiritual dan
ekonomi.
Kedudukan 8 etos ini,-Rahmat, amanah, panggilan,
aktualisasi,
ibadah, seni, kehormatan, pelayanan,-. Dalam analogi
ilmu fisika,
kedudukannya seperti sumbu X, sumbu Y dan sumbu Z,
sistem
koordinate, sistem standard. Pokoknya kalau kita mau
memahami,
ruang, garis, bidang titik, harus ada sistem koordinate,
itu
yang dinamakan sistem koordinat Kartesius, sumbu, X, Y
dan Z.
Segala sesuatu dalam ruang tiga dimensi, selalu bisa
kita
ungkapkan dalam sistem X, Y Z.
Analog dengan itu, 8 etos ini merupakan faktor dasar.
Untuk
membangun etos politik, ekonomi, sosial, bisnis, etos
kepemimpinan, demikian fundamental. Saya bisa menemukan
ini,
lihat saja buku ini (sambil menunjuk buku-buku yang
tersusun
rapi di lemari) ini bukan dipajang, tapi dibaca. Jadi
lahir dari
analisis, perenungan dan studi.
*) Sumber:
Majalah
INFO SOCIETA; Edisi khusus “kemiskinan” Tahun 2006
halaman 40-42
KECERDASAN
PAMUNGKAS dan KECERDASAN PARIPURNA
Oleh: Jansen H. Sinamo
Sudah umum diterima bahwa orang yang cerdas, bangsa yang
arif, lebih
sukses hidupnya daripada orang yang kurang cerdik, bangsa
yang
kurang bijak. Maka pengembangan kepandaian dan kecendekiaan
manusia
telah menjadi agenda kebudayaan yang utama di sepanjang
sejarah. Hal
inilah yang menjadi inti pustaka yang satu ini.
Bagi pemerhati dan pengembang kecerdasan, judul dan gambar
sampul
buku ini segera memantik selera beli. Dengan tajuk Universal
Intelligence (UI), kitab ini terasa memosisikan diri sebagai
pemaripurna buku-buku lain yang bertitelkan intelligence,
seperti
emotional intelligence, spiritual intelligence, atau
financial
intelligence yang marak sedasawarsa terakhir ini. Jika
tidak,
sedikitnya ia menampilkan diri sebagai pamungkas teori
kecerdasan
berganda yang sohor diusung oleh Howard Gardner:
logical-mathematical intelligence, linguistic intelligence,
spatial
intelligence, musical intelligence, bodily-kinesthetic
intelligence,
personal intelligence, dan naturalist intelligence.
Kesan itu diperkuat oleh pilihan gambar sampulnya, yaitu
imaji
galaksi yang sedang memoros di intinya: akbar, dahsyat,
sekaligus
misterius menggentarkan. Dugaan itu pas saat kita bersua
dengan
definisi UI di halaman 310 sebagai "kecerdasan yang
memberikan
pemahaman, strategi, dan solusi meluas dan universal
terhadap
berbagai sisi kehidupan manusia dengan segenap persamaan
maupun
keragaman atau perbedaan yang ada; sebagai suatu
keniscayaan, sarana,
dan tantangan bersama untuk saling memacu kebajikan terbaik,
dengan
selalu menempatkan Tuhan YME sebagai poros kehidupan".
Bukankah
kedahsyatan galaksi memang kena-mengena dengan kebesaran
Tuhan? Dan,
kalau kita sudah mampu menjadikan Tuhan sebagai poros
semesta
kehidupan, apa lagi yang bakal kurang?
Kedua pengarang, Ratna Sulistami D dan Erlinda Manaf Mahdi,
memang
tegas menyatakan bahwa dengan UI kita akan mampu
menumbuhkembangkan,
memberdayakan, mengaktualisasikan semua potensi, kompetensi,
dan
nilai-nilai luhur guna menghasilkan seluruh keunggulan
kompetitif
baik secara perorangan, kelompok, institusi/perusahaan,
maupun
lingkup yang lebih luas (hal xxvii).
Ambisi itu juga terasakan ketika mereka merumuskan Tujuh
Poin Utama
Universal Intelligence (hal 311-313) sebagai berikut: (1)
Space and
Time: Keadaan yang meninggi akan batasan ruang dan waktu;
(2) Zero:
Upaya memahami dan menerima kesetaraan dengan menjaga
prinsip Nol,
menafikan berbagai hambatan atau beban yang melingkupi
keragaman
atau perbedaan, guna saling memacu dan memberikan yang
terbaik dalam
keseimbangan dan harmoni; (3) Centering Point: Upaya
memahami energi
yang lembut, melampaui dan powerful melalui Fokus
Transendental,
guna pencerahan nurani dan memberi tuntunan arah dalam
merengkuh
kebermaknaan hidup; (4) Retrograde: Tindak nyata dalam gerak
tangguh
ke semua arah pertumbuhan, pengembangan, serta
penyempurnaan; (5)
Evaluation: Pemahaman dan kesadaran akan "siapa aku,
keberadaanku" (melalui
proses pengetahuan, introspeksi, healing, muhasabah, atau
pengakuan
dosa) yang mengantar seorang "abdi" pada pertanggungjawaban
hidup
yang lebih tinggi dan adil; (6) Climbing for Freedom: Jalan
menuju
kebebasan sejati (dari segala bentuk penghambaan, hambatan,
dan
pikiran yang melingkupi) dalam sebuah keseimbangan, harmoni,
dan
enersi cinta ilahiah; (7) Ultimate Personality: Fungsi
keteladanan
dan discipline ritual yang berlaku bagi setiap insan.
Di tengah melimpahnya buku dan semaraknya seminar tentang
berbagai
kecerdasan dewasa ini, buku ini tetap layak ditelaah. Walau
taksonomi kecerdasan itu sendiri belum tuntas terpetakan,
kitab ini
jelas menambah ragam pengertian kita sehingga seandainya
kelak ada
panitia perumus kecerdasan yang setara dengan yang pernah
dipimpin
oleh Benjamin S Bloom (1956) di bidang pengetahuan, maka
kita
berharap lahirnya taksonomi kecerdasan manusia yang lengkap.
Sekadar mengingatkan: Taksonomi Bloom, sederhananya,
mempersumbukan
dua matra akal budi manusia. Para arah horizontal, sumbu X,
terdapat
enam kemampuan: mengingat, memahami, menerapkan, menganalis,
mengevaluasi, dan mencipta. Pada arah vertikal, sumbu Y,
terdapat
empat kategori pengetahuan: faktual, prosedural, konseptual,
dan
meta-pengetahuan. Bila kedua sumbu X-Y itu disilangkan, maka
kita
akan memperoleh 24 kategori akal budi manusia dalam
berpengetahuan.
Nah, taksonomi kecerdasan yang setara atau sinambung dengan
Taksonomi Bloom ini amat mendesak keperluannya agar
pemahaman kita
tentangnya menjadi jelas, koheren, simetris, dan
komprehensif
sehingga kurikulum dan program-program pengembangannya bisa
dikerjakan dengan lebih baik.
Di sini pula letak kekurangannya. Bukan hanya UI, tetapi
semua kitab
yang bertema kecerdasan. Hingga kini semuanya masih tumpang
tindih,
kabur dan keruh membaur, yakni pengertian tentang hakikat
kecerdasan-kecerdasan (emosional, spiritual, hati,
adversitas,
universal) itu sendiri: apa saja anasir khasnya, gatranya,
hubungan
sesamanya, parameternya, termasuk sukat-sukatnya. Karena
hal-ihwal
di atas belum jelas, maka penganjur kecerdasan emosional,
misalnya,
dengan sangat berani mengklaim bahwa 80 persen kesuksesan
manusia
ditentukan oleh EQ-nya. Hampir tak tersisa lagi peranan buat
IQ, AQ,
SQ, FQ, UQ, dan QQ lain! Artinya, ada wilayah gelap di sana.
Dan
perkara itu masih terbiarkan kusut tak terpilah, keruh tak
tertapis,
dan kacau tak tertata. Tak pelak, setiap penganjur
kecerdasan
tertentu amat sukar menahan diri dari godaan bermuluk klaim.
Buku ini sendiri mengidap persoalan yang mirip di sektor
lain:
bahasa. Terlalu banyak istilah Inggris dibiarkan bertabur
acak tanpa
keperluan yang jelas. Akibatnya mengganggu dan mengaburkan.
Ketika
banyak narasinya dibuka, dijeda, dan ditutup dengan puisi
tumbuh
pula tuntutan agar prosanya pun ditulis dengan bagus: bahasa
Indonesia yang gurih terasa dan elok tertata.
Tiga lapis kecerdasan
Ketika konsep inteligensi saya telusuri melalui mesin
Google,
tersua 24 rumusan. Sesudah diolah, saya temukan tiga lapis
kecerdasan.
Pertama, sebagai kemampuan akal budi kita untuk memahami
informasi
yang membentuk kesadaran dan pengetahuan, mulai dari tingkat
yang
paling sederhana sampai yang paling canggih, dari yang
paling
konkret sampai yang paling abstrak.
Kedua, sebagai kemampuan untuk mengumpulkan, menapis,
memilah,
menata, dan menyajikan informasi tersebut secara tersistem.
Ketiga, sebagai kemampuan untuk menggunakan informasi yang
jernih
terstruktur itu sebagai mualim bagi perasaan, navigator bagi
pikiran,
dan nakhoda bagi tindakan kita; baik untuk mengembangkan
ragam dan
mutu informasi itu sendiri, tetapi terutama dalam rangka
menempuh
hidup ini secara berhasil seraya memecahkan masalah-masalah
kehidupan yang senantiasa muncul mengepung.
Selanjutnya, mutu kecerdasan kita—besaran inilah yang
bertalian
dengan predikat Q pada setiap jenis kecerdasan—ditentukan
oleh
ketajaman, kejernihan, dan presisinya. Ini di tingkat
pertama. Di
tingkat kedua, oleh kecepatan pemrosesan dan kapasitasnya,
sedangkan
di tingkat ketiga oleh keampuhan dan kegunaan taktis maupun
strategisnya.
Dua hal ini saja sudah sangat menolong sebagai perkakas awal
untuk
meletakkan pengertian-pengertian pokok di seputar kecerdasan
itu
secara runtut dan sistematis. Jika kita nanti sudah mampu
memetakan
seluruh kecerdasan manusia, maka kita niscaya bisa
menjelaskan
perbedaan kecerdasan seorang Einstein dan Hitler, Castro dan
Mendela,
atau persamaan kecerdasan seorang Picasso dan Da Vinci, Pele
dan
Ali. Kita pun tidak akan bingung lagi melihat fakta bahwa
murid yang
dahulu "kurang cerdas" di sekolah ternyata sekarang tampil
lebih
sukses daripada teman-temannya yang "lebih cerdas". Juga,
kita akan
lebih tahu cara mengembangkannya.
Sebagian kecerdasan kita terwarisi secara genetis. Anugerah
insani
ini kita sebut sebagai bakat atau talenta. Tetapi, menurut
filsuf,
psikologiwan, dan pembaru pendidikan, John Dewey, bagian
terbesar
kecerdasan kita adalah hasil usaha. Katanya, kecerdasan
bukanlah
sesuatu yang kita miliki dan tak berubah selamanya,
melainkan suatu
proses pembentukan yang berkesinambungan, dan untuk
mempertahankannya diperlukan keterjagaan budi ketika
mengamati dan
mengalami peristiwa-peristiwa, keterbukaan hati untuk terus
belajar,
serta ketangguhan dan kekenyalan mental untuk terus
menyesuaikan
diri. Itulah sebabnya pendidikan senantiasa sangat penting,
istimewa
bagi negeri kita yang bermasalah banyak ini.
*) Artikel ini dimuat di Harian KOMPAS, Rubrik
Pustakaloka Edisi
Senin, 29 Januari 2007
KUNCI
KEGAGALAN
Oleh: Jansen H. Sinamo
Kita semua tidak ingin gagal. Kita semua menghindari
kegagalan.
Tetapi rupanya kegagalan sangat akrab dalam kehidupan kita.
Banyak
target yang tak tercapai , banyak cita-cita yang tak
terealisir, dan
banyak harapan tinggallah kosong.
Mengapa kita gagal dan tidak mencapai keberhasilan? Mengapa
kita
belum berhasil dan menemui kegagalan? Apakah kegagalan
merupakan
realitas wajib sehingga keberhasilan dapat kita
apresiasikan?
Pertanyaan-pertanyaan diatas sering menghantui kita dan
memerlukan
jawaban dari kita masing-masing.
Kegagalan tidak terjadi dalam semalam. Keberhasilanpun tidak
dicapai
dalam sehari. Kedua tesis di atas sangat sederhana tetapi
juga
sangat benar.
Saya teringat ucapan seorang dokter tetangga saya, ketika
pulang
mengantarkan tetangga kami yang kena serangan jantung ke
rumah sakit
gawat darurat. Dia berkata bahwa sebetulnya serangan jantung
tidak
datang dengan tiba-tiba, tetapi bertahun-tahun bahkan
berpuluh-puluh
tahun penyakit jantung telah ditimbun mulai dari merokok
terlalu
banyak, minum kopi terlalu banyak, malas olahraga sehingga
sedikit
demi sedikit pembuluh darah semakin menyempit.
Akhirnya sedemikian sempitnya sehingga kegagalan jantung
terjadi.
Benarlah bahwa kegagalan jantung tidak terjadi dalam semalam
melainkan ditumpuk bertahun-tahun, sedikit demi sedikit.
Keberhasilan pun berlangsung dengan modus yang sama, sedikit
demi
sedikit keberhasilan ditumpuk sedemikian rupa sehingga
keberhasilan
itu lama kelamaan besar. Secara teoritis jika seseorang
mempelajari
lima kata bahasa Inggeris perhari maka dalam setahun dia
akan
memiliki hampir dua ribu kosa kata dan dalam lima tahun
pasti bisa
menguasai sepuluh ribu kosa kata. Tetapi berapa banyakkah
orang yang
lulus perguruan tinggi mampu berbahasa Inggris dengan
lancar? Tidak
banyak. Mengapa? Karena mereka gagal menghafal lima bahasa
Inggeris
perhari.
Masih banyak contoh dapat kita berikan tentang kebenaran
tesis bahwa
keberhasilan adalah kemampuan mengambil langkah-langkah
kecil untuk
mencapai hasil yang besar. Dan bahwa kegagalan adalah
ketidakmampuan
menghindari hal-hal kecil sampai ia menumpuk sedemikian
besar dan
tak terhindarkan lagi konsuekuensinya.
Maka rahasia kegagalan adalah gagal mengucapkan selamat
pagi, gagal
mengucapkan terima kasih, gagal minta maaf, gagal mengurangi
sepiring nasi dari diet harian, gagal memberi perhatian pada
seorang
staff, gagal mengusulkan kenaikan pangkat anak buah, gagal
tersenyum,
gagal bertekun setengah jam, gagal berolahraga setengah jam
per hari,
gagal sholat sepuluh menit per waktu, gagal membawa mobil ke
bengkel
untuk servis rutin, gagal menabung 5% dari penghasilan per
bulan,
gagal menutup mulut dari ucapan tak bermutu, dan ribuan
kegagalan
kecil lainnya.
Orang bijak berkata berkata bahwa hal-hal kecil memang
sepele,
tetapi setia pada perkara-perkara kecil adalah hal yang
besar.
Dari Cendol ke Jip
Jika cendolku ini habis terjual, akan kubeli seekor induk
ayam. Lalu
ayamnya kupelihara. Bertelor banyak sekali. Selanjutnya aku
memiliki
banyak anak ayam," demikian seorang tukang cendol
berangan-angan
sambil setengah mengantuk. Sementara cendolnya sejak pagi
belum juga
laku barang segelaspun. Dia bersandar pada batang pohon yang
rindang
sehingga terlindung dari sengatan matahari. Dia berharap
semoga ada
pembeli menghampiri. Anaknya yang belum terjamah wajib
sekolah, ikut
menemaninya berjualan. Di balik pohon itu si anak asyik
bermain
jangkrik.
"Wah, kalau ayam-ayam ini kupelihara terus pastilah jadi
babon semua.
Kujual, lalu kubeli kambing betina sebagai gantinya," pikir
tukang
cendol melanjutkan angannya. Begitu asyiknya ia berkhayal,
sampai
setengah mengingau, sehingga memancing perhatian anaknya.
"Kambing lalu besar. Beranak pinak. Lalu menjadi besar.
Kujual semua.
Lantas kubeli anak kerbau. Kupelihara baik-baik, jadi besar,
wah …
aku ini kaya. Punya banyak kerbau, he … he … he," tukang
cendol
benar-benar hanyut oleh sukacita menikmati khayalnya.
"Nanti kerbaunya boleh saya naiki, ya pak? kata anaknya yang
dari
tadi menyaksikan bapaknya mengigau, melakonkan impiannya
seolah-olah
telah terjadi.
Kaget oleh interupsi ini sang bapak menghardik, "Tidak
boleh.
Nantinya kerbaunya jadi cebol!"
"Boleh dong pak! Masak sih kerbau jadi cebol?" rengek
anaknya.
Merasa terganggu, dijitaklah anaknya sampai menangis dan
berlari
menjauh.
Tukang cendol tak perduli dan melanjutkan khayalnya,
"Kerbau-kerbauku
kujual semua lalu kubeli jip: rrrrr … kuinjak gasnya … lari …
oh …
asyik …!" sambil mempraktekkan menekan pedal gas jip
barunya.
Tapi malang, pedal jip dalam impian yang ditekan itu
ternyata
gentong cendol. Gentong berantakan. Cendol tumpah disertai
berakhirnya mimpi di siang bolong. Dengan wajah lesu
dipandangnya
cendol yang berserakan di tanah. Ia tak tahu harus berbuat
apa. Si
anak yang sudah berhenti menangis dan berdiri agak jauh,
terkejut
mendengar bunyi gentong pecah. Ia tak mengerti mengapa
bapaknya "ngamuk".
Sayang memang, padahal impian itu sebetulnya feasible.
Namun,
terlepas dari kemalangan yang menimpanya, tukang cendol
tersebut
telah mampu membangun dalam pikirannya suatu cara menjadi
kaya.
Perkara apakah jalan pikiran itu dapat direalisasikan, itu
memang
hal lain.
Tak kurang Johann Wolfgang Van Goethe pernah berkata,
"Thinking is
easy, acting is difficult, and to put one's thought into
action is
the most difficult thing in the world".
Hal yang tersulit ini, tak enaknya, harus mampu dilakukan
oleh
manajer. Manajer harus bisa "to get (planned) things done".
Atau
sebaliknya: ukuran kemanajeran seseorang ialah apakah ia
mampu
membuat ide menjadi kenyataan: dari cendol menjadi jip!
Semoga Anda para manajer, diberiNya kekuatan dan
kebijaksanaan
melakukan hal yang tersulit ini.
*) Dipetik dari kumpulan tulisan Mr Ethos Jansen H.
Sinamo.
Indonesia Unggul, Mungkinkah?
Oleh: Jansen H.
Sinamo
Suara Presiden Yudhoyono
menyambut peluncuran buku Stephen Covey, The 8th Habit:
From
Effectiveness to Greatness, Rabu (30/11) di Jakarta,
menggedor
kesadaran kita. Untuk keluar dari pusaran arus
turbulensi
nasional, menapaki tegalan berbatu-batu, lalu mendaki
bukit
keberhasilan nasional dimana Indonesia bakal bisa
setaraf dengan
Cina, Malaysia, India, atau Korea Selatan, maka bangsa
kita
harus menumbuhkan sebuah kultur baru: a culture of
excellence di
semua bidang kehidupan bangsa baik di panggung negara,
pentas
ekonomi, maupun arena civil society.
Sesungguhnya, suara serupa sudah lama terdengar di
negeri ini
setidaknya sejak 20 tahun terakhir, namun cuma melata di
lorong-lorong seminar dan pelatihan SDM yang
didengungkan antara
lain oleh guru-guru keberhasilan anak negeri seperti
Soen
Siregar, Gede Prama, Rhenald Khasali, Aa Gym, Andrias
Harefa,
Hermawan Kartajaya, atau Ary Ginanjar. Tetapi kali ini
sungguh
istimewa: suara itu dikumandangkan dari podium tinggi
dengan
amplitodo besar oleh kepala negara Presiden Yudhoyono,
mahaguru
sukses internasional Stephen Covey, dan tokoh pers
nasional
Jakob Oetama. Maka biarlah telinga semua anak bangsa
sudi
mendengarnya.
Dalam ceramah selama
hampir 200 menit menyusul peluncuran itu,
sekitar 2.000 manajer dan eksekutif bisnis negeri ini
menyimak
takzim petuah Stephen Covey. Di pentas bisnis global
Stephen
Covey adalah nama yang amat berwibawa – mungkin setara
dengan
Peter Drucker di bidang manajemen – dan suaranya lebih
sering
terdengar bagai amar kenabian. Suara waskitanya mampu
menjebol
tembok kesadaran yang kapalan, mendobrak jeruji batin
yang
tergembok, membebaskan tenggorokan nurani yang terbekap,
lalu
menjawab suara otentik panggilan jiwa para pendengarnya.
Kata
Covey, apabila orang menemukan suaranya dengan menjawab
panggilan Suara Agung di hatinya, maka itulah itulah
mula
keagungan. Dan itu pulalah the beginning of excellence
seperti
didamba Presiden Yudhoyono.
Jadi, tak ada keunggulan apabila orang pekak terhadap
panggilan
Suara Tuhan, Suara Rakyat, atau Suara Ibu Pertiwi.
Menjadi tegas
pula, pondasi segala prestasi-keunggulan-keakbaran
adalah
spiritualitas: nurani yang jernih, hati yang bening, dan
akalbudi yang cerah. “Dan semuanya itu harus dibasiskan
pada
prinsip-prinsip sejati [true north principles]”, ujar
Covey. Dan
sayup-sayup, kita pun mendengar gema tesis Max Weber
seratus
tahun lalu: apabila orang bekerja berdasarkan panggilan
jiwanya
maka ia akan unggul melampaui yang lain. Dimampatkan,
begitulah
mula kisah kemajuan negara-negara di belahan Eropa
Utara, dan
selanjutnya Amerika Serikat, mencapai keunggulan global
hingga
hari ini, seperti juga disinggung Presiden Yudhoyono
dalam
pidatonya.
Basis Keunggulan
Diroketkan pada 1983 oleh TJ Peters dan RH Waterman
melalui In
Search of Excellence, tema keunggulan kemudian
mengilhami dan
mewarnai hampir semua literatur sukses yang ribuan
jumlahnya
sejak itu. Peters dan Waterman berkisah tentang
pribadi-pribadi
unggul yang mengawaki perusahaan-perusahaan kelas dunia
seperti
IBM, Boeing, dan General Electric. Antara lain
ditekankan
pentingnya kedekatan dengan pelanggan, jiwa
kewirausahaan,
produktivitas SDM, dan motivasi berbasis nilai-nilai
luhur.
Sebelum The 8th Habit terbit, Jim Collins dalam Good to
Great
[2001] menampilkan hasil studinya tentang elemen menjadi
great
company: kepemimpinan yang profesional namun rendah
hati,
pemilihan SDM yang tepat, tegar menghadapi realita,
selalu
melakukan yang terbaik, membangun kultur disiplin, dan
pilihan
teknologi yang pas sebagai akselerator.
Masih bisa ditambahkan bahwa excellence itu digerakkan
oleh visi
akbar yang menggetarkan bahkan sanggup meminta
pengorbanan dari
segenap warganya, dipandu oleh strategi cerdas agar
sumberdaya
yang terbatas cukup, dimotori oleh inovasi-inovasi
kreatif,
dikawal oleh sikap antisipatif, dan didukung oleh
karakter
ketekunan.
Apapun komposisinya, akhirnya kita menyimpulkan bahwa
basis
keunggulan suatu produk, organisasi, bahkan sebuah
bangsa,
nyata-nyata dan tak bisa lain, ialah manusia unggul
juga:
spiritualitasnya, intelektualitasnya, dan etos kerjanya.
Manusia-manusia unggul demikianlah yang menghasilkan
kitab
Sutasoma, novel Bumi Manusia, candi Borobudur, atau
pilar
Sosrobahu; dan termasuk pesawat A380, jam Rolex,
teleskop
Hubble, atau sepatu Nike.
Etos Keunggulan
Menilik Indonesia kini, kita pun bertanya: masih adakah
energi
sisa warga bangsa ini membangun budaya unggul sesudah
besar-besaran terkuras oleh pungli dan korupsi, tersedot
ketika
memerangi penjarahan alam, tersita bagi penyelesaikan
konflik-konflik SARA, terhisap saat menangkal
kriminalitas dan
terorisme, bocor buat mengatasi pertikaian politik,
tiris guna
membayar warisan hutang dari rezim-rezim sebelumnya,
serta
menguap tatkala mengatasi gonjang-ganjing harga berbagai
komoditas pokok? Banyak yang pesimis, apatis, bahkan
sinis.
Namun sejarah memberi perspektif yang menghibur:
ternyata bisa!
Satu contoh saja. Korea Selatan pernah luluh lantak usai
Perang
Dunia II, kini tampil gagah di serambi depan
bangsa-bangsa maju.
Apa rahasianya? Samuel Huntington dalam Culture Matters
[2000]
memberikan jawaban tegas: budaya! Budaya yang bertumbuh
di sana
ialah kerja keras, disiplin, berhemat, menabung, dan
mengutamakan pendidikan. Itulah akar-akar tunggang pohon
excellence yang kita cari-cari itu. Nama lainnya: etos
keunggulan.
Harapan lain, modal spiritual [spiritual capital] itu
sendiri
ternyata menjanjikan ketidakterbatasan. Kapital rohani
itu bagai
lubuk energi tak berdasar. Dalam biografinya, The Long
Walk To
Freedom [1994] Nelson Mandela berkata, “Saya mengalami
sendiri
bahwa kita mampu menanggung hal-hal yang sebenarnya tak
tertanggungkan jika kita dapat menjaga semangat hidup
tetap
tinggi meskipun tubuh kita disiksa. Keyakinan yang kuat
adalah
rahasia kesanggupan menanggung segala kekurangan.
Semangatmu
bisa penuh meskipun perutmu kosong.” Keyakinan, iman,
harapan,
tekad, antusiasme itulah berbagai wajah spiritualitas.
Inilah
the spirit of excellence.
Memang spirit itu perlu diberi darah, saraf, otot, dan
daging
agar menjadi tubuh, artinya menjadi budaya. Dan Presiden
Yudhoyono telah menjanjikannya pula: good governance.
Dialah
kepala tubuh yang pernah berkata: bersama kita bisa!
Kini,
semboyan itu perlu ditambah bobot menjadi semacam Sumpah
Palapa
II: Bersama kita harus bisa unggul! Kalau sudah begitu
rakyat
pun niscaya ikut.
*) Artikel ini dimuat di Harian KOMPAS, Rubrik Opini
Edisi Sabtu,
3 Desember 2005
CHARLO
MAMORA, SANG ARSITEK TRANSFORMASI ASTRA
Oleh: Jansen H.
Sinamo
GELOMBANG perubahan
bergejolak
yang melanda Indonesia sejak 1997 sudah menelan 4 rezim
berturut-turut: Soeharto, Habibie, Gus Dur, dan
Megawati. Di
tingkat korporat, gelombang yang sama menggulung pula
ratusan
perusahaan, bank, dan grup konglomerat. Tokoh-tokoh
bisnis zaman
itu -– dulu wajah-wacana mereka mendominasi media massa
-– kini
lenyap bagaikan sekam terempas puting beliung ke rawa
kumuh.
Sungguh, suatu pagelaran change management yang gagal
total.
Sebuah tragedi nasional yang mesti jadi pelajaran
berharga bagi
siapa pun yang bertelinga.
Di antara sedikit grup usaha besar yang selamat,
meskipun sempat
babak belur, ialah PT Astra International yang didirikan
William
Soeryadjaya tahun 1957. Meskipun Om Willem tidak lagi di
Astra
saat krisis itu, tetapi generasi penerusnya, Teddy
Rachmat dan
Rini Soewandi, berhasil mendayung biduk Astra
berselancar
mengarungi badai.
Kegagalan dapat dijelaskan. Begitu pula keberhasilan.
Yang
terakhir ini dikisahkan Charlotte Buttler dalam Dare To
Do: The
Story of William Soeryadjaya and PT Astra International
(2002).
Buttler menutup bukunya dengan kalimat begini, “The
group that
William had created looked indestructible. It had not
just
survived, but looked set to flourish once more.” Sebelum
krisis,
Astra dikenal sebagai grup paling kredibel di Indonesia,
dan
pasca krisis, predikat itu direbutnya kembali.
Teddy Rachmat, CEO Astra 1984-2002 – diinterupsi
sebentar oleh
Rini Soewandi tahun 1998 – dikenal luas sebagai pemimpin
terpuji
yang menakhodai kapal Astra. Namun ada seorang tokoh
yang nyaris
tak pernah disebut media massa Indonesia di balik
kelenturan
Astra berselancar itu. Dialah sang arsitek transformasi
Astra:
Charlo Mamora.
***
SIAPAKAH Charlo Mamora? Teddy Rachmat menjulukinya
“Arsitek
Astra”. Rachmat -– delapan belas tahun didampingi Mamora
hingga
pensiun -– lebih tajam mengkristalkan peranan pria
kelahiran
Sibolga, Sumatera Utara, itu sebagai The Architect of
Astra
Human Capital Management and Management System
Practices. “Dia
ini mitra saya mengubah desain Astra menjadi kenyataan,”
tegas
Rachmat lebih lanjut.
Di banyak halaman Dare To Do, Buttler menjelaskan lebih
detail
peranan instrumental dan strategis yang dimainkan Mamora
bersama
raksasa-raksasa Astra lainya seperti Budi Setiadharma,
Michael
Ruslim, Rudyanto Hardjanto, Benny Subianto, Hagianto
Kumala, dan
lain-lain.
Sebagai eksekutif ex-IBM, Mamora begabung dengan Astra
di akhir
dekade 70-an. Tipikal eksekutif muda masa itu yang
merasa
karirnya sudah mentok di perusahaan multinasional,
Mamora ikut
merasa terpanggil membesarkan perusahaan lokal yang haus
sumbangan profesionalisme dari putra-putri Indonesia
yang
beruntung mengecap kultur itu. Di barisan ini, satu
dekade
kemudian, Rini Soewandi, bankir ex-Citibank, juga ikut
bergabung.
Pasca Astra kelak, Rini bahkan melejit menjadi
Menperindag dalam
Kabinet Megawati.
Pada permulaan dekade 80-an, Astra bertekad menjadi
perusahaan
profesional. Ketika Rachmat kemudian menjadi CEO, ia
segera
menerapkan Total Quality Management secara
besar-besaran.
Bersama Mamora sistem manajemen Jepang ini mereka
adaptasi
menjadi Astra Total Quality Management. Program ini pun
menuai
sukses. Inilah permulaan era pertumbuhan cepat Astra
menjadi
grup usaha besar dan profesional.
Fase pertumbuhan cepat ini mengalami berbagai desakan
sentrifugal yang bersifat memecah. Untuk mencegahnya,
dibutuhkan
kekuatan penahan yaitu budaya perusahaan (corporate
culture).
Pada tahun 1984, Mamora -– sarjana ilmu pasti dari
Sanata
Dharma, Yogyakarta, yang saat itu menjabat Kepala Divisi
Pengembangan SDM merangkap Kepala Divisi Pengembangan
Manajemen
-– diserahi tugas memimpin pengembangan dan implementasi
corporate culture Astra. Inilah yang kemudian dikenal
sebagai
Catur Dharma Astra yaitu (1) Respek pada individu dan
kerjasama;
(2) Berjuang meraih keunggulan; (3) Pelayanan terbaik
bagi
pelanggan; dan (4) Menjadi aset bagi bangsa.
Sejak itu pula tugas Mamora bersifat sangat strategis:
Mentransformasikan Astra menjadi perusahaan unggul.
Misinya saat
itu dikalimatkan sebagai “To bring Astra to excellence”.
Dalam kurun 1983-1987, Mamora menangani berbagai
inisiatif
strategis. Dalam rangka transformasi itu sejumlah sistem
dan
konsep dikembangkannya menjadi praktik standar di
seluruh grup
Astra. Bahasa manajemen Astra disatukannya. Rule of the
game
anggota Astra dirumuskannya. Ia juga membangun
infrastruktur
informasi untuk membantu para eksekutif Astra mencapai
excellence. Di bawah kepemimpinan Mamora, tiga fungsi
strategis
dalam setiap transformasi: Pengembangan SDM,
Pengembangan
Manajemen, dan Sistem Informasi Manajemen
dikendalikannya secara
simultan. “Efek sampingnya, ada yang menuduh saya
membangun
kerajaan sendiri”, kenang Mamora tersenyum. Syukur,
program yang
dievaluasi oleh INSEAD Prancis ini dinyatakan sebagai
sukses.
Tahun 1988, Mamora mencanangkan Man Management Astra
sebagai
fase kedua menuju excellence. Melalui pelatihan yang
masif,
program ini membentuk gaya manajemen Astra yang
dicirikan oleh
kepedulian yang seimbang pada pengembangan SDM dan
kinerja
bisnis. Dalam empat tahun pertama sebanyak 1.500 manajer
Astra
sudah mengikuti program ini. Serentak dengan itu Mamora
juga
terlibat dalam pengembangan Astra VSCL (Vision,
Strategy,
Culture, and Leadership). “Saya yakin jika kami
mempunyai VSCL
yang benar maka excellence akan mengikuti Astra”,
tegasnya.
Fase berikutnya, Mamora menata kantor pusat Astra. Peran
kantor
pusat dirumuskannya sebagai fasilitator bagi anak-anak
perusahaan. Untuk itu program pengembangan eksekutif
diselenggarakan sekaligus mengelompokkan para eksekutif
itu
dalam kategori A, B, dan C. Para manajer kelas A
mendapat
coaching yang sistematik dari sang CEO: Teddy Rachmat
sendiri.
Selanjutnya sistem manajemen informasi juga dibangun
sehingga
kantor pusat dapat memperoleh informasi terkonsolidasi
khususnya
keuangan dan SDM. Sistem ini juga memungkinkan seluruh
manajer
Astra dapat berkomunikasi satu sama lain di seluruh
Indonesia.
Mamora yang banyak dibantu konsultan asing ini
melanjutkan
transformasi Astra menuju fase selanjutnya: Perusahaan
kelas
dunia! Memasuki paruh kedua dekade 90-an, Astra bertekad
menjadi
global player. “Untuk itu kompetensi SDM kelas dunia
harus
dibangun. SDM Astra harus berbasis pengetahuan. Kita
harus
bergerak ke arah human capital management. Era buruh
murah sudah
usai. Untuk itu kita harus didukung dengan manajemen
informasi
yang andal serta penguasaan teknologi yang kuat. Selain
itu
jaringan global harus dibentuk sehingga sumber daya
global dapat
kita akses. Dan kita harus beraliansi dengan
pemain-pemain
global lainnya”, tegas Mamora selanjutnya.
Dengan fondasi rapi berjenjang seperti di atas,
tampaknya cuma
langit yang menjadi batas pertumbuhan Astra saat itu.
Namun
krisis total 1997 membuat Astra bagai menunggangi roller
coster
bersama ribuan perusahaan lainnya. Tetapi Astra toh
akhirnya
selamat sentosa seperti digambarkan Buttler di akhir
bukunya.
Intinya, apa yang dibangun Mamora bersama kawan-kawannya
tidaklah sia-sia. Fundasi yang bagus tetaplah modal
terpenting
mengarungi cobaan yang bagaimana pun beratnya. Kualitas
fondasi
itu merupakan faktor menentukan untuk dapat dengan cepat
bangun
mengkonsolidasikan diri usai turbulensi krisis.
***
TRANSFORMASI Astra sendiri butuh waktu 15 tahun dengan
menghabiskan jutaan dolar untuk biaya konsultan saja.
Program
itu intinya (1) Proses transformasi secara berjenjang;
(2)
Dimulai dengan pengembangan konsep dan sistem; (3)
Diikuti
dengan pengembangan eksekutif; (4) Diteruskan dengan
formulasi
visi-strategi-nilai; (5) Dilanjutkan dengan mobilisasi
organisasi secara heuristik.
Apakah proses transformasi serupa dapat diulangi lebih
efektif
dan efisien? Mamora menjawab ya dengan mantap. Belajar
dari
pengalaman Astra, langkahnya dimodifikasi menjadi (1)
Adakan
mobilisasi organisasi secara top-down dengan panduan
visi yang
berwibawa; (2) Selenggarakan retret eksekutif puncak
untuk
merumuskan dan mendalami visi-strategi-nilai; (3)
Jalankan
transformasi dengan Tripple-W: Winning Concept, Winning
Systems
& Culture, Winning Team. Dengan itu Mamora yakin
waktunya pun
bisa diringkas menjadi sekitar 5 tahun saja.
Apakah negeri ini juga dapat ditransformasikan menjadi
Indonesia
Baru dalam tempo 5 tahun? Charlo Mamora, sang arsitek
transformasi Astra, tertawa sambil menerawang.
8 ETOS
PENDONGKRAK GAIRAH KERJA! [JANGAN CUMA "5-NG"]
Hidup hanya menyediakan
dua
pilihan: mencintai pekerjaan atau mengeluh setiap hari.
Jika
tidak bisa mencintai pekerjaan, maka kita hanya akan
memperoleh
“5-ng”: ngeluh, ngedumel, ngegosip, ngomel, dan ngeyel.
Punya masalah dengan semangat kerja? Jangan gundah
gulana, Anda
tidak sendirian. Banyak orang lain yang punya problem
serupa.
Namun, bukan tidak ada solusinya!
Hampir semua orang pernah mengalami gairah kerjanya
melorot.
“Itu lumrah,” kata Jansen Sinamo, ahli pengembangan
sumber daya
manusia dari Institut Darma Mahardika, Jakarta. Meski
lumrah,
“impotensi” kerja harus diobati.
Cara terbaik untuk mengatasinya, menurut Jansen, dengan
langsung
membenahi pangkal masalahnya, yaitu motivasi kerja.
Itulah akar
yang membentuk etos kerja. Secara sistematis, Jansen
memetakan
motivasi kerja dalam konsep yang ia sebut sebagai
“Delapan Etos
Kerja Profesional”. Sejak 1999, ia aktif mengampanyekan
gagasan
itu lewat berbagai pelatihan yang ia lakukan.
Etos pertama: kerja adalah rahmat.
Apa pun pekerjaan kita,
entah
pengusaha, pegawai kantor, sampai buruh kasar sekalipun,
adalah
rahmat dari Tuhan. Anugerah itu kita terima tanpa
syarat,
seperti halnya menghirup oksigen dan udara tanpa biaya
sepeser
pun.
Bakat dan kecerdasan yang memungkinkan kita bekerja
adalah
anugerah. Dengan bekerja, setiap tanggal muda kita
menerima gaji
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan
bekerja kita
punya banyak teman dan kenalan, punya kesempatan untuk
menambah
ilmu dan wawasan, dan masih banyak lagi. Semua itu
anugerah yang
patut disyukuri. Sungguh kelewatan jika kita merespons
semua
nikmat itu dengan bekerja ogah-ogahan.
Etos kedua: kerja adalah amanah.
Apa pun pekerjaan kita, pramuniaga, pegawai negeri, atau
anggota
DPR, semua adalah amanah. Pramuniaga mendapatkan amanah
dari
pemilik toko. Pegawai negeri menerima amanah dari
negara.
Anggota DPR menerima amanah dari rakyat. Etos ini
membuat kita
bisa bekerja sepenuh hati dan menjauhi tindakan tercela,
misalnya korupsi dalam berbagai bentuknya.
Etos ketiga: kerja adalah panggilan.
Apa pun profesi kita, perawat, guru, penulis, semua
adalah darma.
Seperti darma Yudistira untuk membela kaum Pandawa.
Seorang
perawat memanggul darma untuk membantu orang sakit.
Seorang guru
memikul darma untuk menyebarkan ilmu kepada para
muridnya.
Seorang penulis menyandang darma untuk menyebarkan
informasi
tentang kebenaran kepada masyarakat. Jika pekerjaan atau
profesi
disadari sebagai panggilan, kita bisa berucap pada diri
sendiri,
“I’m doing my best!” Dengan begitu kita tidak akan
merasa puas
jika hasil karya kita kurang baik mutunya.
Etos keempat: kerja adalah aktualisasi.
Apa pun pekerjaan kita,
eutah
dokter, akuntan, ahli hukum, semuanya bentuk aktualisasi
diri.
Meski kadang membuat kita lelah, bekerja tetap merupakan
cara
terbaik untuk mengembangkan potensi diri dan membuat
kita merasa
“ada”. Bagaimanapun sibuk bekerja jauh lebih
menyenangkan
daripada duduk bengong tanpa pekenjaan.
Secara alami, aktualisasi diri itu bagian dari kebutuhan
psikososial manusia. Dengan bekerja, misalnya, seseorang
bisa
berjabat tangan dengan rasa pede ketika berjumpa
koleganya.
“Perkenalkan, nama saya Miftah, dari Bank Kemilau.”
Keren ‘kan?
Etos kelima: kerja itu ibadah.
Tak peduli apa pun agama
atau
kepercayaan kita, semua pekerjaan yang halal merupakan
ibadah.
Kesadaran ini pada gilirannya akan membuat kita bisa
bekerja
secara ikhlas, bukan demi mencari uang atau jabatan
semata.
Jansen mengutip sebuah kisah zaman Yunani kuno seperti
ini:
Seorang pemahat tiang menghabiskan waktu berbulan-bulan
untuk
mengukir sebuah puncak tiang yang tinggi. Saking
tingginya,
ukiran itu tak dapat dilihat langsung oleh orang yang
berdiri di
samping tiang. Orang-orang pun bertanya, buat apa
bersusah payah
membuat ukiran indah di tempat yang tak terlihat? Ia
menjawab,
“Manusia memang tak bisa menikmatmnya. Tapi Tuhan bisa
melihatnya.” Motivasi kerjanya telah berubah menjadi
motivasi
transendental.
Etos keenam: kerja adalah seni.
Apa pun pekerjaan kita,
bahkan
seorang peneliti pun, semua adalah seni. Kesadaran ini
akan
membuat kita bekerja dengan enjoy seperti halnya
melakukan hobi.
Jansen mencontohkan Edward V Appleton, seorang fisikawan
peraih
nobel. Dia mengaku, rahasia keberhasilannya meraih
penghargaan
sains paling begengsi itu adalah karena dia bisa
menikmati
pekerjaannya.
“Antusiasmelah yang membuat saya mampu bekerja
berbulan-bulan di
laboratorium yang sepi,” katanya. Jadi, sekali lagi,
semua kerja
adalah seni. Bahkan ilmuwan seserius Einstein pun
menyebut
rumus-rumus fisika yang njelimet itu dengan kata sifat
beautiful.
Etos ketujuh: kerja adalah kehormatan.
Seremeh apa pun pekerjaan kita, itu adalah sebuah
kehormatan.
Jika bisa menjaga kehormatan dengan baik, maka
kehormatan lain
yang lebih besar akan datang kepada kita.
Jansen mengambil contoh etos kerja Pramoedya Ananta
Toer.
Sastrawan Indonesia kawakan ini tetap bekerja (menulis),
meskipun ia dikucilkan di Pulau Buru yang serba
terbatas.
Baginya, menulis merupakan sebuah kehormatan. Hasilnya,
kita
sudah mafhum. Semua novelnya menjadi karya sastra kelas
dunia.
Etos kedelapan: kerja adalah pelayanan.
Apa pun pekerjaan kita, pedagang, polisi, bahkan penjaga
mercu
suar, semuanya bisa dimaknai sebagai pengabdian kepada
sesama.
Pada pertengahan abad ke-20 di Prancis, hidup seorang
lelaki tua
sebatang kara karena ditinggal mati oleh istri dan
anaknya. Bagi
kebanyakan orang, kehidupan seperti yang ia alami
mungkin hanya
berarti menunggu kematian. Namun bagi dia, tidak. Ia
pergi ke
lembah Cavennen, sebuah daerah yang sepi. Sambil
menggembalakan
domba, ia memunguti biji oak, lalu menanamnya di
sepanjang
lembah itu. Tak ada yang membayarnya. Tak ada yang
memujinya.
Ketika meninggal dalam usia 89 tahun, ia telah
meninggalkan
sebuah warisan luar biasa, hutan sepanjang 11 km!
Sungai-sungai
mengalir lagi. Tanah yang semula tandus menjadi subur.
Semua itu
dinikmati oleh orang yang sama sekali tidak ia kenal.
Di Indonesia semangat kerja serupa bisa kita jumpai pada
Mak
Eroh yang membelah bukit untuk mengalirkan air ke
sawah-sawah di
desanya di Tasikmalaya, Jawa Barat. Juga pada diri
almarhum
Munir, aktivis Kontras yang giat membela kepentingan
orang-orang
yang teraniaya.
“Manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan
dilengkapi
keinginan untuk berbuat baik,” kata Jansen. Dalam
bukunya
Ethos21, ia menyebut dengan istilah rahmatan lii alamin
(rahmat
bagi sesama).
Pilih cinta atau kecewa
* Menurut Jansen, kedelapan etos kerja yang ia gagas
itu
bersumber pada kecerdasan emosional spiritual. Ia
menjamin,
semua konsep etos itu bisa diterapkan di semua
pekerjaan.
“Asalkan pekerjaan yang halal,” katanya. “Umumnya, orang
bekerja
itu ‘kan hanya untuk nyari gaji. Padahal pekerjaan itu
punya
banyak sisi,” katanya.
Kerja bukan hanya untuk mencari makan, tetapi juga
mencari makna.
Rata-rata kita menghabiskan waktu 30 - 40 tahun untuk
bekerja.
Setelah itu pensiun, lalu manula, dan pulang ke haribaan
Tuhan.
“Manusia itu makhluk pencari makna. Kita harus berpikir,
untuk
apa menghabiskan waktu 40 tahun bekerja. Itu ‘kan waktu
yang
sangat lama,” tambahnya.
Ada dua aturan sederhana supaya kita bisa antusias pada
pekerjaan. Pertama, mencari pekerjaan yang sesuai dengan
minat
dan bakat. Dengan begitu, bekerja akan terasa sebagai
kegiatan
yang menyenangkan.
Jika aturan pertama tidak bisa kita dapatkan, gunakan
aturan
kedua: kita harus belajar mencintai pekerjaan. Kadang
kita belum
bisa mencintai pekerjaan karena belum mendalaminya
dengan benar.
“Kita harus belajar mencintai yang kita punyai dengan
segala
kekurangannya,” kata sarjana Fisika ITB yang lebih suka
dengan
dunia pelatihan sumber daya manusia ini.
Hidup hanya menyediakan dua pilihan: mencintai pekerjaan
atau
mengeluh setiap hari. Jika tidak bisa mencintai
pekerjaan, maka
kita hanya akan memperoleh “5-ng”: ngeluh, ngedumel,
ngegosip,
ngomel, dan ngeyel. Jansen mengutip filsuf Jerman,
Johann
Wolfgang von Goethe, “It’s not doing the thing we like,
but
liking the thing we have to do that makes life happy.”
“Dalam hidup, kadang kita memang harus melakukan banyak
hal yang
tidak kita sukai. Tapi kita tidak punya pilihan lain.
Tidak
mungkin kita mau enaknya saja. Kalau suka makan ikan,
kita harus
mau ketemu duri,” ujar pria yang kerap disebut sebagai
Guru Etos
ini.
Dalam dunia kerja, duri bisa tampil dalam berbagai macam
bentuk.
Gaji yang kecil, teman kerja yang tidak menyenangkan,
atasan
yang kurang empatik, dan masih banyak lagi. Namun,
justru dari
sini kita akan ditempa untuk menjadi lebih berdaya
tahan.
Bukan gila kerja
* Dalam urusan etos kerja, bangsa Indonesia sejak
dulu
dikenal memiliki etos kerja yang kurang baik.
Di jaman kolonial, orang-orang Belanda sampai menyebut
kita
dengan sebutan yang mengejek, in lander pemalas. Ini
berbeda
dengan, misalnya, etos Samurai yang dimiliki bangsa
Jepang.
Mereka terkenal sebagai bangsa pekerja keras dan ulet.
Namun, Jansen menegaskan, pekerja keras sama sekali
berbeda
dengan workaholic. Pekerja keras bisa membatasi diri,
dan tahu
kapan saatnya menyediakan waktu untuk urusan di luar
kerja.
Sementara seorang workaholic tidak. Dalam pandangan
Jansen,
kondisi kerja yang menyenangkan adalah kerja bareng
semua pihak.
Bukan hanya bawahan, tapi juga atasan.
Sering seorang atasan mengharapkan bawahannya bekerja
keras,
sementara ia sendiri secara tidak sengaja melakukan
sesuatu yang
melunturkan semangat kerja bawahan. Jansen memberi
contoh,
atasan yang mengritik melulu jika bawahan berbuat
keliru, tapi
tak pernah memujinya jika ia menunjukkan prestasi.
Secara manusiawi hal itu akan menyebabkan bawahan
kehilangan
semangat bekerja. Buat apa bekerja keras, toh hasil
kerjanya tak
akan dihargai. Ingat, pada dasarnya manusia menyukai
reward.
Konosuke Matsushita, pendiri perusahaan Matsushita
Electric
Industrial (MET) punya teladan yang bagus. Pada zaman
resesi
dunia tahun 1929-an, pertumbuhan ekonomi Jepang anjiok
tajam.
Banyak perusahaan mem-PHK karyawan. MEI pun terpaksa
memangkas
produksi hingga separuhnya. Namun, Matsushita menjamin
tak ada
satu karyawan pun yang bakal terkena PHK.
Sebagai gantinya, ia mengajak semua karyawan bekerja
keras.
Karyawan-karyawan bagian produksi dilatih untuk menjual.
Hasilnya benar-benar ruarrr biasa. Mereka bisa berubah
menjadi
tenaga marketing andal, yang membuat Matsushita menjadi
salah
satu perusahaan terkuat di Jepang.
PESTA
KONGLOMERAT
Oleh: Jansen H. Sinamo
Seorang konglomerat tua
mengadakan
pesta merayakan puncak keberhasilannya di usianya yang genap
tujuh
puluh tahun. Ia mengundang sejumlah besar orang muda yang
berprestasi di bidang masing-masing. Pesta itu dipusatkan di
sekeliling kolam pada sebuah klub eksekutif mewah.
Pesta dibuka dengan pidato sang jubilaris, “Saudara-saudara,
selamat
datang dan selamat malam. Saya mengundang Anda, orang-orang
muda
berprestasi dari seluruh negeri, untuk berbagi kebahagiaan.
Sebagai
permulaan, saya mau mengadakan lomba dengan tiga pilihan
hadiah.
Pilihan pertama, uang tunai US$ 1 juta. Pilihan kedua,
mewarisi 25%
kekayaan saya bila meninggal dunia kelak. Pilihan ketiga,
menikah
dengan puteri tunggal saya dan dengan demikian menjadi
pewaris
seluruh kekayaan saya.”
Hadirin menahan nafas. Lalu tuan rumah melanjutkan,
“Perlombaannya
adalah pemilihan orang muda yang paling cepat berenang
menyebrangi
kolam ini segera setelah pidato saya ini selesai. Hanya Anda
perlu
tahu bahwa di kolam ini ada 100 ekor buaya yang belum diberi
makan
seminggu terakhir.”
Baru saja pidato konglomerat itu selesai, terdengar suara
tubuh yang
jatuh ke kolam, air bercipratan akibat gaya renangnya yang
luar
biasa. Hadirin dicengkeram kengerian, tetapi kemudian lega
karena
mereka tahu dialah yang akan menerima hadiah.
Tak lama, sampailah pemuda pemberani itu ke tepi kolam. Sang
konglomerat menyambutnya dengan penuh kekaguman.
“Selamat anak muda, selamat, selamat! Anda telah menunjukkan
keberanian yang luar biasa. Apakah Anda menginginkan satu
juta dolar
tunai?”
Sambil menggigil pemuda itu menggeleng.
“Oke, apakah Anda menginginkan 25 % dari kekayaan saya?”.
“Tidak!”
“Oh, kalau begitu, tentu Anda berjodoh menjadi menantu
saya?”
“Tidak!!” seru pemuda itu marah. “Saya mau tahu siapa yang
berani
kurang ajar mendorong saya jatuh ke kolam?”
Mengapa si pemuda bersikap demikian? Marilah kita diskusikan
bersama
rumput yang bergoyang.
Keberanian Modal Awal Dalam Memulai Bisnis
Oleh : Deryandri
Keberanian adalah modal awal dalam memulai bisnis, tanpa keberanian kita tidak akan pernah bisa memulai bisnis, akan selalu dibayang – bayangi oleh perasaan takut rugi. Kesuksesan selalu dicapai dengan sebuah proses setelah melewati berbagai hambatan, jadi jangan takut gagal, karena kegagalan juga sebuah proses pembelajaran, setiap kita melalui suatu proses pebelajaran maka tentu kemampua kita juga akan semakin meningkat, sense of business kita juga meningkat sehingga kemampuan kita dalam menilai dan memilih bisnis semakin tepat. Sebenarnya kata gagal hanyalah milik orang yang berhenti mencoba, berhenti berinovasi, berhenti berbuat.
Selain Keberanian sebagai modal awal dalam memulai bisnis juga hal yang sangat penting adalah selalu berfikir positif, selalu optimis bahwa kita akan berhasil. Berfikir postif dan optimis dapat kita capai dengan selalu berinteraksi dengan orang –orang yang bermental positif dan optimis dalam melakukan banyak hal, bergaullah dengan komunitas yang sama visinya dengan kita karena energinya akan ikut mengalir kepada kita.
Keberainian dalam memulai bisnis juga dipengaruhi oleh keyakinan kita terhadap usaha yang kita jalani, tentu itu ada hubungannya dengan ilmu kita, pengetahuan kita terhadap usaha yang akan kita jalankan, oleh karena itu kita harus selalu menambah ilmu kita tentang bisnis, kita harus pelajari bagaimana entrepreneur – entrepreneur sukses dalam menjalankan bisnisnya. Seorang entrepreneur yang sukses biasanya kreatif dalam mengelola bisnisnya sehingga selalu mampu memenangkan persaingan.
Tentang Purdi E Chandra
Lewat Bimbingan Belajar Primagama, Purdi berhasil menjadi pengusaha sukses. Untuk meraih impiannya Purdi berhenti kuliah. Akhirnya ia berhasil juga mendapatkan gelar dari lembaga pendidikan yang dibentuknya sendiri.
Sosok Purdi E Chandra kini dikenal sebagai pengusaha yang sukses. Lembaga Bimbingan Belajar (Bimbel) Primagama yang didirikannya bahkan masuk ke Museum Rekor Indonesia (MURI) lantaran memiliki 181 cabang di 96 kota besar di Indonesia dengan 100 ribu siswa tiap tahun. Apa resep suksesnya sehingga Primagama kini menjadi sebuah holding company yang membawahi lebih dari 20 anak perusahaan?
Lego Motor, Berhenti Kuliah
Bukan suatu kebetulan jika pengusaha sukses identik dengan kenekatan
mereka untuk berhenti sekolah atau kuliah. Seorang pengusaha sukses
tidak ditentukan gelar sama sekali. Inilah yang dipercaya Purdi ketika
baru membangun usahanya.
Kuliah di 4 jurusan yang berbeda, Psikologi, Elektro, Sastra Inggris dan Farmasi di Universitas Gajah Mada (UGM) dan IKIP Yogya membuktikan kecemerlangan otak Purdi. Hanya saja ia merasa tidak mendapatkan apa-apa dengan pola kuliah yang menurutnya membosankan. Ia yakin, gagal meraih gelar sarjana bukan berarti gagal meraih cita-cita. Purdi muda yang penuh cita -cita dan idealisme ini pun nekad meninggalkan bangku kuliah dan mulai serius untuk berbisnis.
Sejak saat itu pria kelahiran Punggur, Lampung Tengah ini mulai menajamkan intuisi bisnisnya. Dia melihat tingginya antusiasme siswa SMA yang ingin masuk perguruan tinggi negeri yang punya nama, seperti UGM.
Bagaimana jika mereka dibantu untuk memecahkan soal-soal ujian masuk perguruan tinggi, pikirnya waktu itu. Purdi lalu mendapatkan ide untuk mendirikan bimbingan belajar yang diberi nama, Primagama.
Saya mulai usaha sejak tahun 1982. Mungkin karena nggak selesai kuliah itu yang memotivasi saya menjadi pengusaha, kisah Purdi. Lalu, dengan modal hasil melego motornya seharga 300 ribu rupiah, ia mendirikan Bimbel Primagama dengan menyewa tempat kecil dan disekat menjadi dua. Muridnya hanya 2 orang. Itu pun tetangga. Biaya les cuma 50 ribu untuk dua bulan. Kalau tidak ada les maka uangnya bisa dikembalikan.
Segala upaya dilakukan Purdi untuk membangun usahanya. Dua tahu setelah itu nama Primagama mulai dikenal. Muridnya bertambah banyak. Setelah sukses, banyak yang meniru nama Primagama. Purdi pun berinovasi untuk meningkatkan mutu lembaga pendidikannya ini.
Sebenarnya yang bikin Primagama maju itu setelah ada program jaminan diri, ungkapnya soal rahasia sukses mengembangkan Bimbel Primagama. Kalau ikut Primagama pasti diterima di Universitas Negeri. Kalau nggak uang kembali. Nah, supaya diterima murid-murid yang pinter kita angkat jadi pengajar. Karena yang ngebimbing pinter, ya 90% bisa lulus ujian masuk perguruan tinggi negeri, lanjutnya.
Mengembangkan Sistem Waralaba
Karena reputasinya Bimbel Primagama makin dikenal di Kota Pelajar, Yogya. Purdi tak cepat berpuas diri. Ia ingin mengembangkan cabang Primagama di kota lain. Mulailah cabang-cabang Primagama bermunculan di Bandung, Jakarta dan kota besar lain di Indonesia.
Purdi juga berinovasi mengembangkan sistem franchise atau waralaba (pemberian hak pada seseorang dalam penggunaan merek untuk menjalankan usaha dalam kurun waktu tertentu). Di Pekanbaru, Sampit ( Kalimantan Tengah) dan Tangerang telah dibuka cabang dengan sistem ini. Menurutnya sistem ini sangat tepat untuk dikembangkan sebab usaha bisa berkembang tanpa harus menyiapkan dana sendiri.
Sistem ini lebih menguntungkan untuk mengembangkan usaha kita daripada cara yang lainnya. Selain tak perlu merogoh kocek untuk investasi lagi ternyata keuntungan sebagai pemilik merek cukup besar. Yang jelas orang lain membayar merek dan royalti tiap bulannya pada kita, jelas ayah dari Fesha dan Zidan ini.
Purdi yakin merek lokal bisa berkembang dengan sistem ini dan bukan terbatas pada produk makanan saja. Jika merek lokal bisa masuk bisnis waralaba bukan tidak mungkin akan menjadi produk ini bisa jadi produk global seperti McDonald. Namun ia menyayangkan di Indonesia belum ada lembaga yang menyiapkan sistem waralaba mulai dari persiapan awal hingga jadi.
Pengusaha Yang Berani
Keberanian adalah salah modal wirausaha. Purdi menyatakan seorang
wirausaha harus berani mimpi, berani mencoba, berani merantau, berani
gagal dan berani sukses. Lima hal ini adalah hasil dari pengalamannya
selama ini.
Sejak dini Purdi sudah dididik berjiwa usaha. Di bangku SMP ia sudah beternak ayam dan bebek, kemudian menjual telurnya ke pasar. Purdi bermimpi kelak ia akan menjadi pengusaha sukses.
Berani mimpi menurut Purdi adalah cetak biru dari sebuah visi ke depan seorang wirausaha. Mimpi itu akan mensugesti seseorang untuk berhasil dan mengerahkan semua kemampuannya untuk mencapai visinya. Mimpi ini pula akan memotivasi bawahannya dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih dinamis.
Orang yang memiliki mimpi besar dicontohkan Purdi adalah Bill Gates yang bermimpi kelak di semua rumah di dunia akan memiliki computer. Atau juga Michael Dell yang bermimpi mengalahkan perusahaan komputer raksasa IBM. Mereka ini menurut Purdi orang yang yakin mimpinya akan jadi kenyataan dengan kerja keras.
Orang itu tidak pernah gagal, hanya saja dia berhenti mencoba, tukas pria yang mendapatkan gelar dari lembaga pendidikan yang dibentuknya sendiri. Purdi mengingatkan jika seorang ingin berhasil dalam bisnis harus berani mencoba. Situasi sulit justru membuat seorang wirausaha semakin tertantang.
Soal merantau, Purdi muda sudah berani meninggalkan kota kelahirannya dan mencoba mandiri dengan bersekolah di salah satu SMA di Yogyakarta. Ibunya, Siti Wasingah dan ayahnya, Mujiyono, merestui keinginan kuat anaknya untuk mandiri. Dengan merantau Purdi merasa tidak tergantung dan bisa melihat berbagai kelemahan yang dia miliki. Pelan-pelan berbagai kelemahan itu diperbaiki oleh Purdi. Hasilnya, Ia mengaku semakin percaya diri dan tahan banting dalam setiap langkah dalam bisnisnya.
Gagal dan berhasil ada dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Namun, bagaimana menyikapi sebuah kegagalan itu yang penting. Baginya, pengalaman gagal dapat dipergunakan untuk menemukan kekuatan baru agar bisa meraih kesuksesan kembali.
Mungkin saja kegagalan itu datang untuk memuliakan hati kita, membersihkan pikiran kita, memperluas wawasan kita, membersihkan pikiran kita dari keangkuhan dan kepicikan, serta untuk lebih mendekatkan diri kita pada Tuhan, kata pria yang mengaku pernah 10 kali gagal saat membuat restoran Padang.
BODOL, BOTOL dan BOBOL
Purdi mengaku punya resep manjur bagi yang ingin berwirausaha, yaitu
BODOL, BOTOL dan BOBOL. Mungkin masih kedengaran aneh di telinga, namun
ia meyakinkan bahwa resep ini berguna bagi yang merasa ragu-ragu dan
terlalu banyak perhitungan dalam berusaha yang malah menghambat rencana
mereka untuk berwirausaha.
Jika orang bingung ketika memulai bisnis karena tak punya modal, menurut Purdi gunakan saja resep BODOL yaitu Berani, Optimis, Duit, Orang Lain. Dalam bisnis diperlukan keberanian dan rasa optimis. Jika tidak punya uang tidak ada salahnya pinjam duit orang lain. Pasti ada orang yang mau membiayai bisnis yang akan kita jalankan jika memang prospektif.
Kalau kita punya duit dan modal tapi tidak ahli di bidang bisnis, gunakan jurus BOTOL, tukas Purdi. Berani, Optimis, Tenaga, Orang Lain. Jika kita punya modal, kenapa tidak kita serahkan pada yang ahli di bidangnya sehingga bisnis tetap berjalan. Pendeknya kita tak harus menggunakan tenaga sendiri untuk menjalankan bisnis.
Resep terakhir adalah jurus BOBOL. yaitu Berani, Optimis, Bisnis, Orang, Lain. Ini dikeluarkan jika ide bisnis pun tak ada maka kita bisa meniru bisnis orang lain tambah Purdi. Ibaratnya, bisnis adalah seperti masuk ke kamar mandi yaitu dengan tidak banyak berpikir. Jika di kamar mandi airnya kurang hangat, semua bisa diatur hingga sesuai dengan keinginan kita.
Enterpreuner University, Kuliah
Tanpa Gelar
Semua orang bisa jadi wirausahawan, ucap suami Triningsih Kusuma Astuti
ini yakin. Memang yang paling baik ditanamkan pendidikan enterpreuner
ini sejak kanak-kanak di dalam keluarga. Sebab, anak akan merekan
semuanya dalam memorinya dan selanjutnya akan menjadi pola pikir dan
cara perilaku anak di masa depannya. “Namun, itu bukanlah hal-hal
penentu keberhasilan. Begitu pula dengan faktor usia, kaya-miskin,
jenius atau tidak, juga gelar formal, kata pria yang juga menjadi dosen
tamu di beberapa universitas ini.
Untuk menjadi pengusaha tak perlu pintar dan memiliki embel-embel gelar. Sebab jika terlalu pintar justru malah akan berhitung dan melihat banyak resiko yang harus dihadapi sehingga nyalinya malah ciut. Bayangkan anda kuliah Magister Manajemen (MM) di UI anda harus bayar 50 juta. Selesai kuliah mungkin anda merasa tidak punya uang, katanya lagi.
Keprihatinannya terhadap iklim bisnis di Indonesia menyebabkan Purdi harus melakukan sesuatu. Tampilah ia sebagai bagian dari politisi yang manggung di Senayan sampai tahun ini. Keinginannya adalah merubah pola pendidikan saat ini yang berorientasi menjadi pekerja bukan pengusaha. Seharusnya, menurut pria yang pernah menjadi ketua Himpunan Penguasaha Muda Indonesia (HIPMI) cabang Yogya ini, ada alternatif lain dalam sistem pendidikan kita. Paling tidak anak-anak diajarkan untuk berwira usaha. Sayangnya idenya tidak mendapat tanggapan.
Saya merasa adanya universitas untuk mencetak pengusaha baru itu penting. Kalau perlu universitas ini tidak perlu menggunakan aturan formal, tanpa status,tanpa akreditasi, tanpa dosen, tanpa ijazah dan tanpa gelar. Wisudanya pun dilakukan saat mahasiswa benar-benar membuka usaha, ujar pria yang menerima Enterprise 50 dari Anderson Consulting dan Majalah Swa ini serius.
Idenya ini diwujudkan dengan membentuk Enterpreuner University (EU). Dengan dibimbing langsung oleh Purdi, EU kini telah memiliki 37 angkatan. Di sana tak ada nilai, ijazah maupun gelar. Menurut Purdi masyarakatlah yang berhak menilai pengusaha itu memiliki kredibilitas atau tidak, sukses atau tidak. Hal ini berbeda dengan pendidikan yang memberlakukan ujian tapi tidak membolehkan siswanya mencontek.
Dalam dunia riil bisnis, yang namanya bertanya sah-sah saja. Menyontek usaha orang lain juga boleh saja. Meniru kiat sukses pengusaha lain juga silahkan. Nggak ada yang melarang, Purdi beralasan.
Di EU yang hanya memakan waktu 6 bulan dan kuliah seminggu 2 kali ini, Purdi mengkonsentrasikan pendidikannya pada pengembangan kecerdasan emosional, spiritual, mempertajam kreativitas dan intuisi bisnis mahasiswanya. Materinya pun seputar nilai-nilai kewirausahaan seperti pantang menyerah, kreatif dan inovatif, semangat tinggi, berani dan jeli melihat peluang usaha. Purdi yakin kelak EU akan mencetak pengusaha-pengusaha baru yang akan menggiatkan iklim investasi di Indonesia.