Video Betti Ngamen untuk Anak Jalanan

Manusia, Kota, dan Etos Pembangunan
Oleh: Jansen H. Sinamo

To change life, we must first change space
- Henri Lefebvre, French writer

Meskipun Homo sapiens sudah jadi spesies unggul sejak 40.000 tahun yang silam tetapi kota sebagai bentuk organisasi sosial baru muncul kurang dari 10.000 tahun yang lalu. Sebelum itu, manusia hidup sebagai kelompok-kelompok nomaden yang terus bergerak sebagai pemburu dan pengumpul hasil-hasil alam untuk makanan mereka. Kelompok-kelompok itu belum memiliki pemukiman karena mereka belum sanggup melumbungkan surplus makanan secara memadai. Hidup mereka sangat marjinal: bertahan hari lepas hari melulu oleh kemurahan alam.

Namun selepas itu, di berbagai wilayah di dunia, gejala kota akhirnya muncul juga ketika jumlah anggota kelompok-kelompok nomaden itu terus bertambah dan mulai bermukim. Hal ini dimungkinkan oleh tiga faktor: ketersediaan pangan di wilayah itu, bertambah baiknya pengorganisasian kerja di dalam kelompok-kelompok itu, dan berkembangnya pertukaran komoditas atau perdagangan antarkelompok.

Ketersediaan pangan di berbagai wilayah yang disebut di atas terjadi karena iklim Bumi semakin hangat. Sesudan zaman es terakhir – diperkirakan usai sekitar 13.000 tahun silam – tanah terus menghangat sehingga memunculkan banyak tumbuhan baru, khususnya berbagai jenis tanaman pangan. Inilah awal zaman pertanian. Lumbung-lumbung dibangun untuk menampung surplus pangan itu. Hewan-hewan liar dijinakkan dan diternakkan, terutama kambing, domba, kuda, kerbau, dan sapi. Teknologi pengolahan tanah berkembang dengan memanfaatkan tenaga hewan-hewan itu. Semua itu menyumbang terhadap surplus pangan lebih lanjut. Akibatnya, pemukiman semakin berkembang dan semakin terjamin (sustainable), jumlah penduduk bertambah karena semakin cukup makan, dan ragam pekerjaan non-petani pun bertambah pula seperti seniman, ahli bangunan, ahli irigasi, tukang, pedagang, dan lain-lain. Singkatnya, proto-kota pun lahir.

Diversifikasi sosial juga muncul. Lahirlah kelas elit: para penakluk, kaum bangsawan, dan agamawan yang memerintah dan menentukan tata kehidupan bersama dalam kelompok itu. Mereka jadi kelas penguasa atas kaum tani, penata irigasi, gembala, pedagang, tukang, dan seniman. Demi keperluan hidup bersama dan kelanggengan kelas penguasa itu dibangun dan diperkenalkanlah bangunan-bangunan publik, tata upacara dan peribadahan, alat tukar, sistem perpajakan, dan metoda akumulasi kekayaan.

Pasar pun lahir. Perdagangan pun marak. Kota pun kian berkembang.

Aksara juga ditemukan, demikian pula ilmu-ilmu hitung dan ukur yang dipakai dalam perdagangan, pembangunan irigasi, pertukangan, dan pembangunan kota. Ilmu-ilmu prediktif juga muncul untuk menentukan musim tanam, musim panen, hari-hari raya, dan saat untuk berperang. Lahir pula ekspresi seni dalam arsitektur kota dan bangunan-bangunan publik. Maka kota pun semakin ramai.

Demikianlah kota Yeriko muncul di wilayah Palestina yang sekarang sekitar tahun 7000 SM yang tumbuh dari desa menjadi kota dengan sekitar 3.000 penduduk.
Antara tahun 4000-3500 SM kota besar pertama dengan populasi sekitar 25.000 muncul di wilayah Mesopotamia, di lembah sungai Tigris dan Eufrat: Babel dan Niniwe. Kotanya sudah berkubu. Rumah-rumah dibangun dengan batu-bata yang terbuat dari lempung yang dibakar. Meski jalan-jalannya naik-turun-berkelok, sempit, dan tanpa perkerasan yang memadai, mereka sudah memakai alat angkut beroda.

Di Mesir, di sepanjang lembah sungai Nil, kota sudah ada sejak tahun 3300 SM seperti Tmn-Hor, Tell al-Rub, Pr-Bastet, Hwt-ka-Ptah, To-She, Akhetaten, dan Kemet. Tetapi kita lebih tahu tentang piramid-piramid Mesir daripada kota-kota di atas.

Di India ada dua kota utama, Harappa dan Mohenjo-Daro, yang muncul sekitar tahun 2500 SM. Jalan-jalannya lurus sehingga membentuk blok-blok pemukiman berbentuk segi empat. Sudah ada sistem pembuangan sampah dan air limbah. Inilah kota pertama yang menujukan tanda-tanda pembangunan yang berencana. Barat kota adalah pusat religius, politik, dan pendidikan. Petani tinggal di luar tembok kota dekat perladangan. Kelompok miskin menempati pinggir kota tetapi masih berada di dalam tembok. Pedagang dan seniman tinggal di dekat pusat kota, sedangkan bangsawan, agamawan, dan punggawa kerajaan menempati wilayah pusat.

Di Yunani kota muncul di sekitar tahun 2000 SM seperti Sparta, Thebes, Argos, Delphi, dan Olympia. Athena jadi kota utama sekitar tahun 800 SM. Struktur kotanya berbentuk lingkaran. Jalan-jalannya berpangkal dari pusat dan memencar keluar secara radial. Bagian-bagian kota juga memencar dari pusat sehingga setiap kelompok penduduk merasa tinggal dengan jarak yang sama dari pusat kota.

Di Cina kota muncul antara tahun 2000-1500 SM seperti Chang'an, Fanyang, Jiankang, Lingzhou, Xiangyang, Yinxu, dan Zhaoge.

Kota Roma dibangun antara 700-600 SM. Kelak, ketika kekaisaran Romawi semakin berjaya Roma pun menjadi kota internasional pertama di dunia.

Di Amerika Tengah (Meksiko, Guatemala, Honduras, dan El Salvador) kota-kota mulai tampak pada sekitar tahun 200 SM.

Di Eropa kota-kota bermunculan mulai abad ke-4 dan satu per satu menjadi kota industri sejak abad ke-18. Inilah permulaan kota-kota modern yang kita kenal sampai sekarang. Sesudah itu, gejala desa yang mengalami proses kotanisasi merambah dengan cepat ke seluruh dunia. Dan urbanisasi pun menjadi sebuah gejala global. Kini dunia telah memiliki ratusan kota raksasa: metropolitan dan megapolitan.

Kota Raja, Kota Tuhan
Tidak banyak kota yang diketahui siapa arsitek pembangunannya? Hal ini wajar sebab fenomena kota sebenarnya lebih masuk akal difahami sebagai fenomena “emergence”, dimana pemukiman kecil berubah jadi desa, berkembang perlahan-lahan, dan akhirnya menjadi kota; daripada fenomena arsitektur, dimana seorang arsitek agung merancang, merencanakan, dan membangun sebuah kota dari nol sampai selesai.

Tetapi ada kekecualian. Tradisi menyebutkan kota Babel dibangun oleh raja Sargon (hidup sekitar abad ke-24 SM). Neo Babel dibangun (mungkin lebih tepat diperluas dan ditata ulang) oleh raja Nebukadnezar (630-562 SM). Kitab Daniel dalam Perjanjian Lama mencatatnya sebagai berikut: “Semuanya itu terjadi atas raja Nebukadnezar; sebab setelah lewat dua belas bulan, ketika ia sedang berjalan-jalan di atas istana raja di Babel, berkatalah raja: “Bukankah ini Babel yang besar itu, yang dengan kekuatan kuasaku dan untuk kemuliaan kebesaranku telah kubangun menjadi kota kerajaan?”
Legenda juga menyebutkan Roma dibangun oleh Romulus dan menjadikannya ibukota kerajaannya.

Catatan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan adalah kota-kota yang dibangun oleh Iskandar Agung (Alexander the Great: 356-323 SM) dalam ekspedisi penaklukannya selama sepuluh tahun. Di setiap wilayah ia meletakkan rancangan, memulai pembangunan, atau menata ulang kota yang ditaklukkannya sesuai dengan gaya dan selera seni dan arsitektur Yunani. Kota-kota yang dikaitkan dengan jenderal akbar ini antara lain Alexandria (Mesir), Iskandiriyah (Irak), Alexandria Asiana (Iran), Alexandria Ariana (Afganistan), Kandahar (Afghanistan), Alexandria Bucephalous (Pakistan), Alexandria Eschate (Tajikistan), dan Iskenderun (Turki).

Kota-kota kuno yang dibangun oleh atau atas perintah seorang raja mempunyai fungsi yang mirip: sebagai lumbung kekayaan, pusat kekuasaan, dan lambang kemuliaan, bahkan sebagai kota Tuhan. Babel atau Babylon misalnya, nama kota itu berasal dari bahasa Akkad babilu, yang berarti gerbang para dewa. Dalam paradigma kuno itu, raja umumnya dianggap sebagai representasi Tuhan, bahkan titisan Tuhan. Maka kota raja juga berarti kota Tuhan. Vatikan, Mekah, dan Yerusalem sampai hari ini tetap disebut kota suci bagi para pemeluk teguh agama-agama samawi.

Namun demikian, tidak banyak kota-kota kuno itu yang bisa bertahan hingga kini. Tiga kota yang disebut belakangan adalah sedikit yang jadi kekecualian. Kebanyakan telah runtuh dan terbenam dalam timbunan debu tebal dari abad ke abad sehingga hanya para arkeolog saja yang mampu merekonstruksinya.

Problem utama kota-kota kuno itu sehingga akhirnya ditinggalkan warganya, kosong, dan jadi reruntuhan adalah sanitasi. Tumpukan sampah dan limpasan air limbah jadi sumber berbagai penyakit menular yang membinasakan warganya. Selain itu, api yang tidak bisa dikontrol marak menjadi kebakaran besar sehingga menghanguskan seluruh kota.

Tetapi perang adalah sebab utama kehancuran kota-kota kuno. Yerusalem misalnya, dalam sejarahnya yang panjang sejak abad ke-18 SM sempat tiga kali dihancurkan: pada tahun 586 SM oleh raja Babel, Nebukadnezar; pada tahun 70 oleh penguasa Romawi di Palestina, Jenderal Titus; dan pada tahun 1480 oleh pasukan Mongol yang merambah dengan buas dari Asia Tengah.

Namun Yerusalem terhitung beruntung: ia selalu dibangun kembali. Kota-kota seperti Khartago, Sukhothai, Ayutthaya, Mohenjo-Daro, Harappa, Karakorum, Akkad, Ur, Babel, Niniwe, Persepolis, Troya, Machu Picchu, dan Pompeii kini tinggal hanya reruntuhan, bahkan hilang terbenam.

Berbeda dengan kota-kota kuno, problem kota-kota modern terutama disebabkan tekanan populasi dan manajemen kota yang buruk. Soal tekanan populasi ini dapat kita apresiasi dari data berikut ini. Jika pada sekitar tahun 8000 SM penduduk dunia hanya 100 juta, pada permulaan abad Masehi masih 300 juta, tetapi sejak abad ke-19 jumlah itu meningkat dengan sangat pesat: tahun 1800 (1 milyar), tahun 1930 (2 milyar), tahun 1962 (3 milyar), tahun 1974 (4 milyar), tahun 1987 (5 milyar), dan tahun 2000 (6 milyar). Ketika urbanisasi berlangsung justru karena daya tarik kota itu sendiri maka pada titik jenuh tertentu tekanan populasi itu mengakibatkan komplikasi berbagai masalah bagi kota tersebut dan segenap warganya.

Kota Rakyat, Kota Publik
Era kota raja dan kota Tuhan berakhir sudah. Kini kota-kota di dunia adalah kota rakyat, kota publik, atau kota warga. Artinya, kota adalah urusan publik, urusan segenap warga kota. Dikatakan tegas: setiap kota harus mampu memenuhi aspirasi dan kebutuhan warganya. Dikatakan lain: kota dinilai tidak lagi berdasarkan selera raja, selera penguasa, tetapi dinilai berdasarkan keterpenuhan aspirasi publik, yakni hidup yang berkualitas bagi segenap warga kota.

Dewasa ini, sejauh menyangkut kualitas hidup warganya, Zurich dan Jenewa adalah dua kota terbaik di dunia. Demikian hasil survei Mercer Consulting yang diterbitkan pada bulan April 2007. Vancouver menduduki nomor tiga dan berturut-turut diikuti oleh Wina, Auckland, Düsseldorf, dan Frankfurt. Penilaian itu didasarkan atas tiga puluh sembilan determinan kualitas hidup manusia yang dikelompokkan dalam sepuluh kategori sebagai berikut:
1. Political and social environment (political stability, crime, law enforcement, etc.)
2. Economic environment (currency exchange regulations, banking services, etc.)
3. Socio-cultural environment (censorship, limitations on personal freedom, etc.)
4. Health and sanitation (medical supplies and services, infectious diseases, sewage, waste disposal, air pollution, etc.)
5. Schools and education (standard and availability of international schools, etc.)
6. Public services and transportation (electricity, water, public transport, traffic congestion, etc.)
7. Recreation (restaurants, theatres, cinemas, sports and leisure, etc.)
8. Consumer goods (availability of food/daily consumption items, cars, etc.)
9. Housing (housing, household appliances, furniture, maintenance services, etc.)
10. Natural environment (climate, record of natural disasters, etc.)

Jika hal-hal di atas merupakan faktor penentu bagus tidaknya sebuah kota, maka dikatakan sebaliknya, secara negatif, maka kota yang buruk adalah kota yang...
1. fasilitas kesehatannya tidak memadai;
2. fasilitas pendidikannya tidak memadai;
3. infrastruktur dan fasilitas angkutan massalnya buruk;
4. jalan-jalan besarnya tidak memadai;
5. jalan-jalan kecil buat warga pejalan kaki tidak ada atau dibiarkan tak terawat;
6. kantong-kantong penduduk miskinnya banyak;
7. keamanannya rendah atau sudut-sudut kota tertentu keamanannya rendah;
8. kelompok-kelompok premannya yang memeras warga kota banyak;
9. keterlibatan warganya dalam memelihara fasilitas kota rendah;
10. ketersediaan air bersih, listrik, dan teleponnya rendah;
11. korupsi di jawatan-jawatan publik di kotapraja tinggi;
12. kotanya semrawut, tidak ada zonasi kota yang terencana dan tersistem;
13. peredaran dan penggunaan narkoba dan minuman keras tidak terkontrol;
14. permusuhan dan perkelahian antarkelompok warga kota tinggi;
15. sektor kumuhnya banyak;
16. tingkat kemacetannya tinggi;
17. tingkat krimininalitasnya tinggi;
18. tingkat penganggurannya tinggi;
19. tingkat polusinya tinggi; dan
20. wilayah lampu merah dan perjudiannya berkembang tidak terkontrol.

Pengembangan Kota dan Etos Pembangunan
Meskipun kota-kota modern kini adalah kota publik, urusan publik, dan bukan kota raja apalagi kota Tuhan, tapi secara politik warga kota kemudian menyerahkan tanggungjawab pemerintahan dan manajemen kota mereka kepada seorang walikota melalui proses pemilihan umum. Itu berarti walikota adalah orang yang menjadi wali-pemegang-amanah seluruh warga kota agar kota mereka dikelola menjadi kota yang baik.

Selanjutnya, proses, program, dan proyek untuk mewujudkan aspirasi seluruh warga kota itu secara teknis diserahkan kepada para kontraktor pembangunan dan pemeliharaan kota.

Tetapi secara profesional semua aspirasi warga kota di atas diserahkan kepada para arsitek. Inilah sebuah profesi yang semakin penting peranannya dalam menjawab masalah-masalah perkotaan dan pemukiman di seluruh dunia.

Tri Harso Karyono, guru besar arsitektur Universitas Tarumanagara dan peneliti utama pada Balai Besar Teknologi Energi (B2TE BPPT), Serpong, dalam artikelnya “Pemanasan Bumi dan Dosa Arsitek”, di harian KOMPAS, Selasa, 11 September 2007, mengatakan: Arsitek berperan besar dalam [pemanasan] Bumi. Kekeliruan tangan arsitek akan memanaskan Bumi dan berpotensi lebih besar membasmi manusia dibandingkan dengan kemampuan teroris.

Sedemikan dahsyat peran arsitek modern bagi kehidupan manusia sebagaimana dikatakan Tri Harso Karyono di atas, maka tidak berlebihan jika peran arsitek itu dapat saya ungkapkan bagi kehidupan sebuah kota sebagai berikut: Arsitek berperan besar dalam menentukan hitam putihnya sebuah kota. Kekeliruan tangan arsitek akan menghancurkan sebuah kota dan berpotensi membuat kota itu menjadi kota setan.

Semakin krusial peranan suatu profesi dalam masyarakat, semakin penting pula profesi itu merumuskan etosnya, menegakkan etos itu, dan menghukum anggota profesi yang melanggarnya. Hanya dengan demikian sebuah profesi punya tempat yang terhormat dalam masyarakat. Sejumlah profesi sudah melakukannya: dokter, wartawan, dan pengacara. Ciri khasnya: mereka punya asosiasi profesi, dan dalam tubuh asosiasi itu terdapat sebuah dewan kehormatan sebagai mahkamah tertinggi dalam penegakan etos profesi itu.

Sekarang, marilah kita selidiki serba sedikit tentang etos ini. Dengan memeriksa sejumlah kamus, kita akan menemukan bahwa etos adalah sebuah kata yang memiliki banyak makna, antara lain: (a) esprit d’corps; (b) karakter, keyakinan, dan hakikat moral dari seseorang, sekelompok orang, atau sebuah institusi; (c) kode perilaku suatu perusahaan yang menentukan cara bagaimana mereka memperlakukan karyawannya, pelanggannya, lingkungannya, serta tanggungjawab-tanggungjawab legalnya; (d) spirit khas suatu budaya atau era; dan masih banyak lagi.

Tapi untuk keperluan seminar ini saya memilih mengartikan etos sebagai sebuah rumusan yang disepakati bersama tentang apa yang dianggap paling penting oleh sekelompok orang untuk pekerjaan (profesi) yang mereka jalankan, dan perilaku apa yang dituntut untuk mencapai hal paling penting tersebut, termasuk apa-apa yang tidak boleh dilanggar dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesi tersebut.

Inilah definisi etos profesi yang berlaku umum untuk semua profesi seperti keguruan, kedokteran, kehakiman, kependetaan, kewartawanan, kemiliteran, kepengacaraan, dan kearsitekan.

Dan hari ini kita berbicara tentang etos kearsitekan atau etos arsitek.
Ketika kota dirumuskan oleh panitia seminar ini – yang notabene terdiri dari sejumlah arsitek muda yang idealis, kreatif, dan berwawasan luas – (1) sebagai sebuah simbolisme kosmik, (2) sebagai manisfestasi spiritualitas manusia, (3) sebagai biosfer hidup yang berkelimpahan, (4) sebagai ekosistem pengembangan manusia, (5) sebagai mandala penciptaan karya-karya yang estetik, (6) sebagai wilayah kerja yang produktif, dan (7) keragaman sosial budaya manusia urban, harus diakui bahwa aspirasi ini adalah sebuah rumusan yang ideal, luhur, dan menyeluruh.

Dengan mengandaikan bahwa konsep kota di atas sekarang diterima dan dianggap sangat penting oleh komunitas arsitek di negeri ini, maka dalam bahasa etos, idealisme tentang kota di atas – di tingkat perilaku kerja – dapat coba saya rumuskan sebagai berikut:

Etos 1: Kota adalah simbolisme kosmik; maka sebagai arsitek profesional kita wajib merancang, membangun, dan mengembangkan kota yang mengingatkan warganya bahwa kota sebagai ruang kehidupan adalah bagian dari kosmos ciptaan Tuhan yang punya desain, keteraturan, keluasan, keagungan, dan keindahan.

Etos 2: Kota adalah manisfestasi spiritualitas manusia; maka sebagai arsitek profesional kita wajib merancang, membangun, dan mengembangkan kota yang mampu membuat seluruh warganya merasa terhubungkan satu sama lain, yang merasa menyatu dengan lingkungannya, serta memetik makna, identitas, dan kebanggaan daripadanya sehingga menumbuhkan rasa cinta pada kotanya.

Etos 3: Kota adalah biosfer hidup yang berkelimpahan; maka sebagai arsitek profesional kita wajib merancang, membangun, dan mengembangkan kota yang lapang, longgar, lancar, bersih, hijau, berlimpah dengan air segar dan udara murni, serta bebas dari sampah maupun limbah.

Etos 4: Kota adalah ekosistem bagi pertumbuhan manusia yang sehat; maka sebagai arsitek profesional kita wajib merancang, membangun, dan mengembangkan kota yang cukup ruang untuk bermukim, bekerja, belajar, bermain, berekreasi, beribadah, berolahraga, berkesenian, dan berkebudayaan.

Etos 5: Kota adalah mandala penciptaan karya-karya yang estetik; maka sebagai arsitek profesional kita wajib merancang, membangun, dan mengembangkan kota yang secara keseluruhan dinilai sebagai indah, termasuk bagian-bagiannya, unit-unitnya, dan detail-detailnya sehingga mampu memuaskan cita rasa seluruh warga kota secara sensual-indrawi, intelektual-karsawi, dan spiritual-rohani.

Etos 6: Kota adalah lapangan kerja yang produktif; maka sebagai arsitek profesional kita wajib merancang, membangun, dan mengembangkan kota yang mampu menyediakan cukup ragam mata pencaharian bagi segenap warganya: dari jenis pekerjaan yang cuma mengandalkan otot, keringat, dan fisik sampai jenis pekerjaan yang mengandalkan imajinasi, kreativitas, dan inovasi.

Etos 7: Kota adalah wahana keragaman sosial-budaya manusia urban; maka sebagai arsitek profesional kita wajib merancang, membangun, dan mengembangkan kota yang mampu menyediakan ruang untuk ekspresi keragaman sosial-budaya itu, interaksi sinergis dalam pluralisme itu, serta kultur apresiatif dalam kebhinekaan itu.

Sesungguhnya perumus etos suatu profesi haruslah orang dalam profesi itu. Demikian pula etos arsitek haruslah dirumuskan oleh para arsitek itu sendiri. Orang seperti penulis makalah ini, meski pun sering dijuluki media sebagai mister etos atau guru etos, paling banter bisa berperan sebagai konsultan saja.

Sebagai penutup, izinkanlah saya meninggalkan sebuah saran: panitia seminar ini perlu sesegera mungkin berkoordinasi dengan Ikatan Arsitek Indonesia guna merumuskan sehimpunan etos arsitek yang luhur, menyeluruh, inspirasional, dan motivasional sehingga pada satu waktu nanti kita akan melihat kota-kota di republik ini sungguh-sungguh menjadi kota-kota yang “gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja”.

Apa yang saya rumuskan di atas adalah sebuah percobaan dan harus dianggap sebagai sebuah masukan saja. Terimakasih dan selamat berseminar.

*) Disampaikan pada seminar internasional The Knowledge City: Spirit, Character, and Manifestation, 13-14 November 2007, Danau Toba Convention Hall, Medan, Indonesia. 

7 Mentalitas Profesional
Oleh: Jansen H. Sinamo

Kini adalah zaman profesional. Abad 21 dicirikan oleh globalisasi yang serba kompetitif dengan perubahan yang terus menggesa. Tidak terbayangkan lagi ada organisasi yang bisa bertahan tanpa profesionalisme. Bukan sekadar profesionalisme biasa tetapi profesionalisme kelas tinggi, world-class professionalism, yang memampukan kita sejajar dan bermitra dengan orang-orang dan organisasi-organisasi terbaik dari seluruh dunia.

Kaum profesional dari pelbagai disiplin kerja sekarang sudah merambah ke seluruh dunia. Bagi mereka batas-batas negara tidak lagi relevan. Wawasan mereka sudah kosmopolitan. Mereka adalah warga dunia yang bisa memberikan kontribusi mereka di mana saja di muka Bumi. Mereka bisa bekerja di mana saja di planet ini.

Bangsa kita jelas memerlukan sekelompok besar kaum profesional untuk mengisi pembangunan masyarakat di segala bidang. Jika tidak mampu, maka kita terpaksa harus mengimpor mereka dengan harga yang sangat mahal.

Sesungguhnya, Indonesia berpotensi pula mengekspor tenaga-tenaga kerja profesional dalam pelbagai kelas ke mancanegara: perminyakan, pertambangan, kehutanan, sastra, seni, dan lain-lain.

Untuk dua hal di atas diperlukan usaha besar: membangun mentalitas profesional.

1. Mentalitas Mutu
Seorang profesional menampilkan kinerja terbaik yang mungkin. Dengan sengaja dia tidak akan menampilkan the second best (kurang dari terbaik) karena tahu tindakan itu sesungguhnya adalah bunuh diri profesi. Seorang profesional mengusahakan dirinya selalu berada di ujung terbaik (cutting edge) bidang keahliannya. Dia melakukannya karena hakikat profesi itu memang ingin mencapai suatu kesempurnaan nyata, menembus batas-batas ketidakmungkinan praktis, untuk memuaskan dahaga manusia akan ideal mutu: kekuatan, keindahan, keadilan, kebaikan, kebergunaan.

Jelas, profesionalisme tidak identik dengan pendidikan tinggi. Yang utama adalah sikap dasar atau mentalitas. Maka seorang pengukir batu di pelosok Bali misalnya, meskipun tidak lulus SMP, namun sanggup mengukir dengan segenap hati sampai dihasilkan suatu karya ukir terhalus dan terbaik, sebenarnya adalah seorang profesional. Seorang guru SD di udik Papua yang mengajar dengan segenap dedikasi demi kecerdasan murid-muridnya adalah seorang profesional.

Di fihak lain, seorang dokter yang menangani pasiennya dengan tergesa-gesa karena mengejar kuota pasien bukanlah profesional. Demikian pula seorang profesor yang mengajar asal-asalan, meneliti asal jadi, membina mahasiswa terlalu banyak sampai mengorbankan kualitas, bukanlah profesional. Atau, seorang insinyur yang dengan sengaja mengurangi takaran bahan bangunannya demi laba yang lebih besar bukanlah profesional.

Jadi mentalitas pertama seorang profesional adalah standar kerjanya yang tinggi yang diorientasikan pada ideal kesempurnaan mutu.

2. Mentalitas Altruistik
Seorang profesional selalu dimotivasi oleh keinginan mulia berbuat baik. Istilah baik di sini berarti berguna bagi masyarakat. Aspek ini melengkapi pengertian baik dalam mentalitas pertama, yaitu mutu. Baik dalam mentalitas kedua ini berarti goodness yang dipersembahkan bagi kemaslahatan masyarakat. Profesi seperti guru, dokter, atau advokat memang jelas sangat bermanfaat bagi masyarakat. Demikian pula pialang saham, computer programmer, atau konsultan investasi. Taat asas dengan pengertian ini, tidak mungkin ada pencuri profesional atau pembunuh profesional. Mungkin saja teknik mencurinya atau metoda membunuhnya memang canggih dan hebat, tetapi menggelari mereka sebagai kaum profesional adalah sebuah kerancuan istilah.
 
Mutu kerja seorang profesional tinggi secara teknis, tetapi nilai kerja itu sendiri diabdikan demi kebaikan masyarakat yang didorong oleh kebaikan hati, bahkan dengan kesediaan berkorban. Inilah altruisme.

Di fihak lain, paradoksnya, karena kualitas kerjanya tinggi, berbasiskan kompetensi teknis yang tinggi, maka masyarakat menghargai jasa kaum profesional ini dengan tinggi pula. Artinya, imbalan kerja bagi kaum profesional umumnya selalu mahal. Permintaan atas jasa mereka selalu lebih tinggi dari ketersediaannya. Itulah yang mengakibatkan imbalan kerja kaum profesional menjadi tinggi. Oleh karena itu pula, status sosial kaum profesional dari segi moneter umumnya berada di lapisan tengah ke atas. Ini bukan karena kaum profesional menuntut untuk didudukkan di kelas tersebut, tetapi sebagai akibat logis dari eksistensi profesionalnya.

Maka ciri kedua profesionalisme ialah hadirnya motif altruistik dalam sikap dan falsafah kerjanya.

3. Mentalitas Melayani
Kaum profesional tidak bekerja untuk kepuasan diri sendiri saja tanpa peduli pada sekitarnya. Kaum profesional tidak melakukan onani profesi. Sebaliknya, kepuasannya muncul karena konstituen, pelanggan, atau pemakai jasa profesionalnya telah terpuaskan lebih dahulu via interaksi kerja.

Kaum profesional lahir karena kebutuhan masyarakat pelanggan. Sorang maestro seni lukis sekelas Michelangelo saja pun tetap punya pelanggan, yakni Sri Paus, sang penguasa Vatikan, yang keinginannya harus dipuaskan.

Seorang profesional bahkan dengan tegas mematok nilai moneter atas jasa profesionalnya. Dengan ketegasan ini berarti sang profesional berani berdiri di mahkamah tawar-menawar rasional dengan para pelanggannya. Maka seorang profesional harus bisa melayani pelanggannya sebaik-baiknya. Dan sang profesional diharapkan melakukannya secara konsisten dengan segenap ketulusan dan kerendahan hati sebagai apreasiasi atas kesetiaan pelanggannya di sepanjang karir profesionalnya.

Maka ciri ketiga seorang pekerja profesional adalah sikap melayani secara tulus dan rendah hati kepada pelanggannya dan nilai-nilai utama profesinya.

4. Mentalitas Pembelajar
Di bidang olahraga, seorang pemain profesional, sebelum terjun penuh waktu, terlebih dahulu menerima pendidikan dan pelatihan yang mendalam. Dan di sepanjang karirnya ia terus-menerus mengenyam latihan-latihan tiada henti.

Begitu juga di bidang lain, seorang pekerja profesional adalah dia yang telah mendapat pendidikan dan pelatihan khusus di bidang profesinya. Bahkan untuk profesi-profesi yang sudah mapan, sebelum seseorang diberi hak menyandang status profesional, dia harus menempuh serangkaian ujian. Bila lulus barulah dia mendapatkan sertifikasi profesional dari asosiasi profesinya.

Kompetensi tinggi tidak mungkin dicapai tanpa disiplin belajar yang tinggi dan berkesinambungan. Dan karena tuntutan masyarakat semakin lama semakin tinggi, tak pelak lagi, belajar dan berlatih seumur hidup harus menjadi budaya kaum profesional. Tanpa itu maka sajian nilai sang pekerja profesional semakin lama semakin tidak relevan. Bahkan bisa tak bersentuhan dengan realitas sekitarnya. Pada saat itulah seorang pekerja gagal menjadi profesional.

Jadi ciri keempat pekerja profesional adalah hati pembelajar yang menjadikannya terus bertumbuh dan mempertajam kompetensinya kerjanya.

5. Mentalitas Pengabdian
Seorang pekerja profesional memilih dengan sadar satu bidang kerja yang akan ditekuninya sebagai profesi. Pilihannya ini biasanya terkait erat dengan ketertarikannya pada bidang itu, bahkan ada semacam rasa keterpanggilan untuk mengabdi di bidang tersebut. Mula-mula, pilihan itu dipengaruhi oleh bakat dan kemampuannya yang digunakannya sebagai kalkulasi peluang suksesnya di sana. Tetapi kemudian berkembang sebuah hubungan cinta antara sang pekerja dengan pekerjaannya.

Hubungan ini mirip dengan hubungan jejaka-gadis yang jatuh cinta. Semakin mereka mengenal, rasa cinta makin kental, dan akhirnya mengokohkan hubungan itu secara marital. Demikian juga seorang profesional, semakin ia menekuni profesinya semakin timbul rasa cinta. Dan bila hatinya sudah mantap betul maka ia memutuskan untuk hanya menekuni bidang itu sampai tuntas dan menyatu padu dalam sebuah ikatan cinta yang kekal. Demikianlah, seorang profesional mengabdi sepenuh cinta pada profesi yang dipilihnya.

Jadi ciri kelima seorang profesional sejati adalah terjalinnya dedikasi penuh cinta dengan bidang profesi yang dipilihnya.

6. Mentalitas Kreatif
Seorang olahragawan profesional menguasai sepenuhnya seni bermain. Baginya permainan tidak melulu soal teknis, tetapi juga seni. Ia beranjak dari seorang jago menjadi seorang maestro seperti Rudy Hartono di bulutangkis, Pele di sepakbola, atau Muhammad Ali di tinju. Sedangkan pemain amatir, tidak pernah sampai ke jenjang seni; asal menguasai teknik-teknik dasar maka memadailah untuk ikut pertandingan-pertandingan.

Seorang pekerja profesional, sesudah menguasai kompetensi teknis di bidangnya, berkembang terus ke tahap seni. Dia akan menemukan unsur seni dalam pekerjaannya. Dia akan menghayati estetika dalam profesinya. Mata hatinya terbuka lebar melihat kekayaan dan keindahan profesi yang ditekuninya. Seterusnya, perspektif, keindahan, dan kekayaan ini akan memicu kegairahan baru bagi sang profesional yang pada gilirannya memampukannya menjadi pekerja kreatif, berdaya cipta, dan inovatif.

Jadi ciri keenam seorang pekerja profesional adalah kreativitas kerja yang lahir dari penghayatannya yang artistik atas bidang profesinya.

7. Mentalitas Etis
Seorang pekerja profesional, sesudah memilih untuk "menikah" dengan profesinya, menerima semua konsekuensi pilihannya, baik manis maupun pahit. Profesi apa pun pasti terlibat menggeluti wacana moral yang relevan dengan profesi itu. Misalnya profesi hukum menggeluti moralitas di seputar keadilan, profesi kedokteran menggeluti moralitas kehidupan, profesi bisnis menggeluti moralitas keuntungan, begitu seterusnya dengan profesi lain.

Maka seorang profesional sejati tidak akan menghianati etika dan moralitas profesinya demi uang atau kekuasaan misalnya. Penghianatan profesi disebut juga sebagai pelacuran profesionalisme yakni ketidaksetiaan pada moralitas dasar kaum profesional.

Di pihak lain, jika profesinya dihargai dan dipuji orang, dia juga akan menerimanya dengan wajar. Kaum profesional bukanlah pertapa yang tidak membutuhkan uang atau kekuasaan, tetapi mereka menerimanya sebagai bentuk penghargaan masyarakat yang diabdinya dengan tulus.

Jadi ciri keenam pekerja profesional adalah kesetiaan pada kode etik profesi pilihannya.

***

Tampaklah bahwa menjadi profesional sangat berat. Tanpa motivasi akbar, dan stamina moral yang tinggi seseorang tidak mungkin menjadi profesional sejati.
Pertanyaan penting disini: darimana kah seorang profesional mendapatkan motivasinya sehingga ia dapat bertahan bahkan bertumbuh di arena profesional itu? Pasti tidak dari sekadar uang saja meskipun dunia profesional berlimpah dengan uang. Lagipula sudah diketahui bahwa motivasi uang selalu berbentuk kurva lonceng, maksudnya uang memang memotivasi orang, tetapi sesudah uang diperoleh, tingkat motivasinya akan turun kembali; mendaki ke puncak kurva lalu menurun menuju dasar kurva.

Motivasi seorang profesional selalu berasal dari ruang spiritual. Dari ruang ini dapat didulang berbagai jenis motivasi luhur seperti demi negara, demi bangsa, demi kaum papa, demi perdamaian, demi demokrasi, demi kemanusiaan, demi peradaban, dan sebagainya.

Dalam Abad 21 kini, dimana kompetisi antarmanusia, antarorganisasi, antarperusahaan, dan antarbangsa telah menjadi norma, maka profesionalisme di segala bidang menjadi tiket masuk ke stadion peradaban. Tanpa profesionalisme maka kita cuma jadi penonton. Dan sebagai penonton, kita harus selalu membayar. Juga, tidak ada calo yang menjual karcis catutan. Artinya setiap orang harus menjadi profesional. Setiap perusahaan, partai politik, atau organisasi apa pun harus menjadi profesional. Bahkan setiap negara akhirnya harus berkelakuan profesional terhadap konstituen utamanya: rakyat! Jika tidak, masyarakat akan berkata pada kita: go to hell with your filthyness.

Gelar No, Ilmu Yes
Oleh: Jansen H. Sinamo

Di era 70-an Nurcholish Madjid terkenal dengan teriakannya: Politik No, Islam Yes. Kini teriakan senada harus dikumandangkan: Gelar No, Ilmu Yes. Ini perlu dilakukan karena masyarakat kita sudah sampai memberhalakan gelar kesarjanaan. Banyak orang bangga menyandang gelar-gelar mentereng itu tetapi sesungguhnya hampa bobot. Epidemi ini sekarang merambat lebih ganas karena banyak “mafia” berkedok dosen yang terjun menjadi penjaja gelar dengan harga terjangkau. Ironinya, sejumlah PTN ternyata juga terlibat praktik jual-beli gelar master atau doktor (Suara Pembaruan, 20 April).

Dari mana asal-usul wabah sosial ini? Awalnya dimulai ketika orang-orang tertentu tanpa risih menderetkan gelar S1, S2, S3 sekaligus, umpamanya Dr. Ir. Polan Polin, M.Sc. atau Dr. Polin Polan, SE, SH, MBA (sebenarnya cukup gelar tertingginya saja). Gelar berderet ini dianggap mampu meningkatkan derajat sosialnya. Dan, gayung pun bersambut hangat oleh masyarakat kita yang umumnya masih bermental hamba. Para penderet gelar itu mendapat sanjungan sosial.

Lanjutannya, tumbuhlah semacam keharusan baru untuk menulis dan memanggil nama orang lengkap dengan gelarnya. Dalam acara-acara resmi pemanggilan nama secara komplit menjadi protokol baru. Ingat saja saat voting di SU-MPR lalu, nama-nama anggota terhormat itu dipanggil serba lengkap. Saya perkirakan, durasi voting bisa berkurang sampai 25 % bila anggota MPR itu dipanggil dengan nama polos mereka saja. Namun bukan cuma di gedung MPR, di stasiun kereta api, bandara, ruang tunggu dokter, bahkan di rumah-rumah ibadah gelar-gelar akademis ini juga menjadi wajib panggil dan wajib tulis.

Keinginan dianggap hebat dan berkelas merupakan motivasi di balik kegemaran memasang gelar-gelar mentereng itu. Meskipun sampai dosis tertentu ambisi tersebut dapat dianggap sehat, namun dosis berlebihan jelas merupakan penyakit. Saya mengenal seseorang yang menulis gelar doktorandusnya bahkan di tikar, tong air, pantat gelas, pantat piring, punggung kursi, dan tembok rumahnya. Ini bukan lagi sekadar penyakit eksibisionisme, tetapi sudah berkomplikasi dengan rasa rendah diri akut. Di sini, sebuah gelar sarjana diharapkan mampu mengobatinya.

Harus diakui, para sarjana Indonesia tidak mau dianggap biasa, bersahaja. Mereka itu hebat. Sedihnya, meskipun tidak hebat tetapi ingin dianggap hebat.

Di dunia bisnis misalnya, sejak Tanri Abeng naik daun dengan gelar MBA-nya pada dekade 80an – dan dijuluki manajer satu milyar – maka kerabat gelar itu seperti MM atau MBM menjadi gengsi baru yang didambakan orang. Dengan titel MBA seseorang menjadi ningrat baru dalam kerajaan bisnis. Biasanya untuk menopang gengsi itu ditampilkan pula sebuah gaya hidup mewah.

Di fihak lain, anggota masyarakat yang tidak sempat bergelar ikut-ikutan naik birahi memiliki gelar dengan upaya-upaya tidak terpuji termasuk membeli ijazah palsu. Dan syahwat masyarakat ini semakin tidak tertahankan tatkala kesempatan memiliknya dengan seolah-olah sah -- tapi sebenarnya tidak autentik -- dimunculkan oleh lembaga-lembaga penjaja gelar. Sejak itulah orang bisa mendapatkan gelar BA, MA, PhD; BSc, MSc, Dr; atau BBA, MBA, DBA asal membikin resume cantik, ikut tutorial singkat, membayar beberapa juta, dan melancong sambil wisuda ke Amerika.

Amerika memang negeri yang sangat kreatif. Kita bisa mejeng sebagai Man of the Year di majalah Time misalnya dengan berfoto di emper toko dan membayar US$8. Tapi kreativitas begini memang sekadar lucu-lucuan. Itu sebabnya majalah Time yang asli tidak pernah memprotes praktik itu karena semua orang tahu bahwa itu memang ecek-ecek (dialek Medan yang artinya main-main, pura-pura, tidak serius).

Sayangnya wisudawan aspal dari Amerika di atas, tidak merasa bahwa lakon mereka itu sebenarnya ecek-ecek. Dengan gagahnya gelar-gelar itu kemudian dicetak di kartu nama. Bahkan ada yang berani naif-tanpa-malu memasangnya di iklan surat kabar.
Mestinya badut-badut akademis itu jadi bahan tertawaan. Tapi aneh bin ajaib, di negeri ini orang demikian malah dikagumi dan diteladani ramai-ramai.

Pertanda apa ini? Bagi saya, tak bisa lain, inilah masyarakat yang sakit. Rupanya, bukan cuma si doktor atau si master ecek-ecek saja yang sakit. Semua kita sudah sakit.
Contoh getir sudah saya alami sendiri. Suatu saat saya diundang oleh sebuah universitas swasta memberi ceramah. Karena saya memang tidak pernah mencantumkan gelar, tanpa sepengetahuan saya, panitia memasang MBA (padahal tak punya) di belakang nama saya pada spanduk, undangan, dan sertifikat seminar. Ketika saya persoalkan, mereka berkilah, janggal seorang penceramah dan direktur sebuah institut hanya bernama polos. Saya cuma bisa tersenyum kecut. Jika dunia akademis saja tidak lagi percaya pada kekuatan kompetensi teknis (itu sebabnya saya diundang) – lalu menggantungkannya pada wibawa sebuah gelar – kita bisa membayangkan apa yang terjadi di masyarakat.

***

Apakah mungkin menyembuhkan penyakit ini? Yang jelas, tak ada gunanya melarang dengan sebuah SK menteri apalagi dirjen. Mereka pandai berkelit dan lihai membenarkan diri.

Hemat saya, pertama-tama, kita harus berani berteriak bahwa gelar mereka itu cuma ecek-ecek, tidak sejati, tidak autentik. Dalam kaitan ini, media harus memberi tempat pada teriakan semacam ini. Jangan sebaliknya malah mengambil untung dengan memberi ruang bebas pada iklan mereka. Minimal, iklan gelar ecek-ecek harus diperlakukan sama dengan iklan kondom.

Kedua, instansi publik termasuk perusahaan harus menyisir lebih ketat supaya pemilik gelar ecek-ecek jangan sampai masuk melalui proses rekrutmen. Jika lolos juga dan belakangan ketahuan, agar dipecat secara tidak hormat dengan delik penipuan.
Ketiga, agar pemilik gelar sejati berusaha menahan diri memamerkan gelarnya. Tak usahlah memasang gelar jika bukan dalam konteks akademik. Mudah-mudahan pemilik gelar ecek-ecek itu jadi sungkan dengan kerendahan hati para sarjana sejati. Gerakan hemat-memakai-gelar ini perlu diperluas sekaligus agar gelar-gelar sejati itu kembali mendapat kehormatan yang layak. Bukankah bintang kehormatan semacam Jalasena tidak dipakai orang sehari-hari tetapi pada acara khusus saja? Dalam kaitan ini, saya menyatakan respek kepada Kusmayanto Kadiman, Rektor Institut Teknologi Bandung. Ketika kami berseminar dua bulan lalu di Jakarta, ia wanti-wanti agar gelar akademisnya tak usah dipasang. Saat saya tanya alasannya kemudian, ia menjawab dalam rangka silent protest bagi gelar ecek-ecek. Ini sebuah contoh yang saya maksudkan.

Diharapkan, jika semakin banyak orang sadar bahwa gelar ecek-ecek bergentayangan di masyarakat, mereka akan malu menggunakannya sehingga berkurang dengan sendirinya. Bisnis jual beli gelar boleh tetap ada, bahkan mereka berhak hidup sama seperti bisnis-kaki-lima Man of the Year majalah Time. Tetapi semua kita sepakat bahwa itu just for fun, cuma ecek-ecek. Jika toh ada orang yang mau membayar lima juta untuk kegiatan ecek-ecek, dalam konteks ini, hal itu sah-sah saja.

***

Namun mengusulkan hal di atas sebenarnya sekaligus menepuk air di dulang ke muka universitas-universitas kita. Pertama, jumlah sarjana penganggur (gelarnya bukan ecek-ecek) sudah mencapai 500.000 orang dan bertambah 50.000 setiap tahun (Kompas, 22 April).

Sementara itu instansi resmi, khususnya perusahaan swasta, selalu kekurangan tenaga bermutu tinggi. Di dunia bisnis saya tahu persis, mendapatkan 2 atau 3 pegawai baru dari 2.000-an pelamar setingkat S1 adalah peristiwa rutin. Artinya, ada problem kualitas yang amat besar dalam sistem pendidikan tinggi kita.

Maka inilah gugatan kita: Mengapa mahasiswa diluluskan padahal belum bisa berpikir dan berbahasa dengan runtut? Mengapa orang diberi gelar sarjana padahal sekadar bekerja profesional pun tidak bisa? Mengapa keluaran universitas tidak mampu berkerja menggunakan metoda ilmiah yang rigor dan koheren? Mengapa mereka disebut magister dan doktor tapi tidak mampu memproduksi karya-karya ilmiah seperti artikel, makalah, buku, dan laporan kecuali dulu sebagai persyaratan lulus? Dan di markas besarnya, mengapa ada dosen yang dibiarkan eksis tanpa menulis karya ilmiah padahal ada prinsip publish or perish?

Kualitas rendah adalah ciri pokok apa saja yang disebut ecek-ecek. Saking rendahnya kualitas sarjana di atas tadi, bisa dikatakan hampir tak ada lagi bedanya dengan sarjana ecek-ecek. Dan ini tentu mengundang dugaan nakal lainnya. Jangan-jangan sejak awal memang ecek-ecek belaka. Ada Ebtanas ecek-ecek, NEM ecek-ecek, UMPTN ecek-ecek, kurikulum ecek-ecek, kuliah ecek-ecek, universitas ecek-ecek, dosen ecek-ecek, dan sarjana ecek-ecek.

***

Pada arah sebaliknya, kita harus mempromosikan kembali betapa pentingnya orang biasa, betapa terhormatnya orang bersahaja, betapa mulianya hidup apa adanya. Khususnya, kita perlu mengharg ai orang biasa tetapi mampu berkarya luar biasa. Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang, Ajip Rosidi, dan Rendra, adalah contoh insan tidak bergelar, tetapi kualitas karya mereka melebihi karya sarjana, bahkan sudah mencapai tahap empu (maestro) di bidang masing-masing.

Tampil bersahaja namun berkualitas bertambah penting lagi karena masyarakat kita sangat suka pada gincu. Dan gincu bangsa kita sudah terlalu tebal. Alhasil, jadi norak. Buktinya, sekian banyak doktor ekonomi kita tapi ekonomi bangsa ini sangat payah. Sekian banyak sarjana hukum kita tapi nasib dewi keadilan terpuruk di negeri ini. Sekian banyak doktor politik kita tapi kondisi politik republik ini amburadul. Sekian banyak inspektur, komisaris, dan jenderal kita tapi keamanan nusantara rawan di mana-mana. Jadi bukankah kita layak menduga bahwa di balik gelar-gelar mentereng itu sebenarnya tidak ada apa-apa? Kosong tanpa kualitas? Ecek-ecek? Gincu doang?

Kita bukan anti gincu. Tapi marilah mengakui bahwa itu memang gincu. Yang kita tolak adalah klaim bahwa gincu itu rona asli wajah kita. Jadi, marilah memulai kebersahajaan: Jangan lagi pakai gelar-gelar akademis itu. Bukan karena tidak boleh, tetapi dengan tampil bersahaja kita selalu diingatkan bahwa kita belum apa-apa. Kita disadarkan, yang penting itu kualitas ilmunya, bukan gelarnya.

Saya mempunyai buku yang mengoleksi sejumlah surat Einstein dengan ilmuwan sezamannya. Saya takjub, tak sekalipun saya temui tertulis Prof. Dr. Albert Einstein. Cukup ditulis A. Einstein atau Albert Einstein saja. Sangat bersahaja, sangat biasa. Tapi kita belum lupa, Einstein sudah dinobatkan sebagai Man of The Century oleh majalah Time di penghujung tahun 2000 lalu. Artinya, dialah individu yang karena kedalaman ilmunya diakui sebagai penyumbang terbesar terhadap peradaban manusia sepanjang abad ke-20. Jadi, jika kita tidak lagi malu pada diri sendiri, tidak malu lagi pada masyarakat, tidak malukah kita kepada Einstein?

Kini Indonesia terpuruk dengan utang ratusan milyar dolar. Sebab fundamentalnya, menurut saya, ialah karena kita tidak bersedia hidup bersahaja apa adanya. Sebaliknya kita kepingin keren dan hebat, punya ini punya itu, kelihatan begini kelihatan begitu. Lalu kita membeli gincu mahal-mahal dengan utang kiri kanan. Maka pasak pun semakin besar sementara tiang semakin kecil.

Maka sekali lagi, marilah sederhana dan bersahaja: Gelar No, Ilmu Yes!

7 Rasa Takut
Oleh: Jansen H. Sinamo

Sekitar dua milenium lalu, Herodes melakukan kebodohan dengan membunuh ratusan bayi Betlehem yang tidak bersalah karena takut pada ramalan orang Majus bahwa seorang raja telah lahir di antara rakyatnya. Dikiranya sang bayi akan menggulingkan dirinya. Orang Majus dari Timur itupun ditipunya. Tapi kita tahu, Herodeslah yang ditipu sejarah.

Satu milenium kemudian, sekelompok raja dan pemimpin agama di Eropa melakukan kebodohan yang mirip dengan mengobarkan Perang Salib yang memakan jutaan korban karena takut kemuliaan Tuhan dihinakan. Mereka merasa telah berjasa besar di hadapan Tuhan itu, tetapi kita tahu, merekalah yang berutang di mata sejarah.

Menjelang akhir milenium kedua, Amerika memerangi Vietnam karena takut pada hantu komunisme. Mereka menyangka bakal jadi pahlawan dunia, tapi kita tahu, Amerika lah yang jadi pecundang di mata semua, termasuk di mata rakyatnya sendiri.

***

Anda dan saya juga, dalam skala yang lebih kecil, pasti pernah berbuat kebodohan, yang belakangan kita sesali.

Mengapa kita begitu bodoh? Apa esensi kebodohan itu sehingga banyak sarjana, master, dan doktor sering tampil bodoh di mata rakyat biasa?

Hikmah sejarah sebenarnya sudah mengajarkan: kebodohan selalu muncul dari ketakutan. Takut malu, malinglah kita. Takut pada realita, bohonglah kita. Takut kalah, ganaslah kita. Takut miskin, rampoklah kita.

Sesungguhnya benarlah pendapat ini: induk segala kebodohan ialah rasa takut dan akar segala dosa ialah ketakutan. Begitulah, semua kebodohan sosio-ekonomi-politik di negeri ini sesungguhnya bermula dari ketakutan, khususnya ketakutan kaum elit penguasa.

Kini, ketika milenium ketiga baru saja menggelar tikar, dapatkah kita bebas dari ketakutan yang memperanakkan kebodohan dan mempercucukan kesalahan itu? Mungkin tak banyak yang punya waktu memikirkannya karena terbelenggu oleh tujuh rasa takut utama: takut miskin, takut disalahkan, takut sakit, takut dibenci, takut kalah, takut tua, dan takut mati. Padahal benarlah ungkapan-ungkapan paradoksal ini: Barangsiapa takut miskin akan kehilangan kekayaannya. Barangsiapa takut dikritik akan kehilangan rasa damainya. Barangsiapa takut sakit akan kehilangan kesehatannya. Barangsiapa takut dibenci akan kehilangan para pecintanya. Barangsiapa takut kalah akan kehilangan kemenangannya. Barangsiapa takut tua akan kehilangan kemudaannya. Barangsiapa takut mati akan kehilangan kehidupannya.

Tujuh rasa takut ini sesungguhnya adalah setan belang yang telah mencuri kehidupan, kesejahteraan, kekayaan, damai sejahtera, dan kegembiraan kita. Tegasnya, ketakutan adalah musuh terbesar kita.

Sebagai guru saya dapat bersaksi bahwa hambatan utama bagi perkembangan, pertumbuhan, dan kemajuan manusia di tingkat individu, organisasi dan sosial, tanpa kecuali, semuanya adalah ketakutan dalam berbagai bentuk.

Kaum agama takut kepada kaum nasionalis maka agama pun menjadi momok. Kaum nasionalis takut kepada kaum agama maka nasionalisme pun menjadi monster. Kaum sekuler takut kepada kaum fundamentalis maka sekularisme pun menjadi hantu. Kaum fundamentalis takut kepada kaum sekuler maka fundamentalisme pun menjadi setan gundul.

Juga, tentara takut kepada rakyatnya maka tentara pun menjadi tukang tembak. Rakyat takut kepada tentara maka rakyat pun menjadi demonstran perusuh. Presiden takut kepada DPR maka Presiden pun menjadi despot. DPR takut kepada Presiden maka DPR pun menjadi tukang bantai.

Demikian pula, buruh takut kepada majikan maka serikat buruh menjadi musuh. Majikan takut kepada buruh maka manajemen menjadi penghisap. Pemimpin takut kepada anakbuah maka atasan menjadi diktator. Anakbuah takut kepada atasan maka bawahan menjadi kaum mbalelo.

Padahal, cita-cita sosial kita ialah demokrasi berkemajemukan dan berkemakmuran. Visi organisasional kita ialah sukses tertinggi. Dan dambaan personal kita ialah kesentosaan. Tetapi saya berpendapat sekarang: selama ketakutan masih berkuasa di hati kita, demokrasi sejati tak akan tercipta, visi organisasi tak akan tercapai, dan aspirasi pribadi kita tak akan tergapai. Dan dalam kaitan ini, saya katakan pula: musuh terbesar demokrasi bukanlah fasisme/militerisme melainkan jiwa penakut; musuh utama organisasi/perusahaan bukanlah persaingan melainkan roh penakut; dan musuh nomor satu kita ialah hati penakut.

Jadi siapakah yang menciptakan momok, monster, atau setan gundul? Jawabnya: kita sendiri dalam ketakutan kita. Artinya, sang penakutlah yang menciptakan setan bagi dirinya. Sayangnya, “the devil within me” dapat memicu bangkitnya “the devil within you”, kemudian “the devil everywhere”.

Supaya terbebas dari rasa takut maka kita memerlukan tiga hal: imajinasi positif, daya cipta kreatif, dan kesadaran bahwa kita lebih besar dari ketakutan itu sendiri. Pada saat itulah kita memulai karir sebagai manusia rahmatan.

The 8 Habit dan 8 Etos: Merambah Jalan Baru Menuju Keunggulan
Oleh: Jansen H. Sinamo

Stephen Covey mengejutkan saya. Buku The 8th Habit menampilkan suara sebagai inti keagungan. Ini konsep kuno warisan Martin Luther dari abad ke-16, yang mengajarkan pekerjaan sebagai panggilan (Beruf). Orang harus bertekun dalam panggilan itu sebab demikianlah kehendak Tuhan.

Menurut Max Weber (1905), inilah elemen etos ekonomi yang terlibat dalam proses keberjayaan dunia Barat. Menurut kamus Oxford, suara yang memanggil, vocare (Latin), menjadi vocation (Inggris), berarti pekerjaan. Tak bisa lain, vocation harus dimaknai secara lengkap: bekerja adalah sabda ilahi. Jadi, keterangan sosiologi ekonomi cocok dengan kamus. Singkatnya, jika panggilan (suara, titah, sabda) ilahi itu ditanggapi penuh gairah melalui akal budi, khususnya nurani, dalam konteks kerja, ia akan terpantul menjadi suara jiwa kita yang unik dan mendesak diekspresikan. Buahnya ialah keunggulan dan kejayaan.

Dalam bahasa Covey: temukanlah suaramu, lalu ilhami lah orang lain menemukan suaranya! Itulah habit ke-8. Itulah suara jiwa: melodi spiritual talenta, kegairahan, nurani, dan kebutuhan kita. Jika orang menemukan lalu mengekspresikan suara jiwanya, ia akan bergemilang. Dan, jika pemimpin menolong setiap warganya menemukan suaranya, keseluruhannya akan menjadi organisasi yang gemilang. Dimampatkan, begitulah argumentasi Covey.

Secara fenomenologis teramati bahwa semua orang ingin menjadi orang besar, paling tidak, bagian dari yang serba besar. Buat saya, itulah penjelasan mengapa manusia selalu bernafsu tinggi pada apa saja yang besar-besar: rumah besar, mobil besar, dan gaji besar; dan pada kategori lain, perusahaan unggul, partai unggul, dan tentu saja: negara unggul! Pokoknya, manusia tidak puas dengan yang kecil-kecil, biasa-biasa, atau sedang-sedang.

Sebagai nilai, greatness (kejayaan, kemegahan, keagungan) telah menjadi poros budaya semesta yang menggerakkan manusia untuk meraih atau menciptakannya. Evolusi budaya telah berhasil menanamkan greatness menjadi semangat utama di hati manusia, bahkan menjadi pilar spiritualitasnya. Secara religius, ini setara dengan pengabdian manusia tiada henti pada atribut keilahian, seperti kesucian, keakbaran, dan kebenaran. Manusia selalu terpesona pada obyek-obyek besar, seperti gunung, samudra, atau langit. Bukan kebetulan, ketiganya juga merupakan metafora kebesaran ilahi. Jadi, di tingkat rohani, jiwa manusia selalu merindu pada keagungan. Jelasnya, hati manusia belum merasa puas tuntas hingga akhirnya ia menemukan, mengalami, atau berjumpa dengan keagungan itu.

Dalam konteks inilah The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness menjadi relevan sebab penulisnya menjanjikan kitab itu sebagai roadmap menelusurinya, vade mecum menjalaninya, dan secara khusus: strategi bagi para CEO untuk mentransformasikan organisasi mereka ke tingkat akbar. Covey mengerti dan berempati dengan dahaga jiwa manusia akan kejayaan. Dan, ia menjawabnya dengan solusi.

Secara fisik, buku ini berukuran jumbo, dalam edisi Indonesia tebalnya lebih dari 600 halaman, tetapi juga besar karena ia sarat dengan pikiran-pikiran akbar. Peluncuran buku ini pun, Rabu (30/11), sangat megah untuk acara sejenis. Dihadiri sekitar 2.000 orang, yang membayar jutaan untuk mendengar ceramah Covey sekitar 200 menit, Presiden Yudhoyono sendiri berkenan menyambutnya sambil membuhul tekad agar bangsa kita pun segera membangun budaya unggul supaya negeri ini bisa menyusul Malaysia, India, atau China.

Buku ini hebat karena sejarah pendahulunya The 7 Habits of Highly Effective People (1989) memang hebat: berstatus mega-bestseller, terjual 15 juta eksemplar dalam 15 tahun saja. Bandingkan dengan rivalnya: How To Win Friends and Influence People (Dale Carnegie, 1936) yang baru mencapainya sesudah 60 tahun. Menurut Wikipedia, cuma ada tiga buku sejenis yang mengungguli keduanya: The Power of Positive Thinking (Norman Vincent Peale, 1952), Think and Grow Rich (Napoleon Hill, 1937), dan The Greatest Salesman in the World (Og Mandino, 1974), masing-masing terjual 20 juta, 30 juta, dan 50 juta eksemplar. Semuanya kini dianggap sebagai karya klasik dalam literatur sukses.

Guru-guru sukses di atas memiliki kesamaan: sangat inspiratif, kaya ilustrasi, dan menulis penuh pathos. Mereka mengakarkan pikiran-pikirannya pada khazanah spiritual. Bedanya, empat guru lain bicara pada tingkat pribadi saja dengan resep kiat-kiat praktis, sedangkan Covey bicara juga di tingkat organisasi dengan topangan konsep-konsep yang terstruktur amat baik. Lepas dari plus minusnya, jutaan orang mengaku telah diubahkan oleh ajaran guru-guru tersebut.

Berbeda dengan The 7 Habits, narasi The 8th Habit terasa berat, monoton, dan kering. Untunglah kita terbantu dengan banyak gambar: bagan, tabel, dan diagram. Jelas, Covey mengandaikan pembacanya dari kalangan manajer dan eksekutif puncak yang berkemampuan abstraksi di atas rata-rata. Covey juga tampak meniatkan buku ini menjadi semacam ensiklopedia ajaran-ajarannya, bahkan terasakan ambisi: ia mau merangkum semua teori sukses yang pernah ada sejak era Yunani purba.

Keunikan dan kekuatan buku ini, menurut saya, terletak pada koherensi konsep-konsep pengembangan manusia, kepemimpinan, dan organisasi yang dipilih dan diletakkannya pada sebuah bingkai yang disebutnya paradigma pribadi-utuh (whole-person paradigm): jiwa, tubuh, pikiran, dan hati. Paradigma ini menjadi kerangka semua narasi Covey secara konsisten dari awal hingga akhir. Dan, Covey begitu piawai meringkas dan memvisualkan narasinya dalam berbagai bentuk geometris (semuanya 57 gambar) yang bagus-bagus.

Bagi yang berniat menjadikan buku ini sebagai panduan, saya anjurkan membaca Bab 14 dan 15 dulu, sebab keseluruhan konsep besar Covey diringkaskan di sini. Intinya, untuk membangun greatness, harus dimulai dari ranah pribadi (personal greatness) dengan menerapkan the seven habits dalam bentuk visi, disiplin, antusiasme, dan nurani. Selanjutnya, ranah kepemimpinan (leadership greatness) dengan menerapkan empat peranan kepemimpinan ala Covey: panutan dalam the seven habits, perintis jalan ke kegemilangan, penyelaras semua elemen organisasi, dan pemberdaya bagi segenap potensi warga organisasi. Terakhir, ranah organisasi (organizational greatness) dengan perumusan visi, misi, dan nilai-nilai pokok organisasi yang membuahkan kejelasan, komitmen, sinergi, pemampuan, dan akuntabilitas. Jika semua ini dijalankan simultan, janji Covey, maka terciptalah kinerja unggul secara berkelanjutan, dan di ujung sana: kejayaan dan kegemilangan.

Covey memang seorang humanis spiritual yang serba optimistis, dalam arti pemercaya penuh pada potensi nilai dan kebaikan manusia, peyakin teguh akan kebutuhan manusia yang universal, dan pejuang gagah bagi cara-cara rasional memecahkan masalah-masalah kemanusiaan. Covey melihat kondisi pengap iklim organisasi adalah sumber dari begitu negatifnya sikap, rapuhnya emosi, buruknya keterampilan, atau rendahnya motivasi manusia di ruang kerjanya yang berakibat pada buruknya kinerja dan produktivitas mereka. Itulah yang harus diperbaiki. Mulai dari para pemimpin: menata paradigma dan tujuan, merumuskan peran, relasi, dan prioritas kerja, serta mengeksekusinya tuntas dengan mengerahkan segenap bakat, talenta, dan kecerdasan. Covey percaya, jika hal-hal ini dilakukan, benih-benih keagungan manusia akan tumbuh-mekar berbuah-lebat di lahan subur organisasi. Sambil mengisahkan tapak-tapak panjang sejarah korporasi yang kelabu sejauh ini, Covey menawarkan resep memperbaiki kesalahan-kesalahan itu seraya merambah jalan baru menuju keunggulan.

Tatkala warga negeri ini masih banyak yang terjebak dalam dilema klasik kemanusiaan universal: mau bahagia tetapi gemar mengeluh; mau dipercaya tetapi tak sanggup menjaga amanah; mau berkilau tetapi tak tahan dikritik; mau terpilih tetapi emoh melayani; mau menabung tetapi gemar bergaya hidup boros; mau pintar tetapi malas belajar -- yang berdampingan rapat dengan kenyataan begitu banyaknya manusia-manusia berjiwa kerdil, berintelek kurus, bermental keropos, dan berkesadaran rendah -- maka kehadiran buku Covey ini perlu disimak serius. Yang jelas, kita semua harus menjawab panggilan Suara Agung tersebut: itulah panggilan Suara Tuhan, Suara Rakyat, dan Suara Ibu Pertiwi yang terus merintih demi kemaslahatan seluruh anak negeri. Apabila memekakkan telinga terus, kita masih akan terus terpuruk untuk jangka waktu yang masih panjang. Amit-amit deh!

*) Artikel ini dimuat di Harian KOMPAS, Rubrik Pustakaloka  Edisi Sabtu, 17 Desember 2005

8 ETOS ENTASKAN KEMISKINAN

Semua orang ingin hidup makmur, sejahtera, sudah merupakan aspirasi global dan universal. Lalu kemudian ada orang yang akhirnya hidup menderita dan miskin, itu juga fakta yang tidak bisa terbantahkan. Tetapi kewajiban untuk membebaskan diri dari kemiskinan, merupakan tanggungjawab semua orang. Karena tidak ada orang sehat yang ingin miskin. Tetapi yang harus diingat, kemiskinan itu bukanlah azab. Point utamanya adalah, apakah kemiskinan itu melemahkan atau justru menjadi daya pecut untuk maju. Demikian beberapa poin komentar yang diberikan Jansen Hulman Sinamo, Mr. Ethos Indonesia, saat dimintai keterangannya oleh tim Info Societa seputar kemiskinan dan etos. Berikut ini, hasil wawancara penulis buku best seller, 8 etos kerja.

Bagaimana pandangan Anda tentang fenomena kemiskinan di Indonesia saat ini?
Wah, saya bukan pakar kemiskinan.

Tapi mungkin Anda bisa kaitkan dengan etos kerja?
Sebenarnya etos kerja ini di drive atau dibangkitkan, betapa sesungguhnya kita sangat miskin. Jadi fakta bahwa negara kita miskin, tidak perlu didiskusikan lagi. Ada alasan kultural, alasan mentalitas. Jadi itu semua kemudian membuat kita jadi miskin. Yang saya maksud dengan alasan kultural misalnya, menurut saya kita kurang jujur untuk melihat kenyataan-kenyataan. Artinya kenyataan pahit kita bungkus dengan istilah yang bagus. Misalnya saja, keluarga miskin disebut keluarga pra sejahtera. Artinya kita tidak ingin melihat kenyataan secara apa adanya. Bahwa pemerintah ikut membangun budaya itu, ya. Tanpa sengaja, tanpa tahu. Korupsi dikatakan kesalahan prosedurlah, ada yang salah, oh, itu oknum!. Padahal, orang kalau mau keluar dari masalah, termasuk masalah kemiskinan, dia harus mengambil tanggungjawab pribadi. Ini sudah masalah mental. Kalau saya bodoh, miskin, mabuk, tidak lulus sekolah, itu saya yang harus disalahkan, itu karena saya, sayalah penanggungjawab utama. Bahwa, ada penyebab-penyebab sekunder di luar, itu betul, tetapi secara mentalitas, orang mesti kembali kepada tanggungjawab pribadi.

Pemerintah selama ini, membuat program pengentasan kemiskinan, menurut Anda bagaimana itu?
Ada baiknya itu semua, tetapi kembali lagi pada manusia itu sebagai pribadi, sebagai insan yang berdaulat, bertanggungjawab. Kalau saya jenis pribadi yang tidak bertanggungjawab atas hidup saya atas kondisi emosi saya, atas kemiskinan saya, atas kebodohan saya, dikasihpun bantuan, bukan lepas dari masalah, tetapi justru di habiskan. Jangan salah, setiap bantuan dari orang lain, sesungguhnya melemahkan diri sendir

Kalau bantuan semacam charity bagaimana?
Ya, bantuan itu seperti pedang bermata dua. Kalau saya minta bantuan orang lain, sebenarnya saya memperlemah diri saya, dengan menggunakan kekuatan orang lain. Kalau saya di bantu orang lain, kesempatan otot saya untuk mengalami aktualisasi, pengembangan menjadi terhalang. Contoh paling ektrim misalnya, mahasiswa sedang ujian. Menjelang ujian meminta bantuan kepada orang lain. Itu akan berbeda kalau dia bergulat sendiri, menemukan solusi, memecahkan masalahnya. Jadi setiap bantuan pihak luar, selalu memperlemah diri kita. Baik Nasional, Internasional, Organisasional maupun personal.

Apakah ada hubungan antara utang negara dan kemiskinan?
Ya, jelas, belum lagi efek korupsi. Artinya niat membantu, memfasilitasi, dikorupsi juga, ini menjadi tali-temali. Ada banyak teori tentang kemiskinan. Salah satunya Hernando De Sotto, yang mencuat namanya melalui bukunya “The Mystery of Capital”, Misteri Kapital. Inti dari teorinya adalah bebaskanlah aset orang miskin. Orang miskin di daerah terutama, kan memiliki tanah. Tanah ulayt itu, tanah keluarga, tetapi itu kan tidak bisa dipakai menjadi kapital ekonomi, kecuali disertifikatkan. Nah, begitu tanah rakyat disertifikatkan, maka dia menjadi bankabel, bisa diagunkan kepada bank. Bersama dengan itu, Hernando juga mengatakan bahwa pemerintah harus memperpendek jalur birokrasi. Dalam bukunya, disebutkan bahwa untuk mengeluarkan izin misalnya, di negara-negara miskin, seperti Mesir, Chile termasuk Indonesia, perlu melewati 207 meja bahkan lebih, dengan waktu hingga 2 tahun, ini kan birokrasi biaya tinggi. Jadi boleh dikatakan, ”goverment, ikut berperan dalam memiskinkan rakyat.”

Lalu dimana letak etos kerja nanti?
Etos kerja mengatakan begini, teorinya membebaskan diri, perkuat etos ekonomi.

Bisa dijelaskan etos ekonomi itu?
Ya, begini, etos ekonomi sederhananya, perilaku apa yang harus kita bangun, dikembangkan, agar kita secara ekonomi senantiasa meningkat, surplus, produktif. Nah itu erat kaitannya dengan mentalitas. Dalam hidup ini tidak boleh, pasak lebih besar dari tiang. Lebih hemat, menghargai waktu, mengutamakan kualitas, berpikir harus rasional, itu etos ekonomi. Kalau nanti sudah ada surplusnya, harus ada reinvestasi, jadi terus meningkat surplus kita, kapital kita terus meningkat.

Jadi mungkin bisa digambarkan seperti kerang yang menyimpan pasir?, Menahan perih dulu, nanti menghasilkan mutiara?
Ya, betul, nenek moyang kita kan ada ajarannya, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senag kemudian. Ini berlaku hanya jika etos ekonominya sudah terbentuk.
Sekarang apa yang harus dilakukan oleh pemerintah, untuk menumbuhkan ini, bagi fakir miskin, orang yang paling rendah pendidikannya, sikap mentalnya juga rendah?
Ya, kalau kita bicara tugas pemerintah, banyak cara yang bisa dilakukan. Intinya secara umum lewat pendidikan, baik formal maupun informal. Bagi saya, sederhananya seperti ini, untuk memahami ajaran etos ekonomi tidak memerlukan pendidikan tinggi. Dengan hemat, rajin, jangan buang-buang waktu, kalau kerja mengutamakan kualitas, bekerjasama, jangan saling iri, itu hal yang sederhana, dan itu merupakan etos ekonomi!. Menabung itu prinsip dasar. Menurut saya, bangun subuh, setiap muslim kan mestinya bangun subuh, tapi jangan sesudah subuh tidur lagi. Habis sembahyang subuh langsung bekerja, dengan penuh semangat.

Kalau buku Anda 8 etos keja itu dituangkan dalam program kerja pengetasan kemiskinan, kira-kira seperti apa bentuknya?
Buku itu,–cerita kerang itu–sebenarnya sebuah paradigma, pertama-tama saya ingin mengatakan, bahwa hidup ini sarat dengan penderitaan, itu yang pertama perlu diperhatikan. Tak ada manusia yang bebas dari penderitaan, penderitaan karena kemiskinan, penyakit, cacat, karena cekcok dalam rumah tangga, dan lainnya. Jadi para konglomerat itu, bukan berarti hidupnya bebas dari penderitaan!, tapi mungkin penderitaan dalam dimensinya yang lain, dibandingkan dengan orang miskin. Mungkin penderitaan orang kaya itu justru lebih berat, misalnya karena anak-anaknya berebut harta. Namun demikian, penderitaan pun ada hikmahnya, kalau kita bersedia menghadapi penderitaan itu dengan gagah perkasa, bersedia tegar menghadapi penderitaan itu, kalau secara metaforis, maka dia akan berubah menjadi mutiara.

Dari kurang lebih 4 juta fakir miskin Indonesia, anggaranya hanya 500 miliar pertahun, tanggapan Anda bagaimana?
Ya, menyedihkanlah. Oleh karena itu selalu ada orang di luar pemerintah yang melakukan apa yang bisa dilakukannya. Seperti saya misalnya, mencoba memberikan penguatan mentalitas, penguatan etos, memberi pencerahan agar sadar. Jadi, berapapun anggarannya akan kurang, believe me!, negara kita sudah sekaya Jepangpun, anggaran itu masih akan kurang. Yang terpenting sebenarnya, berapapun anggaran kita, bagaimana menggunakannya secara bijak. Kalau itu semua dibuat menjadi charity, pasti ada yang tertolong dengan charity, terutama yang terjepit, tapi saya sudah bilang sebelumnya, apapun bentuk charity akan membawa dampak melemahkan yang dibantu.

Seperti Bantuan Langsung Tunai itu?
Ya, kan banyak yang mengkritiknya. Tapi tidak mungkin menjadi program standard dan program wajib kan. Lagi pula, buat saya, orang yang selalu dibantu, itu dignitynya (harga diri) merosot! Maka bagi si penerima bantuanpun, harus juga memiliki kesadaran yang critical. Apakah bantuan ini memperlemah saya, menurunkan dignity saya, apakah bantuan ini membuat saya dalam posisi hamba atas diri saya. Kita akhirnya tidak lagi bisa bersifat kritis, independensi kita berkurang. Sama seperti wartawan, kalau sumber beritanya senantiasa memberi amplop, mana bisa independen!. Karena saya rasakan begitu, teman-teman pemilik media juga bergulat dalam persoalan itu. Sama halnya dengan negara, dimana independensi kita sebagai bangsa, kemudian berkurang, karena selalu menerima bantuan luar negeri.

Jadi mungkin pengalihan bantuan itu sebagai usaha produktif, bukan begitu?
Ya, mestinya begitu mempercepat produktifitas. Jadi yang harus dipastikan dulu, dia harus menjadi individu yang produktif. Jadi harus ada uji coba dahulu. Jika sudah teruji mentalitasnya dalam mendayagunakan uang seratus ribu menjadi lebih besar. Kalau sudah terbukti mentalitasnya, baru ditambah. Sehingga, prosesnya makin lama makin cepat. Penting dibedakan dengan charity murni, misalnya kita membantu orang-orang yang cacat, atau lansia, jompo, itu lain karena hal itu merupakan tugas sosial dan kewajiban mulia – Tugas Utama Departemen Sosial RI–.

Lalu apakah sudah ada formula khusus, etos untuk kaum miskin?
Mudah sekali membuatnya. Karena dari pengalamanyang sudah kami lakukan, misalnya memberikan training etos sudah ke berbagai tahap masyarakat. Baik di Karang Taruna, dosen, pegawai bank. Sebab apa, etos itu merupakan ajaran yang sangat sederhana. Apa susahnya memahami, kalau kerja itu rahmat. Maka kalau kita bekerja harus ikhlas dengan rasa tulus harus bersyukur. Untuk secanggih Presidenpun relevan dan semiskin fakir miskinpun relevan. Orang cacat, orang buta saja masih bersyukur, bagaimana kita yang masih sehat malah tidak bersyukur. Itu ajaran pertama.

Kalau kita bisa bersyukur itu saja sudah memberikan resources, mental kepada kita. Karena kita kemudian menjadi peka, melihat opportunity-opportunity, berjiwa besar, tidak mudah patah arang. Etos 8 misalnya, kita harus melayani dengan rendah hati. Kerendah-hatian itu penting. Jangan baru pegang 2-3 juta sudah sombong, bersikap melayani, siapapun teman atau klien kita atau rekan bisnis kita. Ajaran seperti ini sangat mendasar, 8 ajaran etos ini sangat dasar. Jadi kalau ditanya bisa nggak kalau kita paket menjadi pelatihan kepada orang miskin atau kepada kelompok penggerak orang miskin, akan mudah sekali membuatnya. Karena kita semua berangkat dari orang akademik, awalnya memang kita buat untuk orang level atas, tapi itu dengan mudah kita bikin modul untuk orang semiskin dan serendah apapun pendidikannya, tidak ada masalah itu.

Kalau dalam bingkai 8 etos, masuk etos berapa, tentang tanggungjawab sosial setiap individu dan perusahaan?
Secara spesifik mungkin masuk dalam etos 8, pelayanan. Tetapi sebenarnya 8 etos ini, bisa kita katakan etos sosial, karena 8 etos ini demikian mendasar. Sehingga dia kualified menjadi etos bisnis, politik, akademik, sosial, spiritual dan ekonomi. Kedudukan 8 etos ini,-Rahmat, amanah, panggilan, aktualisasi, ibadah, seni, kehormatan, pelayanan,-. Dalam analogi ilmu fisika, kedudukannya seperti sumbu X, sumbu Y dan sumbu Z, sistem koordinate, sistem standard. Pokoknya kalau kita mau memahami, ruang, garis, bidang titik, harus ada sistem koordinate, itu yang dinamakan sistem koordinat Kartesius, sumbu, X, Y dan Z. Segala sesuatu dalam ruang tiga dimensi, selalu bisa kita ungkapkan dalam sistem X, Y Z.

Analog dengan itu, 8 etos ini merupakan faktor dasar. Untuk membangun etos politik, ekonomi, sosial, bisnis, etos kepemimpinan, demikian fundamental. Saya bisa menemukan ini, lihat saja buku ini (sambil menunjuk buku-buku yang tersusun rapi di lemari) ini bukan dipajang, tapi dibaca. Jadi lahir dari analisis, perenungan dan studi.
*) Sumber: Majalah INFO SOCIETA; Edisi khusus “kemiskinan” Tahun 2006 halaman 40-42

KECERDASAN PAMUNGKAS dan KECERDASAN PARIPURNA
Oleh: Jansen H. Sinamo 


Sudah umum diterima bahwa orang yang cerdas, bangsa yang arif, lebih sukses hidupnya daripada orang yang kurang cerdik, bangsa yang kurang bijak. Maka pengembangan kepandaian dan kecendekiaan manusia telah menjadi agenda kebudayaan yang utama di sepanjang sejarah. Hal inilah yang menjadi inti pustaka yang satu ini.

Bagi pemerhati dan pengembang kecerdasan, judul dan gambar sampul buku ini segera memantik selera beli. Dengan tajuk Universal Intelligence (UI), kitab ini terasa memosisikan diri sebagai pemaripurna buku-buku lain yang bertitelkan intelligence, seperti emotional intelligence, spiritual intelligence, atau financial intelligence yang marak sedasawarsa terakhir ini. Jika tidak, sedikitnya ia menampilkan diri sebagai pamungkas teori kecerdasan berganda yang sohor diusung oleh Howard Gardner: logical-mathematical intelligence, linguistic intelligence, spatial intelligence, musical intelligence, bodily-kinesthetic intelligence, personal intelligence, dan naturalist intelligence.

Kesan itu diperkuat oleh pilihan gambar sampulnya, yaitu imaji galaksi yang sedang memoros di intinya: akbar, dahsyat, sekaligus misterius menggentarkan. Dugaan itu pas saat kita bersua dengan definisi UI di halaman 310 sebagai "kecerdasan yang memberikan pemahaman, strategi, dan solusi meluas dan universal terhadap berbagai sisi kehidupan manusia dengan segenap persamaan maupun keragaman atau perbedaan yang ada; sebagai suatu keniscayaan, sarana, dan tantangan bersama untuk saling memacu kebajikan terbaik, dengan selalu menempatkan Tuhan YME sebagai poros kehidupan". Bukankah kedahsyatan galaksi memang kena-mengena dengan kebesaran Tuhan? Dan, kalau kita sudah mampu menjadikan Tuhan sebagai poros semesta kehidupan, apa lagi yang bakal kurang?

Kedua pengarang, Ratna Sulistami D dan Erlinda Manaf Mahdi, memang tegas menyatakan bahwa dengan UI kita akan mampu menumbuhkembangkan, memberdayakan, mengaktualisasikan semua potensi, kompetensi, dan nilai-nilai luhur guna menghasilkan seluruh keunggulan kompetitif baik secara perorangan, kelompok, institusi/perusahaan, maupun lingkup yang lebih luas (hal xxvii).

Ambisi itu juga terasakan ketika mereka merumuskan Tujuh Poin Utama Universal Intelligence (hal 311-313) sebagai berikut: (1) Space and Time: Keadaan yang meninggi akan batasan ruang dan waktu; (2) Zero: Upaya memahami dan menerima kesetaraan dengan menjaga prinsip Nol, menafikan berbagai hambatan atau beban yang melingkupi keragaman atau perbedaan, guna saling memacu dan memberikan yang terbaik dalam keseimbangan dan harmoni; (3) Centering Point: Upaya memahami energi yang lembut, melampaui dan powerful melalui Fokus Transendental, guna pencerahan nurani dan memberi tuntunan arah dalam merengkuh kebermaknaan hidup; (4) Retrograde: Tindak nyata dalam gerak tangguh ke semua arah pertumbuhan, pengembangan, serta penyempurnaan; (5) Evaluation: Pemahaman dan kesadaran akan "siapa aku, keberadaanku" (melalui proses pengetahuan, introspeksi, healing, muhasabah, atau pengakuan dosa) yang mengantar seorang "abdi" pada pertanggungjawaban hidup yang lebih tinggi dan adil; (6) Climbing for Freedom: Jalan menuju kebebasan sejati (dari segala bentuk penghambaan, hambatan, dan pikiran yang melingkupi) dalam sebuah keseimbangan, harmoni, dan enersi cinta ilahiah; (7) Ultimate Personality: Fungsi keteladanan dan discipline ritual yang berlaku bagi setiap insan.

Di tengah melimpahnya buku dan semaraknya seminar tentang berbagai kecerdasan dewasa ini, buku ini tetap layak ditelaah. Walau taksonomi kecerdasan itu sendiri belum tuntas terpetakan, kitab ini jelas menambah ragam pengertian kita sehingga seandainya kelak ada panitia perumus kecerdasan yang setara dengan yang pernah dipimpin oleh Benjamin S Bloom (1956) di bidang pengetahuan, maka kita berharap lahirnya taksonomi kecerdasan manusia yang lengkap.

Sekadar mengingatkan: Taksonomi Bloom, sederhananya, mempersumbukan dua matra akal budi manusia. Para arah horizontal, sumbu X, terdapat enam kemampuan: mengingat, memahami, menerapkan, menganalis, mengevaluasi, dan mencipta. Pada arah vertikal, sumbu Y, terdapat empat kategori pengetahuan: faktual, prosedural, konseptual, dan meta-pengetahuan. Bila kedua sumbu X-Y itu disilangkan, maka kita akan memperoleh 24 kategori akal budi manusia dalam berpengetahuan. Nah, taksonomi kecerdasan yang setara atau sinambung dengan Taksonomi Bloom ini amat mendesak keperluannya agar pemahaman kita tentangnya menjadi jelas, koheren, simetris, dan komprehensif sehingga kurikulum dan program-program pengembangannya bisa dikerjakan dengan lebih baik.

Di sini pula letak kekurangannya. Bukan hanya UI, tetapi semua kitab yang bertema kecerdasan. Hingga kini semuanya masih tumpang tindih, kabur dan keruh membaur, yakni pengertian tentang hakikat kecerdasan-kecerdasan (emosional, spiritual, hati, adversitas, universal) itu sendiri: apa saja anasir khasnya, gatranya, hubungan sesamanya, parameternya, termasuk sukat-sukatnya. Karena hal-ihwal di atas belum jelas, maka penganjur kecerdasan emosional, misalnya, dengan sangat berani mengklaim bahwa 80 persen kesuksesan manusia ditentukan oleh EQ-nya. Hampir tak tersisa lagi peranan buat IQ, AQ, SQ, FQ, UQ, dan QQ lain! Artinya, ada wilayah gelap di sana. Dan perkara itu masih terbiarkan kusut tak terpilah, keruh tak tertapis, dan kacau tak tertata. Tak pelak, setiap penganjur kecerdasan tertentu amat sukar menahan diri dari godaan bermuluk klaim.

Buku ini sendiri mengidap persoalan yang mirip di sektor lain: bahasa. Terlalu banyak istilah Inggris dibiarkan bertabur acak tanpa keperluan yang jelas. Akibatnya mengganggu dan mengaburkan. Ketika banyak narasinya dibuka, dijeda, dan ditutup dengan puisi tumbuh pula tuntutan agar prosanya pun ditulis dengan bagus: bahasa Indonesia yang gurih terasa dan elok tertata.

Tiga lapis kecerdasan
Ketika konsep inteligensi saya telusuri melalui mesin Google, tersua 24 rumusan. Sesudah diolah, saya temukan tiga lapis kecerdasan.

Pertama, sebagai kemampuan akal budi kita untuk memahami informasi yang membentuk kesadaran dan pengetahuan, mulai dari tingkat yang paling sederhana sampai yang paling canggih, dari yang paling konkret sampai yang paling abstrak.

Kedua, sebagai kemampuan untuk mengumpulkan, menapis, memilah, menata, dan menyajikan informasi tersebut secara tersistem.

Ketiga, sebagai kemampuan untuk menggunakan informasi yang jernih terstruktur itu sebagai mualim bagi perasaan, navigator bagi pikiran, dan nakhoda bagi tindakan kita; baik untuk mengembangkan ragam dan mutu informasi itu sendiri, tetapi terutama dalam rangka menempuh hidup ini secara berhasil seraya memecahkan masalah-masalah kehidupan yang senantiasa muncul mengepung.

Selanjutnya, mutu kecerdasan kita—besaran inilah yang bertalian dengan predikat Q pada setiap jenis kecerdasan—ditentukan oleh ketajaman, kejernihan, dan presisinya. Ini di tingkat pertama. Di tingkat kedua, oleh kecepatan pemrosesan dan kapasitasnya, sedangkan di tingkat ketiga oleh keampuhan dan kegunaan taktis maupun strategisnya.

Dua hal ini saja sudah sangat menolong sebagai perkakas awal untuk meletakkan pengertian-pengertian pokok di seputar kecerdasan itu secara runtut dan sistematis. Jika kita nanti sudah mampu memetakan seluruh kecerdasan manusia, maka kita niscaya bisa menjelaskan perbedaan kecerdasan seorang Einstein dan Hitler, Castro dan Mendela, atau persamaan kecerdasan seorang Picasso dan Da Vinci, Pele dan Ali. Kita pun tidak akan bingung lagi melihat fakta bahwa murid yang dahulu "kurang cerdas" di sekolah ternyata sekarang tampil lebih sukses daripada teman-temannya yang "lebih cerdas". Juga, kita akan lebih tahu cara mengembangkannya.

Sebagian kecerdasan kita terwarisi secara genetis. Anugerah insani ini kita sebut sebagai bakat atau talenta. Tetapi, menurut filsuf, psikologiwan, dan pembaru pendidikan, John Dewey, bagian terbesar kecerdasan kita adalah hasil usaha. Katanya, kecerdasan bukanlah sesuatu yang kita miliki dan tak berubah selamanya, melainkan suatu proses pembentukan yang berkesinambungan, dan untuk mempertahankannya diperlukan keterjagaan budi ketika mengamati dan mengalami peristiwa-peristiwa, keterbukaan hati untuk terus belajar, serta ketangguhan dan kekenyalan mental untuk terus menyesuaikan diri. Itulah sebabnya pendidikan senantiasa sangat penting, istimewa bagi negeri kita yang bermasalah banyak ini.

*) Artikel ini dimuat di Harian KOMPAS, Rubrik Pustakaloka Edisi Senin, 29 Januari 2007

KUNCI KEGAGALAN
Oleh: Jansen H. Sinamo

Kita semua tidak ingin gagal. Kita semua menghindari kegagalan. Tetapi rupanya kegagalan sangat akrab dalam kehidupan kita. Banyak target yang tak tercapai , banyak cita-cita yang tak terealisir, dan banyak harapan tinggallah kosong.

Mengapa kita gagal dan tidak mencapai keberhasilan? Mengapa kita belum berhasil dan menemui kegagalan? Apakah kegagalan merupakan realitas wajib sehingga keberhasilan dapat kita apresiasikan? Pertanyaan-pertanyaan diatas sering menghantui kita dan memerlukan jawaban dari kita masing-masing.

Kegagalan tidak terjadi dalam semalam. Keberhasilanpun tidak dicapai dalam sehari. Kedua tesis di atas sangat sederhana tetapi juga sangat benar.

Saya teringat ucapan seorang dokter tetangga saya, ketika pulang mengantarkan tetangga kami yang kena serangan jantung ke rumah sakit gawat darurat. Dia berkata bahwa sebetulnya serangan jantung tidak datang dengan tiba-tiba, tetapi bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun penyakit jantung telah ditimbun mulai dari merokok terlalu banyak, minum kopi terlalu banyak, malas olahraga sehingga sedikit demi sedikit pembuluh darah semakin menyempit.

Akhirnya sedemikian sempitnya sehingga kegagalan jantung terjadi. Benarlah bahwa kegagalan jantung tidak terjadi dalam semalam melainkan ditumpuk bertahun-tahun, sedikit demi sedikit.

Keberhasilan pun berlangsung dengan modus yang sama, sedikit demi sedikit keberhasilan ditumpuk sedemikian rupa sehingga keberhasilan itu lama kelamaan besar. Secara teoritis jika seseorang mempelajari lima kata bahasa Inggeris perhari maka dalam setahun dia akan memiliki hampir dua ribu kosa kata dan dalam lima tahun pasti bisa menguasai sepuluh ribu kosa kata. Tetapi berapa banyakkah orang yang lulus perguruan tinggi mampu berbahasa Inggris dengan lancar? Tidak banyak. Mengapa? Karena mereka gagal menghafal lima bahasa Inggeris perhari.

Masih banyak contoh dapat kita berikan tentang kebenaran tesis bahwa keberhasilan adalah kemampuan mengambil langkah-langkah kecil untuk mencapai hasil yang besar. Dan bahwa kegagalan adalah ketidakmampuan menghindari hal-hal kecil sampai ia menumpuk sedemikian besar dan tak terhindarkan lagi konsuekuensinya.

Maka rahasia kegagalan adalah gagal mengucapkan selamat pagi, gagal mengucapkan terima kasih, gagal minta maaf, gagal mengurangi sepiring nasi dari diet harian, gagal memberi perhatian pada seorang staff, gagal mengusulkan kenaikan pangkat anak buah, gagal tersenyum, gagal bertekun setengah jam, gagal berolahraga setengah jam per hari, gagal sholat sepuluh menit per waktu, gagal membawa mobil ke bengkel untuk servis rutin, gagal menabung 5% dari penghasilan per bulan, gagal menutup mulut dari ucapan tak bermutu, dan ribuan kegagalan kecil lainnya.

Orang bijak berkata berkata bahwa hal-hal kecil memang sepele, tetapi setia pada perkara-perkara kecil adalah hal yang besar.

Dari Cendol ke Jip
Jika cendolku ini habis terjual, akan kubeli seekor induk ayam. Lalu ayamnya kupelihara. Bertelor banyak sekali. Selanjutnya aku memiliki banyak anak ayam," demikian seorang tukang cendol berangan-angan sambil setengah mengantuk. Sementara cendolnya sejak pagi belum juga laku barang segelaspun. Dia bersandar pada batang pohon yang rindang sehingga terlindung dari sengatan matahari. Dia berharap semoga ada pembeli menghampiri. Anaknya yang belum terjamah wajib sekolah, ikut menemaninya berjualan. Di balik pohon itu si anak asyik bermain jangkrik.

"Wah, kalau ayam-ayam ini kupelihara terus pastilah jadi babon semua. Kujual, lalu kubeli kambing betina sebagai gantinya," pikir tukang cendol melanjutkan angannya. Begitu asyiknya ia berkhayal, sampai setengah mengingau, sehingga memancing perhatian anaknya.

"Kambing lalu besar. Beranak pinak. Lalu menjadi besar. Kujual semua. Lantas kubeli anak kerbau. Kupelihara baik-baik, jadi besar, wah … aku ini kaya. Punya banyak kerbau, he … he … he," tukang cendol benar-benar hanyut oleh sukacita menikmati khayalnya.

"Nanti kerbaunya boleh saya naiki, ya pak? kata anaknya yang dari tadi menyaksikan bapaknya mengigau, melakonkan impiannya seolah-olah telah terjadi.

Kaget oleh interupsi ini sang bapak menghardik, "Tidak boleh. Nantinya kerbaunya jadi cebol!"

"Boleh dong pak! Masak sih kerbau jadi cebol?" rengek anaknya. Merasa terganggu, dijitaklah anaknya sampai menangis dan berlari menjauh.

Tukang cendol tak perduli dan melanjutkan khayalnya, "Kerbau-kerbauku kujual semua lalu kubeli jip: rrrrr … kuinjak gasnya … lari … oh … asyik …!" sambil mempraktekkan menekan pedal gas jip barunya.

Tapi malang, pedal jip dalam impian yang ditekan itu ternyata gentong cendol. Gentong berantakan. Cendol tumpah disertai berakhirnya mimpi di siang bolong. Dengan wajah lesu dipandangnya cendol yang berserakan di tanah. Ia tak tahu harus berbuat apa. Si anak yang sudah berhenti menangis dan berdiri agak jauh, terkejut mendengar bunyi gentong pecah. Ia tak mengerti mengapa bapaknya "ngamuk".

Sayang memang, padahal impian itu sebetulnya feasible. Namun, terlepas dari kemalangan yang menimpanya, tukang cendol tersebut telah mampu membangun dalam pikirannya suatu cara menjadi kaya. Perkara apakah jalan pikiran itu dapat direalisasikan, itu memang hal lain.

Tak kurang Johann Wolfgang Van Goethe pernah berkata, "Thinking is easy, acting is difficult, and to put one's thought into action is the most difficult thing in the world".

Hal yang tersulit ini, tak enaknya, harus mampu dilakukan oleh manajer. Manajer harus bisa "to get (planned) things done". Atau sebaliknya: ukuran kemanajeran seseorang ialah apakah ia mampu membuat ide menjadi kenyataan: dari cendol menjadi jip!

Semoga Anda para manajer, diberiNya kekuatan dan kebijaksanaan melakukan hal yang tersulit ini.

*) Dipetik dari kumpulan tulisan Mr Ethos Jansen H. Sinamo.

Indonesia Unggul, Mungkinkah?
Oleh: Jansen H. Sinamo

Suara Presiden Yudhoyono menyambut peluncuran buku Stephen Covey, The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness, Rabu (30/11) di Jakarta, menggedor kesadaran kita. Untuk keluar dari pusaran arus turbulensi nasional, menapaki tegalan berbatu-batu, lalu mendaki bukit keberhasilan nasional dimana Indonesia bakal bisa setaraf dengan Cina, Malaysia, India, atau Korea Selatan, maka bangsa kita harus menumbuhkan sebuah kultur baru: a culture of excellence di semua bidang kehidupan bangsa baik di panggung negara, pentas ekonomi, maupun arena civil society.

Sesungguhnya, suara serupa sudah lama terdengar di negeri ini setidaknya sejak 20 tahun terakhir, namun cuma melata di lorong-lorong seminar dan pelatihan SDM yang didengungkan antara lain oleh guru-guru keberhasilan anak negeri seperti Soen Siregar, Gede Prama, Rhenald Khasali, Aa Gym, Andrias Harefa, Hermawan Kartajaya, atau Ary Ginanjar. Tetapi kali ini sungguh istimewa: suara itu dikumandangkan dari podium tinggi dengan amplitodo besar oleh kepala negara Presiden Yudhoyono, mahaguru sukses internasional Stephen Covey, dan tokoh pers nasional Jakob Oetama. Maka biarlah telinga semua anak bangsa sudi mendengarnya.

Dalam ceramah selama hampir 200 menit menyusul peluncuran itu, sekitar 2.000 manajer dan eksekutif bisnis negeri ini menyimak takzim petuah Stephen Covey. Di pentas bisnis global Stephen Covey adalah nama yang amat berwibawa – mungkin setara dengan Peter Drucker di bidang manajemen – dan suaranya lebih sering terdengar bagai amar kenabian. Suara waskitanya mampu menjebol tembok kesadaran yang kapalan, mendobrak jeruji batin yang tergembok, membebaskan tenggorokan nurani yang terbekap, lalu menjawab suara otentik panggilan jiwa para pendengarnya. Kata Covey, apabila orang menemukan suaranya dengan menjawab panggilan Suara Agung di hatinya, maka itulah itulah mula keagungan. Dan itu pulalah the beginning of excellence seperti didamba Presiden Yudhoyono.

Jadi, tak ada keunggulan apabila orang pekak terhadap panggilan Suara Tuhan, Suara Rakyat, atau Suara Ibu Pertiwi. Menjadi tegas pula, pondasi segala prestasi-keunggulan-keakbaran adalah spiritualitas: nurani yang jernih, hati yang bening, dan akalbudi yang cerah. “Dan semuanya itu harus dibasiskan pada prinsip-prinsip sejati [true north principles]”, ujar Covey. Dan sayup-sayup, kita pun mendengar gema tesis Max Weber seratus tahun lalu: apabila orang bekerja berdasarkan panggilan jiwanya maka ia akan unggul melampaui yang lain. Dimampatkan, begitulah mula kisah kemajuan negara-negara di belahan Eropa Utara, dan selanjutnya Amerika Serikat, mencapai keunggulan global hingga hari ini, seperti juga disinggung Presiden Yudhoyono dalam pidatonya.

Basis Keunggulan
Diroketkan pada 1983 oleh TJ Peters dan RH Waterman melalui In Search of Excellence, tema keunggulan kemudian mengilhami dan mewarnai hampir semua literatur sukses yang ribuan jumlahnya sejak itu. Peters dan Waterman berkisah tentang pribadi-pribadi unggul yang mengawaki perusahaan-perusahaan kelas dunia seperti IBM, Boeing, dan General Electric. Antara lain ditekankan pentingnya kedekatan dengan pelanggan, jiwa kewirausahaan, produktivitas SDM, dan motivasi berbasis nilai-nilai luhur.

Sebelum The 8th Habit terbit, Jim Collins dalam Good to Great [2001] menampilkan hasil studinya tentang elemen menjadi great company: kepemimpinan yang profesional namun rendah hati, pemilihan SDM yang tepat, tegar menghadapi realita, selalu melakukan yang terbaik, membangun kultur disiplin, dan pilihan teknologi yang pas sebagai akselerator.

Masih bisa ditambahkan bahwa excellence itu digerakkan oleh visi akbar yang menggetarkan bahkan sanggup meminta pengorbanan dari segenap warganya, dipandu oleh strategi cerdas agar sumberdaya yang terbatas cukup, dimotori oleh inovasi-inovasi kreatif, dikawal oleh sikap antisipatif, dan didukung oleh karakter ketekunan.

Apapun komposisinya, akhirnya kita menyimpulkan bahwa basis keunggulan suatu produk, organisasi, bahkan sebuah bangsa, nyata-nyata dan tak bisa lain, ialah manusia unggul juga: spiritualitasnya, intelektualitasnya, dan etos kerjanya. Manusia-manusia unggul demikianlah yang menghasilkan kitab Sutasoma, novel Bumi Manusia, candi Borobudur, atau pilar Sosrobahu; dan termasuk pesawat A380, jam Rolex, teleskop Hubble, atau sepatu Nike.

Etos Keunggulan
Menilik Indonesia kini, kita pun bertanya: masih adakah energi sisa warga bangsa ini membangun budaya unggul sesudah besar-besaran terkuras oleh pungli dan korupsi, tersedot ketika memerangi penjarahan alam, tersita bagi penyelesaikan konflik-konflik SARA, terhisap saat menangkal kriminalitas dan terorisme, bocor buat mengatasi pertikaian politik, tiris guna membayar warisan hutang dari rezim-rezim sebelumnya, serta menguap tatkala mengatasi gonjang-ganjing harga berbagai komoditas pokok? Banyak yang pesimis, apatis, bahkan sinis.

Namun sejarah memberi perspektif yang menghibur: ternyata bisa! Satu contoh saja. Korea Selatan pernah luluh lantak usai Perang Dunia II, kini tampil gagah di serambi depan bangsa-bangsa maju. Apa rahasianya? Samuel Huntington dalam Culture Matters [2000] memberikan jawaban tegas: budaya! Budaya yang bertumbuh di sana ialah kerja keras, disiplin, berhemat, menabung, dan mengutamakan pendidikan. Itulah akar-akar tunggang pohon excellence yang kita cari-cari itu. Nama lainnya: etos keunggulan.

Harapan lain, modal spiritual [spiritual capital] itu sendiri ternyata menjanjikan ketidakterbatasan. Kapital rohani itu bagai lubuk energi tak berdasar. Dalam biografinya, The Long Walk To Freedom [1994] Nelson Mandela berkata, “Saya mengalami sendiri bahwa kita mampu menanggung hal-hal yang sebenarnya tak tertanggungkan jika kita dapat menjaga semangat hidup tetap tinggi meskipun tubuh kita disiksa. Keyakinan yang kuat adalah rahasia kesanggupan menanggung segala kekurangan. Semangatmu bisa penuh meskipun perutmu kosong.” Keyakinan, iman, harapan, tekad, antusiasme itulah berbagai wajah spiritualitas. Inilah the spirit of excellence.

Memang spirit itu perlu diberi darah, saraf, otot, dan daging agar menjadi tubuh, artinya menjadi budaya. Dan Presiden Yudhoyono telah menjanjikannya pula: good governance. Dialah kepala tubuh yang pernah berkata: bersama kita bisa! Kini, semboyan itu perlu ditambah bobot menjadi semacam Sumpah Palapa II: Bersama kita harus bisa unggul! Kalau sudah begitu rakyat pun niscaya ikut.

*) Artikel ini dimuat di Harian KOMPAS, Rubrik Opini Edisi Sabtu, 3 Desember 2005

CHARLO MAMORA, SANG ARSITEK TRANSFORMASI ASTRA
Oleh: Jansen H. Sinamo

GELOMBANG perubahan bergejolak yang melanda Indonesia sejak 1997 sudah menelan 4 rezim berturut-turut: Soeharto, Habibie, Gus Dur, dan Megawati. Di tingkat korporat, gelombang yang sama menggulung pula ratusan perusahaan, bank, dan grup konglomerat. Tokoh-tokoh bisnis zaman itu -– dulu wajah-wacana mereka mendominasi media massa -– kini lenyap bagaikan sekam terempas puting beliung ke rawa kumuh. Sungguh, suatu pagelaran change management yang gagal total. Sebuah tragedi nasional yang mesti jadi pelajaran berharga bagi siapa pun yang bertelinga.

Di antara sedikit grup usaha besar yang selamat, meskipun sempat babak belur, ialah PT Astra International yang didirikan William Soeryadjaya tahun 1957. Meskipun Om Willem tidak lagi di Astra saat krisis itu, tetapi generasi penerusnya, Teddy Rachmat dan Rini Soewandi, berhasil mendayung biduk Astra berselancar mengarungi badai.
Kegagalan dapat dijelaskan. Begitu pula keberhasilan. Yang terakhir ini dikisahkan Charlotte Buttler dalam Dare To Do: The Story of William Soeryadjaya and PT Astra International (2002). Buttler menutup bukunya dengan kalimat begini, “The group that William had created looked indestructible. It had not just survived, but looked set to flourish once more.” Sebelum krisis, Astra dikenal sebagai grup paling kredibel di Indonesia, dan pasca krisis, predikat itu direbutnya kembali.

Teddy Rachmat, CEO Astra 1984-2002 – diinterupsi sebentar oleh Rini Soewandi tahun 1998 – dikenal luas sebagai pemimpin terpuji yang menakhodai kapal Astra. Namun ada seorang tokoh yang nyaris tak pernah disebut media massa Indonesia di balik kelenturan Astra berselancar itu. Dialah sang arsitek transformasi Astra: Charlo Mamora.

***

SIAPAKAH Charlo Mamora? Teddy Rachmat menjulukinya “Arsitek Astra”. Rachmat -– delapan belas tahun didampingi Mamora hingga pensiun -– lebih tajam mengkristalkan peranan pria kelahiran Sibolga, Sumatera Utara, itu sebagai The Architect of Astra Human Capital Management and Management System Practices. “Dia ini mitra saya mengubah desain Astra menjadi kenyataan,” tegas Rachmat lebih lanjut.

Di banyak halaman Dare To Do, Buttler menjelaskan lebih detail peranan instrumental dan strategis yang dimainkan Mamora bersama raksasa-raksasa Astra lainya seperti Budi Setiadharma, Michael Ruslim, Rudyanto Hardjanto, Benny Subianto, Hagianto Kumala, dan lain-lain.

Sebagai eksekutif ex-IBM, Mamora begabung dengan Astra di akhir dekade 70-an. Tipikal eksekutif muda masa itu yang merasa karirnya sudah mentok di perusahaan multinasional, Mamora ikut merasa terpanggil membesarkan perusahaan lokal yang haus sumbangan profesionalisme dari putra-putri Indonesia yang beruntung mengecap kultur itu. Di barisan ini, satu dekade kemudian, Rini Soewandi, bankir ex-Citibank, juga ikut bergabung. Pasca Astra kelak, Rini bahkan melejit menjadi Menperindag dalam Kabinet Megawati.

Pada permulaan dekade 80-an, Astra bertekad menjadi perusahaan profesional. Ketika Rachmat kemudian menjadi CEO, ia segera menerapkan Total Quality Management secara besar-besaran. Bersama Mamora sistem manajemen Jepang ini mereka adaptasi menjadi Astra Total Quality Management. Program ini pun menuai sukses. Inilah permulaan era pertumbuhan cepat Astra menjadi grup usaha besar dan profesional. Fase pertumbuhan cepat ini mengalami berbagai desakan sentrifugal yang bersifat memecah. Untuk mencegahnya, dibutuhkan kekuatan penahan yaitu budaya perusahaan (corporate culture). Pada tahun 1984, Mamora -– sarjana ilmu pasti dari Sanata Dharma, Yogyakarta, yang saat itu menjabat Kepala Divisi Pengembangan SDM merangkap Kepala Divisi Pengembangan Manajemen -– diserahi tugas memimpin pengembangan dan implementasi corporate culture Astra. Inilah yang kemudian dikenal sebagai Catur Dharma Astra yaitu (1) Respek pada individu dan kerjasama; (2) Berjuang meraih keunggulan; (3) Pelayanan terbaik bagi pelanggan; dan (4) Menjadi aset bagi bangsa.

Sejak itu pula tugas Mamora bersifat sangat strategis: Mentransformasikan Astra menjadi perusahaan unggul. Misinya saat itu dikalimatkan sebagai “To bring Astra to excellence”.

Dalam kurun 1983-1987, Mamora menangani berbagai inisiatif strategis. Dalam rangka transformasi itu sejumlah sistem dan konsep dikembangkannya menjadi praktik standar di seluruh grup Astra. Bahasa manajemen Astra disatukannya. Rule of the game anggota Astra dirumuskannya. Ia juga membangun infrastruktur informasi untuk membantu para eksekutif Astra mencapai excellence. Di bawah kepemimpinan Mamora, tiga fungsi strategis dalam setiap transformasi: Pengembangan SDM, Pengembangan Manajemen, dan Sistem Informasi Manajemen dikendalikannya secara simultan. “Efek sampingnya, ada yang menuduh saya membangun kerajaan sendiri”, kenang Mamora tersenyum. Syukur, program yang dievaluasi oleh INSEAD Prancis ini dinyatakan sebagai sukses.

Tahun 1988, Mamora mencanangkan Man Management Astra sebagai fase kedua menuju excellence. Melalui pelatihan yang masif, program ini membentuk gaya manajemen Astra yang dicirikan oleh kepedulian yang seimbang pada pengembangan SDM dan kinerja bisnis. Dalam empat tahun pertama sebanyak 1.500 manajer Astra sudah mengikuti program ini. Serentak dengan itu Mamora juga terlibat dalam pengembangan Astra VSCL (Vision, Strategy, Culture, and Leadership). “Saya yakin jika kami mempunyai VSCL yang benar maka excellence akan mengikuti Astra”, tegasnya.

Fase berikutnya, Mamora menata kantor pusat Astra. Peran kantor pusat dirumuskannya sebagai fasilitator bagi anak-anak perusahaan. Untuk itu program pengembangan eksekutif diselenggarakan sekaligus mengelompokkan para eksekutif itu dalam kategori A, B, dan C. Para manajer kelas A mendapat coaching yang sistematik dari sang CEO: Teddy Rachmat sendiri.

Selanjutnya sistem manajemen informasi juga dibangun sehingga kantor pusat dapat memperoleh informasi terkonsolidasi khususnya keuangan dan SDM. Sistem ini juga memungkinkan seluruh manajer Astra dapat berkomunikasi satu sama lain di seluruh Indonesia.

Mamora yang banyak dibantu konsultan asing ini melanjutkan transformasi Astra menuju fase selanjutnya: Perusahaan kelas dunia! Memasuki paruh kedua dekade 90-an, Astra bertekad menjadi global player. “Untuk itu kompetensi SDM kelas dunia harus dibangun. SDM Astra harus berbasis pengetahuan. Kita harus bergerak ke arah human capital management. Era buruh murah sudah usai. Untuk itu kita harus didukung dengan manajemen informasi yang andal serta penguasaan teknologi yang kuat. Selain itu jaringan global harus dibentuk sehingga sumber daya global dapat kita akses. Dan kita harus beraliansi dengan pemain-pemain global lainnya”, tegas Mamora selanjutnya.

Dengan fondasi rapi berjenjang seperti di atas, tampaknya cuma langit yang menjadi batas pertumbuhan Astra saat itu. Namun krisis total 1997 membuat Astra bagai menunggangi roller coster bersama ribuan perusahaan lainnya. Tetapi Astra toh akhirnya selamat sentosa seperti digambarkan Buttler di akhir bukunya. Intinya, apa yang dibangun Mamora bersama kawan-kawannya tidaklah sia-sia. Fundasi yang bagus tetaplah modal terpenting mengarungi cobaan yang bagaimana pun beratnya. Kualitas fondasi itu merupakan faktor menentukan untuk dapat dengan cepat bangun mengkonsolidasikan diri usai turbulensi krisis.

***

TRANSFORMASI Astra sendiri butuh waktu 15 tahun dengan menghabiskan jutaan dolar untuk biaya konsultan saja. Program itu intinya (1) Proses transformasi secara berjenjang; (2) Dimulai dengan pengembangan konsep dan sistem; (3) Diikuti dengan pengembangan eksekutif; (4) Diteruskan dengan formulasi visi-strategi-nilai; (5) Dilanjutkan dengan mobilisasi organisasi secara heuristik.

Apakah proses transformasi serupa dapat diulangi lebih efektif dan efisien? Mamora menjawab ya dengan mantap. Belajar dari pengalaman Astra, langkahnya dimodifikasi menjadi (1) Adakan mobilisasi organisasi secara top-down dengan panduan visi yang berwibawa; (2) Selenggarakan retret eksekutif puncak untuk merumuskan dan mendalami visi-strategi-nilai; (3) Jalankan transformasi dengan Tripple-W: Winning Concept, Winning Systems & Culture, Winning Team. Dengan itu Mamora yakin waktunya pun bisa diringkas menjadi sekitar 5 tahun saja.

Apakah negeri ini juga dapat ditransformasikan menjadi Indonesia Baru dalam tempo 5 tahun? Charlo Mamora, sang arsitek transformasi Astra, tertawa sambil menerawang.

8 ETOS PENDONGKRAK GAIRAH KERJA! [JANGAN CUMA "5-NG"]

Hidup hanya menyediakan dua pilihan: mencintai pekerjaan atau mengeluh setiap hari. Jika tidak bisa mencintai pekerjaan, maka kita hanya akan memperoleh “5-ng”: ngeluh, ngedumel, ngegosip, ngomel, dan ngeyel.

Punya masalah dengan semangat kerja? Jangan gundah gulana, Anda tidak sendirian. Banyak orang lain yang punya problem serupa. Namun, bukan tidak ada solusinya!

Hampir semua orang pernah mengalami gairah kerjanya melorot. “Itu lumrah,” kata Jansen Sinamo, ahli pengembangan sumber daya manusia dari Institut Darma Mahardika, Jakarta. Meski lumrah, “impotensi” kerja harus diobati.

Cara terbaik untuk mengatasinya, menurut Jansen, dengan langsung membenahi pangkal masalahnya, yaitu motivasi kerja. Itulah akar yang membentuk etos kerja. Secara sistematis, Jansen memetakan motivasi kerja dalam konsep yang ia sebut sebagai “Delapan Etos Kerja Profesional”. Sejak 1999, ia aktif mengampanyekan gagasan itu lewat berbagai pelatihan yang ia lakukan.

Etos pertama: kerja adalah rahmat.
Apa pun pekerjaan kita, entah pengusaha, pegawai kantor, sampai buruh kasar sekalipun, adalah rahmat dari Tuhan. Anugerah itu kita terima tanpa syarat, seperti halnya menghirup oksigen dan udara tanpa biaya sepeser pun.

Bakat dan kecerdasan yang memungkinkan kita bekerja adalah anugerah. Dengan bekerja, setiap tanggal muda kita menerima gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan bekerja kita punya banyak teman dan kenalan, punya kesempatan untuk menambah ilmu dan wawasan, dan masih banyak lagi. Semua itu anugerah yang patut disyukuri. Sungguh kelewatan jika kita merespons semua nikmat itu dengan bekerja ogah-ogahan.

Etos kedua: kerja adalah amanah.
Apa pun pekerjaan kita, pramuniaga, pegawai negeri, atau anggota DPR, semua adalah amanah. Pramuniaga mendapatkan amanah dari pemilik toko. Pegawai negeri menerima amanah dari negara. Anggota DPR menerima amanah dari rakyat. Etos ini membuat kita bisa bekerja sepenuh hati dan menjauhi tindakan tercela, misalnya korupsi dalam berbagai bentuknya.

Etos ketiga: kerja adalah panggilan.
Apa pun profesi kita, perawat, guru, penulis, semua adalah darma. Seperti darma Yudistira untuk membela kaum Pandawa. Seorang perawat memanggul darma untuk membantu orang sakit. Seorang guru memikul darma untuk menyebarkan ilmu kepada para muridnya. Seorang penulis menyandang darma untuk menyebarkan informasi tentang kebenaran kepada masyarakat. Jika pekerjaan atau profesi disadari sebagai panggilan, kita bisa berucap pada diri sendiri, “I’m doing my best!” Dengan begitu kita tidak akan merasa puas jika hasil karya kita kurang baik mutunya.

Etos keempat: kerja adalah aktualisasi.
Apa pun pekerjaan kita, eutah dokter, akuntan, ahli hukum, semuanya bentuk aktualisasi diri. Meski kadang membuat kita lelah, bekerja tetap merupakan cara terbaik untuk mengembangkan potensi diri dan membuat kita merasa “ada”. Bagaimanapun sibuk bekerja jauh lebih menyenangkan daripada duduk bengong tanpa pekenjaan.

Secara alami, aktualisasi diri itu bagian dari kebutuhan psikososial manusia. Dengan bekerja, misalnya, seseorang bisa berjabat tangan dengan rasa pede ketika berjumpa koleganya. “Perkenalkan, nama saya Miftah, dari Bank Kemilau.” Keren ‘kan?

Etos kelima: kerja itu ibadah.
Tak peduli apa pun agama atau kepercayaan kita, semua pekerjaan yang halal merupakan ibadah. Kesadaran ini pada gilirannya akan membuat kita bisa bekerja secara ikhlas, bukan demi mencari uang atau jabatan semata. Jansen mengutip sebuah kisah zaman Yunani kuno seperti ini:

Seorang pemahat tiang menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mengukir sebuah puncak tiang yang tinggi. Saking tingginya, ukiran itu tak dapat dilihat langsung oleh orang yang berdiri di samping tiang. Orang-orang pun bertanya, buat apa bersusah payah membuat ukiran indah di tempat yang tak terlihat? Ia menjawab, “Manusia memang tak bisa menikmatmnya. Tapi Tuhan bisa melihatnya.” Motivasi kerjanya telah berubah menjadi motivasi transendental.

Etos keenam: kerja adalah seni.
Apa pun pekerjaan kita, bahkan seorang peneliti pun, semua adalah seni. Kesadaran ini akan membuat kita bekerja dengan enjoy seperti halnya melakukan hobi. Jansen mencontohkan Edward V Appleton, seorang fisikawan peraih nobel. Dia mengaku, rahasia keberhasilannya meraih penghargaan sains paling begengsi itu adalah karena dia bisa menikmati pekerjaannya.

“Antusiasmelah yang membuat saya mampu bekerja berbulan-bulan di laboratorium yang sepi,” katanya. Jadi, sekali lagi, semua kerja adalah seni. Bahkan ilmuwan seserius Einstein pun menyebut rumus-rumus fisika yang njelimet itu dengan kata sifat beautiful.

Etos ketujuh: kerja adalah kehormatan.
Seremeh apa pun pekerjaan kita, itu adalah sebuah kehormatan. Jika bisa menjaga kehormatan dengan baik, maka kehormatan lain yang lebih besar akan datang kepada kita.

Jansen mengambil contoh etos kerja Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan Indonesia kawakan ini tetap bekerja (menulis), meskipun ia dikucilkan di Pulau Buru yang serba terbatas. Baginya, menulis merupakan sebuah kehormatan. Hasilnya, kita sudah mafhum. Semua novelnya menjadi karya sastra kelas dunia.

Etos kedelapan: kerja adalah pelayanan.
Apa pun pekerjaan kita, pedagang, polisi, bahkan penjaga mercu suar, semuanya bisa dimaknai sebagai pengabdian kepada sesama.

Pada pertengahan abad ke-20 di Prancis, hidup seorang lelaki tua sebatang kara karena ditinggal mati oleh istri dan anaknya. Bagi kebanyakan orang, kehidupan seperti yang ia alami mungkin hanya berarti menunggu kematian. Namun bagi dia, tidak. Ia pergi ke lembah Cavennen, sebuah daerah yang sepi. Sambil menggembalakan domba, ia memunguti biji oak, lalu menanamnya di sepanjang lembah itu. Tak ada yang membayarnya. Tak ada yang memujinya. Ketika meninggal dalam usia 89 tahun, ia telah meninggalkan sebuah warisan luar biasa, hutan sepanjang 11 km! Sungai-sungai mengalir lagi. Tanah yang semula tandus menjadi subur. Semua itu dinikmati oleh orang yang sama sekali tidak ia kenal.

Di Indonesia semangat kerja serupa bisa kita jumpai pada Mak Eroh yang membelah bukit untuk mengalirkan air ke sawah-sawah di desanya di Tasikmalaya, Jawa Barat. Juga pada diri almarhum Munir, aktivis Kontras yang giat membela kepentingan orang-orang yang teraniaya.

“Manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan dilengkapi keinginan untuk berbuat baik,” kata Jansen. Dalam bukunya Ethos21, ia menyebut dengan istilah rahmatan lii alamin (rahmat bagi sesama).

Pilih cinta atau kecewa
* Menurut Jansen, kedelapan etos kerja yang ia gagas itu bersumber pada kecerdasan emosional spiritual. Ia menjamin, semua konsep etos itu bisa diterapkan di semua pekerjaan.

“Asalkan pekerjaan yang halal,” katanya. “Umumnya, orang bekerja itu ‘kan hanya untuk nyari gaji. Padahal pekerjaan itu punya banyak sisi,” katanya.

Kerja bukan hanya untuk mencari makan, tetapi juga mencari makna. Rata-rata kita menghabiskan waktu 30 - 40 tahun untuk bekerja. Setelah itu pensiun, lalu manula, dan pulang ke haribaan Tuhan. “Manusia itu makhluk pencari makna. Kita harus berpikir, untuk apa menghabiskan waktu 40 tahun bekerja. Itu ‘kan waktu yang sangat lama,” tambahnya.

Ada dua aturan sederhana supaya kita bisa antusias pada pekerjaan. Pertama, mencari pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakat. Dengan begitu, bekerja akan terasa sebagai kegiatan yang menyenangkan.

Jika aturan pertama tidak bisa kita dapatkan, gunakan aturan kedua: kita harus belajar mencintai pekerjaan. Kadang kita belum bisa mencintai pekerjaan karena belum mendalaminya dengan benar. “Kita harus belajar mencintai yang kita punyai dengan segala kekurangannya,” kata sarjana Fisika ITB yang lebih suka dengan dunia pelatihan sumber daya manusia ini.

Hidup hanya menyediakan dua pilihan: mencintai pekerjaan atau mengeluh setiap hari. Jika tidak bisa mencintai pekerjaan, maka kita hanya akan memperoleh “5-ng”: ngeluh, ngedumel, ngegosip, ngomel, dan ngeyel. Jansen mengutip filsuf Jerman, Johann Wolfgang von Goethe, “It’s not doing the thing we like, but liking the thing we have to do that makes life happy.”

“Dalam hidup, kadang kita memang harus melakukan banyak hal yang tidak kita sukai. Tapi kita tidak punya pilihan lain. Tidak mungkin kita mau enaknya saja. Kalau suka makan ikan, kita harus mau ketemu duri,” ujar pria yang kerap disebut sebagai Guru Etos ini.

Dalam dunia kerja, duri bisa tampil dalam berbagai macam bentuk. Gaji yang kecil, teman kerja yang tidak menyenangkan, atasan yang kurang empatik, dan masih banyak lagi. Namun, justru dari sini kita akan ditempa untuk menjadi lebih berdaya tahan.

Bukan gila kerja
* Dalam urusan etos kerja, bangsa Indonesia sejak dulu dikenal memiliki etos kerja yang kurang baik.

Di jaman kolonial, orang-orang Belanda sampai menyebut kita dengan sebutan yang mengejek, in lander pemalas. Ini berbeda dengan, misalnya, etos Samurai yang dimiliki bangsa Jepang. Mereka terkenal sebagai bangsa pekerja keras dan ulet.

Namun, Jansen menegaskan, pekerja keras sama sekali berbeda dengan workaholic. Pekerja keras bisa membatasi diri, dan tahu kapan saatnya menyediakan waktu untuk urusan di luar kerja. Sementara seorang workaholic tidak. Dalam pandangan Jansen, kondisi kerja yang menyenangkan adalah kerja bareng semua pihak. Bukan hanya bawahan, tapi juga atasan.

Sering seorang atasan mengharapkan bawahannya bekerja keras, sementara ia sendiri secara tidak sengaja melakukan sesuatu yang melunturkan semangat kerja bawahan. Jansen memberi contoh, atasan yang mengritik melulu jika bawahan berbuat keliru, tapi tak pernah memujinya jika ia menunjukkan prestasi.

Secara manusiawi hal itu akan menyebabkan bawahan kehilangan semangat bekerja. Buat apa bekerja keras, toh hasil kerjanya tak akan dihargai. Ingat, pada dasarnya manusia menyukai reward.

Konosuke Matsushita, pendiri perusahaan Matsushita Electric Industrial (MET) punya teladan yang bagus. Pada zaman resesi dunia tahun 1929-an, pertumbuhan ekonomi Jepang anjiok tajam. Banyak perusahaan mem-PHK karyawan. MEI pun terpaksa memangkas produksi hingga separuhnya. Namun, Matsushita menjamin tak ada satu karyawan pun yang bakal terkena PHK.

Sebagai gantinya, ia mengajak semua karyawan bekerja keras. Karyawan-karyawan bagian produksi dilatih untuk menjual. Hasilnya benar-benar ruarrr biasa. Mereka bisa berubah menjadi tenaga marketing andal, yang membuat Matsushita menjadi salah satu perusahaan terkuat di Jepang.

PESTA KONGLOMERAT
Oleh: Jansen H. Sinamo 
Seorang konglomerat tua mengadakan pesta merayakan puncak keberhasilannya di usianya yang genap tujuh puluh tahun. Ia mengundang sejumlah besar orang muda yang berprestasi di bidang masing-masing. Pesta itu dipusatkan di sekeliling kolam pada sebuah klub eksekutif mewah.
Pesta dibuka dengan pidato sang jubilaris, “Saudara-saudara, selamat datang dan selamat malam. Saya mengundang Anda, orang-orang muda berprestasi dari seluruh negeri, untuk berbagi kebahagiaan. Sebagai permulaan, saya mau mengadakan lomba dengan tiga pilihan hadiah. Pilihan pertama, uang tunai US$ 1 juta. Pilihan kedua, mewarisi 25% kekayaan saya bila meninggal dunia kelak. Pilihan ketiga, menikah dengan puteri tunggal saya dan dengan demikian menjadi pewaris seluruh kekayaan saya.”
Hadirin menahan nafas. Lalu tuan rumah melanjutkan, “Perlombaannya adalah pemilihan orang muda yang paling cepat berenang menyebrangi kolam ini segera setelah pidato saya ini selesai. Hanya Anda perlu tahu bahwa di kolam ini ada 100 ekor buaya yang belum diberi makan seminggu terakhir.”
Baru saja pidato konglomerat itu selesai, terdengar suara tubuh yang jatuh ke kolam, air bercipratan akibat gaya renangnya yang luar biasa. Hadirin dicengkeram kengerian, tetapi kemudian lega karena mereka tahu dialah yang akan menerima hadiah.
Tak lama, sampailah pemuda pemberani itu ke tepi kolam. Sang konglomerat menyambutnya dengan penuh kekaguman.
“Selamat anak muda, selamat, selamat! Anda telah menunjukkan keberanian yang luar biasa. Apakah Anda menginginkan satu juta dolar tunai?”
Sambil menggigil pemuda itu menggeleng.
“Oke, apakah Anda menginginkan 25 % dari kekayaan saya?”.
“Tidak!”
“Oh, kalau begitu, tentu Anda berjodoh menjadi menantu saya?”
“Tidak!!” seru pemuda itu marah. “Saya mau tahu siapa yang berani kurang ajar mendorong saya jatuh ke kolam?”
Mengapa si pemuda bersikap demikian? Marilah kita diskusikan bersama rumput yang bergoyang.

Keberanian Modal Awal Dalam Memulai Bisnis

Oleh : Deryandri

Keberanian adalah modal awal dalam memulai bisnis, tanpa keberanian kita tidak akan pernah bisa memulai bisnis, akan selalu dibayang – bayangi oleh perasaan takut rugi. Kesuksesan selalu dicapai dengan sebuah proses setelah melewati berbagai hambatan, jadi jangan takut gagal, karena kegagalan juga sebuah proses pembelajaran, setiap kita melalui suatu proses pebelajaran maka tentu kemampua kita juga akan semakin meningkat, sense of business kita juga meningkat sehingga kemampuan kita dalam menilai dan memilih bisnis semakin tepat. Sebenarnya kata gagal hanyalah milik orang yang berhenti mencoba, berhenti berinovasi, berhenti berbuat.

Selain Keberanian sebagai modal awal dalam memulai bisnis juga hal yang sangat penting adalah selalu berfikir positif, selalu optimis bahwa kita akan berhasil. Berfikir postif dan optimis dapat kita capai dengan selalu berinteraksi dengan orang –orang yang bermental positif dan optimis dalam melakukan banyak hal, bergaullah dengan komunitas yang sama visinya dengan kita karena energinya akan ikut mengalir kepada kita.

Keberainian dalam memulai bisnis juga dipengaruhi oleh keyakinan kita terhadap usaha yang kita jalani, tentu itu ada hubungannya dengan ilmu kita, pengetahuan kita terhadap usaha yang akan kita jalankan, oleh karena itu kita harus selalu menambah ilmu kita tentang bisnis, kita harus pelajari bagaimana entrepreneur – entrepreneur sukses dalam menjalankan bisnisnya. Seorang entrepreneur  yang sukses biasanya kreatif dalam mengelola bisnisnya sehingga selalu mampu memenangkan persaingan.

Tentang Purdi E Chandra

Lewat Bimbingan Belajar Primagama, Purdi berhasil menjadi pengusaha sukses. Untuk meraih impiannya Purdi berhenti kuliah. Akhirnya ia berhasil juga mendapatkan gelar dari lembaga pendidikan yang dibentuknya sendiri.

Sosok Purdi E Chandra kini dikenal sebagai pengusaha yang sukses. Lembaga Bimbingan Belajar (Bimbel) Primagama yang didirikannya bahkan masuk ke Museum Rekor Indonesia (MURI) lantaran memiliki 181 cabang di 96 kota besar di Indonesia dengan 100 ribu siswa tiap tahun. Apa resep suksesnya sehingga Primagama kini menjadi sebuah holding company yang membawahi lebih dari 20 anak perusahaan?

Lego Motor, Berhenti Kuliah
Bukan suatu kebetulan jika pengusaha sukses identik dengan kenekatan mereka untuk berhenti sekolah atau kuliah. Seorang pengusaha sukses tidak ditentukan gelar sama sekali. Inilah yang dipercaya Purdi ketika baru membangun usahanya.

Kuliah di 4 jurusan yang berbeda, Psikologi, Elektro, Sastra Inggris dan Farmasi di Universitas Gajah Mada (UGM) dan IKIP Yogya membuktikan kecemerlangan otak Purdi. Hanya saja ia merasa tidak mendapatkan apa-apa dengan pola kuliah yang menurutnya membosankan. Ia yakin, gagal meraih gelar sarjana bukan berarti gagal meraih cita-cita. Purdi muda yang penuh cita -cita dan idealisme ini pun nekad meninggalkan bangku kuliah dan mulai serius untuk berbisnis.

Sejak saat itu pria kelahiran Punggur, Lampung Tengah ini mulai menajamkan intuisi bisnisnya. Dia melihat tingginya antusiasme siswa SMA yang ingin masuk perguruan tinggi negeri yang punya nama, seperti UGM.

Bagaimana jika mereka dibantu untuk memecahkan soal-soal ujian masuk perguruan tinggi, pikirnya waktu itu. Purdi lalu mendapatkan ide untuk mendirikan bimbingan belajar yang diberi nama, Primagama.

Saya mulai usaha sejak tahun 1982. Mungkin karena nggak selesai kuliah itu yang memotivasi saya menjadi pengusaha, kisah Purdi. Lalu, dengan modal hasil melego motornya seharga 300 ribu rupiah, ia mendirikan Bimbel Primagama dengan menyewa tempat kecil dan disekat menjadi dua. Muridnya hanya 2 orang. Itu pun tetangga. Biaya les cuma 50 ribu untuk dua bulan. Kalau tidak ada les maka uangnya bisa dikembalikan.

Segala upaya dilakukan Purdi untuk membangun usahanya. Dua tahu setelah itu nama Primagama mulai dikenal. Muridnya bertambah banyak. Setelah sukses, banyak yang meniru nama Primagama. Purdi pun berinovasi untuk meningkatkan mutu lembaga pendidikannya ini.

Sebenarnya yang bikin Primagama maju itu setelah ada program jaminan diri, ungkapnya soal rahasia sukses mengembangkan Bimbel Primagama. Kalau ikut Primagama pasti diterima di Universitas Negeri. Kalau nggak uang kembali. Nah, supaya diterima murid-murid yang pinter kita angkat jadi pengajar. Karena yang ngebimbing pinter, ya 90% bisa lulus ujian masuk perguruan tinggi negeri, lanjutnya.

Mengembangkan Sistem Waralaba

Karena reputasinya Bimbel Primagama makin dikenal di Kota Pelajar, Yogya. Purdi tak cepat berpuas diri. Ia ingin mengembangkan cabang Primagama di kota lain. Mulailah cabang-cabang Primagama bermunculan di Bandung, Jakarta dan kota besar lain di Indonesia.

Purdi juga berinovasi mengembangkan sistem franchise atau waralaba (pemberian hak pada seseorang dalam penggunaan merek untuk menjalankan usaha dalam kurun waktu tertentu). Di Pekanbaru, Sampit ( Kalimantan Tengah) dan Tangerang telah dibuka cabang dengan sistem ini. Menurutnya sistem ini sangat tepat untuk dikembangkan sebab usaha bisa berkembang tanpa harus menyiapkan dana sendiri.

Sistem ini lebih menguntungkan untuk mengembangkan usaha kita daripada cara yang lainnya. Selain tak perlu merogoh kocek untuk investasi lagi ternyata keuntungan sebagai pemilik merek cukup besar. Yang jelas orang lain membayar merek dan royalti tiap bulannya pada kita, jelas ayah dari Fesha dan Zidan ini.

Purdi yakin merek lokal bisa berkembang dengan sistem ini dan bukan terbatas pada produk makanan saja. Jika merek lokal bisa masuk bisnis waralaba bukan tidak mungkin akan menjadi produk ini bisa jadi produk global seperti McDonald. Namun ia menyayangkan di Indonesia belum ada lembaga yang menyiapkan sistem waralaba mulai dari persiapan awal hingga jadi.

Pengusaha Yang Berani
Keberanian adalah salah modal wirausaha. Purdi menyatakan seorang wirausaha harus berani mimpi, berani mencoba, berani merantau, berani gagal dan berani sukses. Lima hal ini adalah hasil dari pengalamannya selama ini.

Sejak dini Purdi sudah dididik berjiwa usaha. Di bangku SMP ia sudah beternak ayam dan bebek, kemudian menjual telurnya ke pasar. Purdi bermimpi kelak ia akan menjadi pengusaha sukses.

Berani mimpi menurut Purdi adalah cetak biru dari sebuah visi ke depan seorang wirausaha. Mimpi itu akan mensugesti seseorang untuk berhasil dan mengerahkan semua kemampuannya untuk mencapai visinya. Mimpi ini pula akan memotivasi bawahannya dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih dinamis.

Orang yang memiliki mimpi besar dicontohkan Purdi adalah Bill Gates yang bermimpi kelak di semua rumah di dunia akan memiliki computer. Atau juga Michael Dell yang bermimpi mengalahkan perusahaan komputer raksasa IBM. Mereka ini menurut Purdi orang yang yakin mimpinya akan jadi kenyataan dengan kerja keras.

Orang itu tidak pernah gagal, hanya saja dia berhenti mencoba, tukas pria yang mendapatkan gelar dari lembaga pendidikan yang dibentuknya sendiri. Purdi mengingatkan jika seorang ingin berhasil dalam bisnis harus berani mencoba. Situasi sulit justru membuat seorang wirausaha semakin tertantang.

Soal merantau, Purdi muda sudah berani meninggalkan kota kelahirannya dan mencoba mandiri dengan bersekolah di salah satu SMA di Yogyakarta. Ibunya, Siti Wasingah dan ayahnya, Mujiyono, merestui keinginan kuat anaknya untuk mandiri. Dengan merantau Purdi merasa tidak tergantung dan bisa melihat berbagai kelemahan yang dia miliki. Pelan-pelan berbagai kelemahan itu diperbaiki oleh Purdi. Hasilnya, Ia mengaku semakin percaya diri dan tahan banting dalam setiap langkah dalam bisnisnya.

Gagal dan berhasil ada dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Namun, bagaimana menyikapi sebuah kegagalan itu yang penting. Baginya, pengalaman gagal dapat dipergunakan untuk menemukan kekuatan baru agar bisa meraih kesuksesan kembali.

Mungkin saja kegagalan itu datang untuk memuliakan hati kita, membersihkan pikiran kita, memperluas wawasan kita, membersihkan pikiran kita dari keangkuhan dan kepicikan, serta untuk lebih mendekatkan diri kita pada Tuhan, kata pria yang mengaku pernah 10 kali gagal saat membuat restoran Padang.

BODOL, BOTOL dan BOBOL
Purdi mengaku punya resep manjur bagi yang ingin berwirausaha, yaitu BODOL, BOTOL dan BOBOL. Mungkin masih kedengaran aneh di telinga, namun ia meyakinkan bahwa resep ini berguna bagi yang merasa ragu-ragu dan terlalu banyak perhitungan dalam berusaha yang malah menghambat rencana mereka untuk berwirausaha.

Jika orang bingung ketika memulai bisnis karena tak punya modal, menurut Purdi gunakan saja resep BODOL yaitu Berani, Optimis, Duit, Orang Lain. Dalam bisnis diperlukan keberanian dan rasa optimis. Jika tidak punya uang tidak ada salahnya pinjam duit orang lain. Pasti ada orang yang mau membiayai bisnis yang akan kita jalankan jika memang prospektif.

Kalau kita punya duit dan modal tapi tidak ahli di bidang bisnis, gunakan jurus BOTOL, tukas Purdi. Berani, Optimis, Tenaga, Orang Lain. Jika kita punya modal, kenapa tidak kita serahkan pada yang ahli di bidangnya sehingga bisnis tetap berjalan. Pendeknya kita tak harus menggunakan tenaga sendiri untuk menjalankan bisnis.

Resep terakhir adalah jurus BOBOL. yaitu Berani, Optimis, Bisnis, Orang, Lain. Ini dikeluarkan jika ide bisnis pun tak ada maka kita bisa meniru bisnis orang lain tambah Purdi. Ibaratnya, bisnis adalah seperti masuk ke kamar mandi yaitu dengan tidak banyak berpikir. Jika di kamar mandi airnya kurang hangat, semua bisa diatur hingga sesuai dengan keinginan kita.

Enterpreuner University, Kuliah Tanpa Gelar
Semua orang bisa jadi wirausahawan, ucap suami Triningsih Kusuma Astuti ini yakin. Memang yang paling baik ditanamkan pendidikan enterpreuner ini sejak kanak-kanak di dalam keluarga. Sebab, anak akan merekan semuanya dalam memorinya dan selanjutnya akan menjadi pola pikir dan cara perilaku anak di masa depannya. “Namun, itu bukanlah hal-hal penentu keberhasilan. Begitu pula dengan faktor usia, kaya-miskin, jenius atau tidak, juga gelar formal, kata pria yang juga menjadi dosen tamu di beberapa universitas ini.

Untuk menjadi pengusaha tak perlu pintar dan memiliki embel-embel gelar. Sebab jika terlalu pintar justru malah akan berhitung dan melihat banyak resiko yang harus dihadapi sehingga nyalinya malah ciut. Bayangkan anda kuliah Magister Manajemen (MM) di UI anda harus bayar 50 juta. Selesai kuliah mungkin anda merasa tidak punya uang, katanya lagi.

Keprihatinannya terhadap iklim bisnis di Indonesia menyebabkan Purdi harus melakukan sesuatu. Tampilah ia sebagai bagian dari politisi yang manggung di Senayan sampai tahun ini. Keinginannya adalah merubah pola pendidikan saat ini yang berorientasi menjadi pekerja bukan pengusaha. Seharusnya, menurut pria yang pernah menjadi ketua Himpunan Penguasaha Muda Indonesia (HIPMI) cabang Yogya ini, ada alternatif lain dalam sistem pendidikan kita. Paling tidak anak-anak diajarkan untuk berwira usaha. Sayangnya idenya tidak mendapat tanggapan.

Saya merasa adanya universitas untuk mencetak pengusaha baru itu penting. Kalau perlu universitas ini tidak perlu menggunakan aturan formal, tanpa status,tanpa akreditasi, tanpa dosen, tanpa ijazah dan tanpa gelar. Wisudanya pun dilakukan saat mahasiswa benar-benar membuka usaha, ujar pria yang menerima Enterprise 50 dari Anderson Consulting dan Majalah Swa ini serius.

Idenya ini diwujudkan dengan membentuk Enterpreuner University (EU). Dengan dibimbing langsung oleh Purdi, EU kini telah memiliki 37 angkatan. Di sana tak ada nilai, ijazah maupun gelar. Menurut Purdi masyarakatlah yang berhak menilai pengusaha itu memiliki kredibilitas atau tidak, sukses atau tidak. Hal ini berbeda dengan pendidikan yang memberlakukan ujian tapi tidak membolehkan siswanya mencontek.

Dalam dunia riil bisnis, yang namanya bertanya sah-sah saja. Menyontek usaha orang lain juga boleh saja. Meniru kiat sukses pengusaha lain juga silahkan. Nggak ada yang melarang, Purdi beralasan.

Di EU yang hanya memakan waktu 6 bulan dan kuliah seminggu 2 kali ini, Purdi mengkonsentrasikan pendidikannya pada pengembangan kecerdasan emosional, spiritual, mempertajam kreativitas dan intuisi bisnis mahasiswanya. Materinya pun seputar nilai-nilai kewirausahaan seperti pantang menyerah, kreatif dan inovatif, semangat tinggi, berani dan jeli melihat peluang usaha. Purdi yakin kelak EU akan mencetak pengusaha-pengusaha baru yang akan menggiatkan iklim investasi di Indonesia.

Make a Free Website with Yola.