INAICTA
2009: Anak Bangsa Mampu Berkarya
Indonesia ICT Award 2009 akhirnya mencapai puncaknya
pada 28-29 Juli lalu. Dalam penjurian tahap terakhir, terpilih 70 karya
dari 14 kategori—yang terbagi untuk umum, profesional, dan
pelajar—sebagai nominatornya. Rabu (29/7) malam, di Jakarta Convention
Center, para peserta yang keluar sebagai jawara diumumkan.
Sejak
diluncurkan pada 20 Februari 2009, tercatat 700 lebih peserta yang
mendaftarkan diri di ajang kompetisi teknologi ini. Masing-masing
menampilkan hasil karya kreatif dan inovatif. Para peserta INAICTA tahun
ini harus melewati beberapa tahap penjurian yang cukup ketat, termasuk
mempresentasikan dan mendemokan karya mereka di hadapan para juri, yang
terdiri dari para praktisi, akademisi, animator, serta wakil dari
industri TIK di Tanah Air.
TIK dan Kreativitas
Mengangkat
tema "Digital Creative for Nation Building", INAICTA yang keempat ini
bertujuan untuk meningkatkan kreativitas para profesional di bidang TIK
(teknologi informasi dan telekomunikasi). Ajang ini pun sengaja digelar
untuk mempersiapkan para pelaku TIK lokal untuk mampu berkompetisi di
kancah global.
Beberapa pemenang yang terpilih akan
diikutsertakan dalam ajang Asia Pacific ICT Award (APICTA) 2009. Menurut
Menteri Komunikasi dan Infomatika Mohammad Nuh, INAICTA 2009 bisa
dianggap sebagai "pemanasan" bagi para peserta sebelum mereka mengikuti
kompetisi yang lebih besar tersebut.
Menkominfo juga menilai
bahwa INAICTA tidak bisa dilepaskan dari industri kreatif, yang akan
berguna untuk membangun ekonomi kreatif. “Ada 3T yang dapat dikembangkan
untuk mendukung cara pikir kreatif,” kata Nuh saat memberikan sambutan
di JCC, Selasa (28/7). Ketiga “T” itu, kata dia, adalah talent,
technology, dan tolerance.
Talent
atau bakat yang dimiliki sejak lahir diperlukan oleh seseorang sebagai
modal berkreasi. Technology dapat membantu memperluas batas
kemampuan seseorang sehingga dapat mengubah sesuatu yang tidak mungkin
menjadi mungkin. Sementara tolerance diperlukan agar seseorang
berani untuk melakukan perubahan. Dunia pendidikan dan kompetisi
teknologi seperti INAICTA ini, menurut dia, dibutuhkan untuk menemukan
talenta-talenta baru di bidang teknologi.
Sejatinya, menurut Nuh,
industri TIK terdiri dari tiga layer. Layer pertama berisi orang-orang
bijak, senior, dan berpengalaman. Layer kedua diisi oleh para kreator
dan desainer, yang rata-rata berusia 30-40 tahun. Sementara layer ketiga
berisi para implementator yang berusia 20 tahunan.
Kesempatan
Jadi Entrepreneur
Ada yang baru dalam INAICTA 2009.
Dimulai pada gelaran keempat ini, semua nominator diberikan kesempatan
untuk mengembangkan hasil karyanya. Didukung oleh Depkominfo, mereka
akan dihubungkan kepada pihak pembeli dan investor.
"Jadi, INAICTA tidak hanya sekadar ajang kompetisi ICT saja,
tetapi juga sebagai ajang pertemuan antara nominator dengan investor,"
kata Menkominfo dalam konferensi pers yang digelar, Jumat pekan lalu.
Ada
dua program baru yang melengkapi INAICTA kali ini, yakni Program
Business Matchmaking dan Entrepreneurship. Melalui program Business
Matching, para nominator diupayakan untuk mendapatkan bantuan dana dari
investor atau pembeli yang tertarik dengan hasil karya mereka. Sementara
program Entrepreneurship diadakan untuk melatih para nominator untuk
menjadi wirausaha. Dengan begitu, mereka tak hanya pandai menjadi
kreator, tetapi juga memiliki kemampuan di sisi bisnis.
“Karya-karya
yang masuk nominasi mempunyai kualitas yang tinggi. Tahun ini kami
melengkapi dengan Business Matching Program yang akan mengawal mereka
menjadi entrepreneur. Sudah saatnya kita menghargai karya Digital
Creative anak bangsa,” papar Hari Sungkari, Ketua Panitia INAICTA 2009,
dalam konferensi yang digelar menjelang acara puncak, Jumat (24/7). Hari
menyampaikan, program ini terbuka bagi pihak swasta maupun perusahaan
BUMN. Salah satu pihak yang akan ikut serta dalam program
Entrepreneurship adalah Bank Mandiri.
Gambar: teknopreneur.com
Daftar Pemenang INAICTA 2009
Kategori
e-Goverment Winner: Sistem Online Monitoring Bantuan &
Subsidi Pemerintah (Achamd Rodiyur) Merit: Next Generation Voting
System (Agung Harsoyo) Special Mention: eMoneV-Monitoring dan
Evaluasi APBD/APBN (Al Farisi)
Kategori e-Business for
Enterprise Winner: ARMES (Ade Karsa) Merit: Invesment
Management System (Boyke Bader)
Kategori e-Business SME Winner:
Ayofoto.com-Online Stock Photo Provider (Dibya Pradana)
Kategori
e-Learning Winner: Biotech Multimedia Interactive (A. Riza
Wahono) Merit: Morning! (Indra Purnama) Special Mention: MLM for
The Blind (Erik)
Kategori Digital Animation Winner:
Hebring 2 (Andi) Merit: Good Bye World (Aryanto Yuniawan)
Kategori
Digital Interactive Media Winner: Dwarf Village (Wandah W) Merit:
Blank! (Teguh Budi W)
Kategori Computer Generated
Imaginary Winner: Menuju Indonesia Baru 2D (Henryca Citra) Merit:
Bajaj Fantasy (Dina Chandra)
Kategori Tools and
Infrastructure Winner: Green Switch (St. Andika Sutejo) Merit:
POINTREK (Aceng Luqman Taufiq) Special Mention: Light Army (Stevanus
DH)
Kategori Research and Development Winner:
Zaitun Time Series (Rizal Zaini Ahmad Fathony) Merit: Eye B Pod
(Stanley Audrey)
Kategori Open Source System Winner:
SENAYAN Library Automation (Hendro Wicaksono) Merit: Crayon Pedia,
the Next Generation Learning Enviroment (Agung Harsoyo) Special
Mention: Nusantara View Web 2.5 (Nuraini)
Kategori
Student Project - SD Winner: Watch The Sign (Narendra
Pradhana Nugroho) Merit: Rental Game Maniac (Andre Rizky)
Kategori
Student Project - SMP Winner: Pengunci Komputer (Jonathan
C)
Kategori Student Project - SMA/SMK Winner:
Kardinal (Fauzan Helmi Sudaryanto) Merit: Click Home (Agus Arif
Rahman)
Kategori Student Project – Perguruan Tinggi Winner:
Interactive Table (Hendro Wibowo) Merit: Pembuatan Generator dan
Solver Permainan Sudoku (Reden Tanago)
Kategori
Maze Solving Robot – Tingkat SD Juara 1: Elementary Mrobot5
(A. Habib M) Juara 2: Elementary Mrobot1 (Suwaibatul Annisa) Juara
3: Elementary Mrobot2 (Aulia Zinendinita R)
Kategori Maze Solving Robot – Tingkat SMP Juara
1: Mrobot Junior Robot 1 (Muhamammd Arifin) Juara 2: Undefeated
Lightning Bolt (William Irawan dan Suma S) Juara 3: Night Stalker
(Ray Paulus, Pranandhika, dan Darryl Irianto)
Kategori
Maze Solving Robot – Tingkat SMA/SMK Juara 1: Chibibot
(Eric christiandi, Suma S, dan Steven M) Juara 2: Vini Vidi Vici
(Samuel CT, Ricky Disastra, Rangga N) Juara 3: R-Striker (Hadiyan Nur
Rochman dan Ahmad Rifki Alhadi)
Kategori Creative Robot Winner:
Fog Intelligent Robot Estinguisher (Nico Fendy, Chandra Louis, dan
Selia Evanny Pranata) Merit: Robot Durian Warso (Winda Pradina,
Iedita Widya Arsyta, dan Dewi Utami Rahmawati)
Komputer
Oleh:
Restituta Ajeng Arjanti
Istilah “big is
beautiful” rasanya tak berlaku di dunia teknologi masa kini. Itu bisa
dilihat dari lahirnya beragam versi mungil dari perangkat komputer dan
telekomunikasi. Meski begitu, jangan pandang remeh perangkat-perangkat
bertubuh mungil itu. Berbanding terbalik dengan ukuran tubuhnya, mereka
tak kalah pintar dari mesin-mesin pendahulunya yang berbodi bongsor.
Desktop
Berukuran Irit
Gaya minimalis rupanya ikut melanda
dunia teknologi. Kita tidak bicara soal fitur, tapi lebih pada bentuk
perangkat-perangkatnya. Contohnya sudah banyak, bisa dilihat di
mana-mana. Desktop PC tampil semakin ramping, juga notebook semakin
mungil dan ringan. Bahkan beberapa tahun belakangan ini, beberapa vendor
melahirkan beberapa kategori perangkat komputer yang baru, dengan
istilah yang baru pula. Ada Ultra Mobile PC alias UMPC, subnotebook,
hingga yang yang paling baru yang diperkenalkan oleh Intel sebagai
netbook dan nettop.
Sekarang, mari kita bicara tentang komputer
desktop alias PC. Yang sedang “in” adalah komputer-komputer bertubuh
ramping, ringkas, dan irit tempat. Kalau mau dibayangkan, bentuknya
kurang lebih seperti iMac besutan Apple yang paling gres, New iMac.
Tubuhnya tipis dengan CPU menyatu pada monitor layar datarnya.
Terinspirasi
Apple
Perlu kita akui, komputer-komputer berlogo apel
rancangan Steve Jobs memang merupakan salah satu kiblat teknologi. Kalau
Anda perhatikan, komputer Apple kerap tampil di layar film besutan
studio Hollywood, dan belakangan juga menghias beberapa film dan
sinetron Tanah Air. Dari situ, bisa dilihat bahwa komputer-komputer
cantik dan ringkas memang punya magnet, selain bisa menjawab masalah
keterbatasan ruang penggunanya. Tak hanya “pretty”, mereka juga “smart”.
Sekarang,
jumlah produk pesaing New iMac sudah banyak. Menyambut tahun baru 2008
ini contohnya, NEC meluncurkan seri Powermate P5000 berwarna putih yang
disebut-sebut terinspirasi oleh New iMac. Selain warnanya yang serupa
iMac, CPU dari P5000 juga menempel dengan layar monitornya. Yang
menarik, dalam keadaan tertutup, desktop semi-portabel ini bisa dengan
mudah dijinjing, apalagi ia dilengkapi dengan pegangan di bagian atas
belakang monitornya.
Ikut meramaikan pasar komputer berukuran
irit, di awal tahun ini HP memperkenalkan seri desktop Compaq dc7800
Ultra-slim. CPU-nya mungil, mirip Mac Mini. Meski tidak menyatu dengan
monitor LCD tipisnya, pengguna dapat mengaitkan CPU tersebut di bagian
belakang monitornya. Hasilnya tentu saja tampilan yang lebih ringkas dan
irit tempat.
Selain NEC dan HP, masih ada beberapa vendor lain
yang juga melempar komputer tipisnya ke pasaran. Sebut saja Asus yang
memperkenalkan seri Asus Nova P22 Mini PC-nya, Dell yang merilis Dell
XPS One Desktop, atau Acer yang punya Acer Aspire L3000 Series. Semua
produk tersebut punya ciri yang sama: berukuran irit.
Spesifikasi
Tinggi
Meski bentuknya irit, tak berarti harga dan
teknologi yang dibawa oleh komputer-komputer tersebut juga irit.
Buktinya, banyak dari mereka dijual di atas 1.000 dolar AS. Maklum,
spesifikasinya lumayan tinggi—prosesor baru keluaran Intel atau AMD,
kapasitas hard disk di atas 100 gigabyte (GB), memori kaliber GB, juga
kartu grafis yang terhitung high-end.
Buat orang-orang yang punya
masalah keterbatasan tempat, tapi bukan kantong, komputer-komputer
cantik dan mungil ini bisa jadi jawaban yang tepat. Tapi sekali lagi,
mahal itu relatif, bukan?
|
Aksi
MOSES Mendeteksi Malaria
Final Imagine Cup 2009 yang diselenggarakan oleh
Microsoft di Kairo, Mesir, 3-7 Juli lalu berbuah manis bagi negeri ini.
Satu dari empat tim yang mewakili Indonesia dalam kompetisi global
tersebut keluar menjadi juara. Tim Big Bang sukses meraih gelar juara
pertama dalam kategori Mobile Device Award berkat aplikasi canggih
buatan mereka, MOSES. Mengikuti mereka di posisi kedua dan ketiga adalah
tim dari Brasil dan Kroasia.
Big Bang beranggotakan empat
mahasiswa Teknik Informatika angkatan 2006, Institut Teknologi Bandung.
Mereka adalah David Samuel, Dody Dharma, Dominikus Damas Putranto, dan
Samuel Simon. Salah satu jagoan Imagine Cup 2008, Ella Madanella, ikut
menemani mereka sebagai mentor. Tahun lalu, Ella tergabung dalam tim
Antarmuka ITB yang menciptakan Butterfly, sebuah sistem dokumentasi
masalah lingkungan.
"Karena saya sudah punya pengalaman di final
sebelumnya, dan kebetulan karena saya punya waktu dan memang kenal
dengan mereka (anggota tim Big Bang), jadi saya membantu mereka," tutur
Ella saat dihubungi melalui telepon, Kamis (16/7) lalu.
MOSES
Imagine
Cup 2009 adalah yang ketujuh yang diadakan oleh Microsoft Corp. Tema
yang diusung tahun ini adalah "Imagine a world where technology helps
solve the toughest problems facing us today". Tantangan yang disodorkan
bagi para peserta disesuaikan dengan Millenium Development Goals yang
dibuat oleh PBB. Salah satunya berhubungan dengan kesehatan.
Nama
MOSES adalah singkatan dari Malaria Observation System and Endemic
Surveillance. Aplikasi ini diciptakan oleh tim Big Bang untuk mendeteksi
penyakit malaria. Aplikasi yang ditanam dalam PDA ini diciptakan untuk
membantu masyarakat di pedesaan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
yang cepat dan tepat.
Penasaran dengan cara kerja MOSES? Petugas
kesehatan bekerja menggunakan PDA yang telah ditanami MOSES. Oleh tim
Big Bang, aplikasi ini dilengkapi dengan sebuah karakter virtual
(avatar) yang disebut Marceline. Menggunakan teknologi voice
recognition, Marceline akan membantu petugas menanyakan beberapa hal
yang berkaitan dengan penyakit malaria kepada pasien.
PDA yang
digunakan oleh petugas kesehatan juga dilengkapi dengan PDAscope. Ide
mengenai PDAscope, diakui David, diperoleh dari mikroskop. "Karena di
daerah rural, bidan-bidan banyak yang tidak bisa pakai mikroskop, dan
memang alatnya jarang tersedia, jadi kami punya ide menggabungkan
mikroskop dengan kamera ponsel,” papar David melalui telepon, Kamis.
PDAscope ini, menurut dia, mampu memperbesar gambar hingga 1000 kali.
Sampel
darah pasien diambil, lalu dipotret menggunakan PDAscope. Gambar dari
sel darah tersebut, beserta data-data yang diperoleh dari pasien,
kemudian dikirim melalui PDA ke server di pusat kesehatan. Aplikasi pada
server penerima akan menampung data-data itu dan menganalisanya. David
dan tiga rekannya sudah berhasil membuat prototipe PDAscope dan telah
mengujinya. "Prototipenya sudah dibuat dan bisa jalan," kata dia.
Melalui
gambar sel darah, aplikasi dapat mengecek kadar plasmodium (parasit
penyebab malaria) yang ada dalam darah pasien. Sistem akan menganalisa
jumlah sel darah, warna, serta bentuk morfologisnya. "Sel darah merah
yang sehat berwarna merah dan bentuknya cekung di bagian tengah.
Sementara sel darah yang sudah terinfeksi plasmodium punya bentuk yang
berbeda dan warnanya terlihat lebih pekat," David menjelaskan.
Proses
penghitungan dan analisa butiran darah pasien dilakukan menggunakan
algoritma neural network yang berbasis artificial intelligence (AI).
"Image processing AI ini berdasarkan pada bagaimana manusia mengenali
bentuk dan warna (sel darah). Ada bobot perhitungannya dan prosentase
kemiripannya," kata David. Menggunakan algoritma ini, proses
pemeriksaan sampel darah bisa dilakukan secara cepat, berbeda dengan
pemeriksaan manual.
Setelah sistem mendapatkan hasil
analisanya—apakah pasien benar menderita malaria atau tidak—sistem
secara otomatis akan mengirimkan informasi kepada petugas kesehatan yang
ada di lapangan. Dengan begitu, penanganan terhadap pasien bisa segera
dilakukan.
Bisa Dimodifikasi
Tim Big Bang
mengembangkan MOSES dalam waktu yang cukup singkat. "Pengembangannya
sekitar enam bulan. Sejak awal November kami bertemu, berkumpul dan
mencari ide, lalu melakukan riset dan mengembangkan aplikasinya," tutur
David.
Awalnya, mereka tidak langsung fokus untuk mengembangkan
aplikasi yang berhubungan dengan penyakit malaria. "Kami awalnya
mengambil tema kesehatan, karena dari delapan Millenium Goals ada yang
berhubungan dengan kesehatan,” aku David.
Setelah melakukan riset
dan bertanya kepada dinas kesehatan dan beberapa dokter, akhirnya
mereka memilih untuk fokus pada malaria. "Karena menurut Dirjen P2PL
(Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan) Depkes, penyakit ini
dianggap sebagai penyakit endemis yang banyak terdapat di daerah," David
menjelaskan.
Tim Big Bang berharap aplikasi buatan mereka bisa
membantu banyak orang, terutama masyarakat di daerah terpencil. Saat
ini, mereka tengah menunggu respons dari pihak-pihak yang bersangkutan,
antara lain Depkes, untuk membantu menindaklanjuti hasil temuan mereka.
David
sendiri tidak menutup kemungkinan MOSES dapat dimodifikasi untuk
menganalisa jenis penyakit lain. Contohnya penyakit TBC yang bisa
dideteksi melalui dahak pasien. "MOSES juga bisa dikembangkan untuk
membantu dokter fertilitas dalam mendeteksi sel sperma yang aktif," ujar
David. Yang pasti, untuk mengubah AI dari MOSES untuk menganalisa
penyakit lain, dia dan teman-temannya harus melakukan riset terlebih
dulu.
Melacak Jejak Korban Trafficking
Empat mahasiwa Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
mengembangkan sebuah sistem untuk melacak jejak korban human trafficking
(perdagangan manusia). Sistem tersebut, diberi nama Trafstopper,
terpilih untuk mewakili Indonesia dalam kompetisi internasional Software
Design Microsoft Imagine Cup 2009, di Kairo, Mesir, pada 2 Juli
mendatang.
"Trafstopper, kependekan dari Trafficking Stopper,
merupakan sebuah sistem yang terdiri dari beberapa software yang saling
berkolaborasi dan bertukar informasi untuk mengurangi human
trafficking," Ferro Ferizka Aryananda, salah satu mahasiswa yang ikut
mengembangkan Trafstopper, menjelaskan.
Masalah Global
Human
trafficking sudah lama menjadi masalah global, dihadapi oleh sejumlah
negara, termasuk Indonesia. Modusnya semakin beragam, mulai dari
penipuan hingga penculikan. Hal itulah yang menggerakkan Ferro beserta
tiga rekannya, Giovanni Yoko, Ninan Kara, dan Kinanti Sekarsari untuk
mengembangkan Trafstopper.
Mahasiswa Teknik Informatika angkatan
2006 ini menilai, masih ada gap informasi yang membuat pihak-pihak yang
terkait mengurusi masalah human trafficking tidak saling mengetahui
informasi mengenai korban traficking-dari mana memulai pencarian korban,
dan bagaimana cara mengembalikan mereka pada keluarganya. Hal itulah
yang menurut Ferro membuat masalah ini sulit diatasi.
"NGO
(non-government organization) atau polisi yang menerima laporan dari
keluarga korban trafficking tidak tahu harus memulai pencarian dari
mana. Masyakarat juga tidak bisa banyak membantu karena tidak adanya
sharing informasi mengenai trafficking yang bisa mereka jangkau," papar
Ferro.
"Saya pikir, teknologi informasi adalah media yang tepat
untuk menjembatani kebutuhan tersebut," ujar pemuda kelahiran 11 Juni
1989 ini. Keinginan Ferro dan timnya untuk ikut memecahkan masalah
global akhirnya diwujudkan dengan mengembangkan Trafstopper, yang
kemudian mereka ikut sertakan dalam ajang Imagine Cup.
Target
Pengembangan
Trafstopper, diakui Ferro, berlangsung selama 1,5 bulan. "Dalam waktu
sesingkat itu, kami menyelesaikan bagian fundamental sistem kami agar
siap demo di final dunia nanti (di Kairo)," kata Ferro. Agar teknologi
mereka dapat dijangkau oleh banyak orang, mereka memilih medium
komunikasi macam SMS dan situs jejaring Facebook untuk mengakses sistem
Trafstopper.
Siapa saja, termasuk Anda, bisa ikut serta membantu
pihak kepolisian dan NGO dalam mengatasi human trafficking. Anda hanya
butuh ponsel untuk mengirim SMS, atau kamera untuk mengambil foto.
Target
pengguna Trafstopper, menurut Ferro, dibagi menjadi 3, yaitu pihak NGO,
polisi, dan publik. Bagi publik, Ferro dan teman-temannya mengembangkan
aplikasi berbasis situs jejaring sosial Facebook. "Dengan begitu,
setiap member Facebook di seluruh dunia bisa berpartisipasi. So
actually, everybody is involved," kata dia.
Cara Kerja
Bagaimana
cara kerja Trafstopper? "NGO atau LSM yang concern pada masalah human
trafficking bisa memposting detail dan foto korban berdasar laporan dari
pihak keluarga, kerabat, atau rekan korban melalui aplikasi Facebook
yang kami buat," Ferro menyampaikan. Setelah itu, setiap orang yang
tergabung dalam aplikasi tersebut akan mendapatkan notifikasi detail
mengenai korban, lengkap beserta fotonya.
Informasi mengenai
orang yang dicurigai sebagai korban trafficking bisa diperoleh dengan
tiga cara: melalui kamera CCTV, SMS masyarakat, dan foto.
"Kami
menulis kode yang akan menganalisis hasil capture kamera baik kamera IP
atau CCTV. Kita tahu bahwa saat ini di banyak tempat telah terpasang
kamera pemantau yang berfungsi memantau keadaan lingkungan. Kode kami
menggunakan algoritma pengenalan wajah. Wajah yang berhasil dikenali
akan dibandingkan dengan database foto korban yang diposting oleh NGO
(lewat aplikasi Facebook)," papar Ferro. "Jika ditemukan kecocokan
wajah, maka sistem kami akan memberitahu polisi yang terdekat dari
lokasi korban."
Bagaimana cara kerja Trafstopper via SMS? Menurut
Ferro, masyarakat-yang merasa melihat orang yang berwajah mirip dengan
korban trafficking yang informasinya telah diposting oleh pihak NGO-bisa
mengirim SMS ke server Trafstopper. "Kami akan mencari polisi terdekat
dari lokasi orang tersebut untuk tindak lanjutnya," kata dia.
Terakhir,
melalui foto. Menurut Ferro, proses identifikasi korban trafficking
melalui foto adalah yang paling mudah. "Kita tahu bahwa di negara kita
banyak sekali anak jalanan atau PSK yang berkeliaran di jalan. Salah
satu di antara mereka bisa jadi merupakan korban trafficking yang
sebenarnya perlu bantuan," ujar Ferro.
"Bila Anda curiga, Anda
bisa mengambil fotonya, bisa dengan digicam atau kamera ponsel, lalu
kirimkan ke sistem kami. Sistem kami akan menganalisa foto itu dan
mencocokkan wajah yang ada di foto dengan database korban kami,"
katanya. Jika ditemukan kecocokan, maka polisi dan pihak NGO akan
memposting informasi mengenai korban tersebut si Facebook untuk
dinotifikasi.
"Di sisi polisi sendiri, kami melengkapi mereka
dengan aplikasi yang dilengkapi peta dan representasi data yang
berkaitan dengan human trafficking, sehingga mereka bisa bekerja lebih
efektif," kata Ferro. Lapangan Hijau untuk Penggila Sepak Bola
Kesenangannya pada sepak bola mendatangkan
keberuntungan bagi Rafeequl Rahman Awan. Betapa tidak, hobi itu
memberinya inspirasi untuk mengembangkan sebuah aplikasi, yang akhirnya
keluar jadi pemenang “Best Show” dalam ajang Yahoo Mobile Developer
Award (YMDA) 2009, pertengahan Mei lalu. Aplikasi buatan Rafeeq―begitu
dia disapa―berupa mobile web yang diperuntukkan bagi para penggila sepak
bola. Namanya “Lapangan Hijau”.
Sejak awal, Rafeeq memang
mengembangkan aplikasi tersebut untuk diikutsertakan dalam YMDA 2009.
Kompetisi tersebut diselenggarakan oleh Yahoo! Inc., bekerja sama dengan
beberapa perusahaan sebagai sponsornya. Antara lain BNI, Viva News, dan
XL.
Mobile Web Sepak Bola
Sebenarnya,
pilihan membuat aplikasi olah raga tidak sepenuhnya ada di tangan
Rafeeq. “Pada waktu kickoff (pembukaan) kompetisi ini, semua peserta dan
sponsor dikumpulkan. Para sponsor memberikan brief mengenai profil dan
'keinginan' mereka, seperti apa aplikasi yang mereka inginkan,” papar
Rafeeq.
“Nah, di kickoff itu juga diadakan pengundian. Jadi tiap
peserta akan mendapat satu sponsor. Peserta tersebut harus membuat
aplikasi khusus untuk sponsor yang bersangkutan,” lulusan Fakultas Sains
dan Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah itu menjelaskan.
Rafeeq
merasa beruntung karena mendapatkan Viva News―yang menginginkan sebuah
portal mobile khusus olah raga (Indonesia Soccer League)―sebagai
sponsornya. Untuk membuat aplikasi, menurut Rafeeq, tiap peserta
kompetisi diharuskan untuk menggunakan platform dari Yahoo!, yakni
Yahoo! BluePrint.
“Kompetisi itu berlangsung selama 3 minggu,
waktunya cukup sempit. Tapi, karena memakai Yahoo! BluePrint, kami yang
men-develop jadi banyak terbantu karena cukup mudah dan cepat,” kata
Rafeeq yang kini bekerja sebagai developer situs microblogging
Koprol.com.
Sebelum mengembangkan Lapangan Hijau, Rafeeq perlu
mengumpulkan informasi sesuai kebutuhan penggunanya, yakni pihak
sponsor. Dia sendiri membuat Lapangan Hijau dalam waktu sekitar tiga
minggu.
“Kurang lebih tiga minggu saja, sesuai dengan ketentuan
dari Yahoo!. Kita menggunakan Yahoo! BluePrint untuk front-end-nya,
kemudian saya menggunakan Ruby on Rails (salah satu framework aplikasi
open source) untuk back-end-nya,” papar Rafeeq.
Fitur
Lapangan Hijau
Apa fitur yang ditawarkan Lapangan Hijau?
Aplikasi ini menyediakan informasi terkini mengenai kompetisi nasional
sepak bola Indonesia. Melalui ponsel, penggunanya bisa mendapatkan
informasi mengenai skor, jadwal pertandingan, serta berita-berita
terkini dari konten-konten berita yang ada di situs web Viva News selaku
sponsor. Lapangan Hijau juga dilengkapi fitur-fitur lain, seperti
reminder jadwal pertandingan sepak bola berbasis SMS dan streaming video
liga nasional via perangkat genggam.
Kira-kira, ponsel seperti
apa yang mendukung Lapangan Hijau? “Banyak sekali. Semua ponsel yang
mempunyai web browser dan didukung oleh Yahoo! BluePrint dapat
mengaksesnya,” jawab Rafeeq. “Tentunya, kita membutuhkan akses internet
untuk mengakses mobile web-nya,” dia menambahkan.
Setelah
Lapangan Hijau, Rafeeq masih berniat untuk mengembangkan berbagai
aplikasi mobile lainnya. “Yang jelas, aplikasi apapun yang nanti saya
kembangkan harus 'fun' dan bisa dimanfaatkan oleh banyak orang,”
ujarnya. Memenangkan YMDA 2009, Rafeequl berhak membawa pulang
USD20.000. Dengan hadiah itu, Rafeeq berniat untuk memberangkatkan
ibunya naik haji. “Paling pertama, hadiahnya mau saya gunakan untuk
memberangkatkan ibu saya pergi haji. Sebagian besar sisanya saya tabung,
dan sebagian kecil mungkin buat mendukung hobi saya 'ngoprek' aplikasi
baru,” katanya.
Rafeeq memang sudah akrab dengan urusan
mengembangkan aplikasi. Sebelum memenangkan YMDA 2009, Rafeeq pernah
terpilih menjadi salah satu pemenang di ajang Indonesia Information and
Communication Technology Award (INAICTA) 2008. Aplikasi yang
diperkenalkannya dalam ajang tersebut bernama EasyHotspot, yakni sistem penghitungan biaya akses
hotspot berbasis teknologi open source.
Potensi Pasar
Mobile
Rafeeq menilai, potensi pasar aplikasi mobile di
Tanah Air sangat besar. “Kalau melihat kasat mata saja sudah terlihat.
Paling gampang kalau kita menonton televisi, berapa banyak iklan SMS
premium yang ditampilkan?” ujarnya.
“Dengan aplikasi yang sangat
simpel, berupa SMS interaktif saja―malah kadang tidak―sudah banyak
sekali yang berminat. Bagaimana kalau berupa applikasi standalone yang
bisa menyediakan informasi yang lebih komprehensif dan interaktif bagi
para penggunanya?” Rafeeq melanjutkan. Pasti makin banyak peminatnya.
Pemuda
berusia 23 tahun ini mengakui, aplikasi lapangan Hijau buatannya
kemarin masih bersifat “development-test”. “Jadi lebih dititikberatkan
pada ide kreatif dan menunjukan apa yang bisa dicapai dari teknologi
Yahoo! BluePrint,” katanya. Akses Komputer Bermodal Wajah
Teknologi pengenalan wajah, beken
dengan istilah facial recognition technology, mulai banyak ditampilkan
pada komputer jinjing canggih masa kini. Teknologi ini difungsikan
sebagai akses untuk masuk ke dalam sistem komputer, menggantikan sistem
password yang sudah umum digunakan.
Dengan teknologi ini,
komputer akan mengidentifikasi wajah si pengguna komputer melalui sebuah
gambar digital. Sistem akan mencocokkan tekstur wajah si
pengguna―bentuk wajah, mata, dan lekuk hidungnya―dengan data yang
tersimpan dalam komputer.
Saat ini, mulai banyak pengembang yang
membuat aplikasi berteknologi canggih ini. Di dalam negeri, salah
satunya adalah Kecapi Software yang mengembangkan FaceLogin. Aplikasi
tersebut mulai diperkenalkan pada akhir Februari 2009, dalam ajang Mega
Bazaar Computer di Jakarta Convention Center.
Berikut adalah
hasil wawancara QBHeadlines.com (QB) dengan Tim Research &
Development Kecapi Software (KS) yang diwakili oleh Amir
Muhammad, Budi Irawan, dan Wikan Pribadi.
[QB] Kenapa
terinspirasi untuk membuat aplikasi FaceLogin?
[KS]
Maraknya penggunaan notebook di Indonesia membuat kami
tertantang untuk membangun aplikasi kecil dengan teknologi pengenalan
wajah yang bisa dipakai semua orang. Dewasa ini, beberapa notebook merek
ternama sudah dilengkapi dengan teknologi ini. Jadi, mengapa kami tidak
mengembangkannya untuk dapat digunakan di notebook biasa yang sudah
dilengkapi web kamera tanpa harus membayar mahal.
[QB]
Apa aplikasi ini terbatas hanya untuk notebook?
[KS]
Aplikasi ini tidak terbatas berjalan pada notebook saja, bisa
juga diinstal di PC.
[QB] Bagaimana cara kerjanya?
[KS]
Pada teknologi pengenalan wajah, sensor yang digunakan adalah
kamera. Di sini kami hanya butuh web-camera yang biasanya terpasang di
notebook masa kini. Supaya FaceLogin dapat bekerja dengan baik, pengguna
komputer harus mendaftarkan wajahnya lebih dulu di FaceLoginAdmin.
Setelah
proses registrasi selesai, tahap selanjutnya adalah melakukan
pengaturan tingkat sensitivitas pengenalan wajah pengguna, hingga dia
sendiri merasa nyaman saat dikenali, tetapi orang lain tetap sulit untuk
login. Kami menggunakan database sederhana untuk menyimpan semua data
yang dibutuhkan, termasuk gambar-gambar wajah pengguna. Database itu
tersimpan rapi dalam harddisk komputer.
Setelah proses registrasi
selesai, langkah selanjutnya adalah mengaktifkan FaceLogin. Ketika
komputer dinyalakan, secara otomatis FaceLogin akan aktif sebelum
pengguna bisa melakukan aktivitas dengan komputer.
[QB]
Penggunaannya bagaimana? Sulit atau tidak?
[KS] Penggunaan
FaceLogin sangat mudah, cukup dengan memilih user yang sudah
didaftarkan. Kemudian, hadapkan wajah Anda ke kamera hingga aplikasi
FaceLogin menutup dengan sendirinya. (Aplikasi secara otomatis akan
memindai wajah pengguna, apakah sesuai dengan yang tersimpan dalam
komputer atau tidak.)
[QB] Teknologi apa yang kalian
pakai untuk mengembangkan FaceLogin?
[KS] Kami
menggunakan bahasa pemrograman C++, library wxWidget, dan opencv.
[QB]
Aplikasi ini bisa digunakan pada komputer dengan spesifikasi seperti
apa?
[KS] FaceLogin untuk saat ini baru
bisa berjalan dengan baik pada sistem operasi Windows XP. Tapi kami
akan mengembangkan agar dapat berjalan di Windows Vista. Kami
merekomendasikan untuk menggunakan FaecLogin pada komputer dengan
Prosesor Intel Pentium 4, Memory 512MB, dan freespace harddisk sebesar
20MB.
[QB] Apa kalian tidak tertarik untuk mengembangkan
FaceLogin untuk sistem open source?
[KS] Linux
maksudnya? Kami tertarik, tapi mungkin untuk pengembangan selanjutnya.
Karena Linux belum punya banyak support untuk webcam. Selain itu,
library kami juga belum kompatibel dengan Linux dan biaya riset (untuk
mengembangkan FaceLogin untuk Linux) itu tidak kecil.
Pada
prinsipnya, saat ini kami punya teknologi deteksi wajah. Nah, teknologi
tersebut kami turunkan menjadi aplikasi-aplikasi seperti FaceLogin untuk
Windows login, FacePresence untuk sistem absensi, dan FaceGate untuk
akses door. Semuanya saat ini baru kami kembangkan dalam lingkungan
Windows.
[QB] Sejauh mana tingkat akurasi sistem login
ini untuk menangkap gambar wajah? Apakah bisa di-setting sendiri?
[KS]
Tingkat akurasi sistem ini bisa di-setting sendiri oleh
pengguna. Pengguna bisa memilih dari tingkat akurasi rendah hingga
akurasi tinggi.
Tingkat akurasi rendah membuat pengguna bisa
lebih mudah masuk, tapi dapat membuka peluang untuk orang yang tidak
berhak untuk masuk juga. Sedangkan tingkat akurasi tinggi membuat
pengguna lebih strict dalam proses deteksi―wajah tidak boleh miring ke
kiri atau kanan, harus benar-benar tepat―tapi orang lain yang tidak
berhak tidak bisa masuk.
[QB] Jika sistem login ini
bermasalah, apa ada backup-nya?
[KS]
Iya, dengan menggunakan isian password jika pengguna sulit untuk
terdeteksi.
[QB] Apa tantangan yang kalian hadapi saat
mengembangkan aplikasi ini?
[KS] Tantangannya
terletak pada teknologi pengenalan wajah itu sendiri. Bagaimana supaya
teknologi ini dapat bekerja dengan baik, dengan kondisi wajah dan
pencahayaan yang beragam.
[QB] Cahaya berpengaruh pada
daya tangkap FaceLogin, ya? Bagaimana jika komputer dipakai di ruang
yang gelap?
[KS] Iya, faktor
pencahayaan sangat berpengaruh terhadap tingkat akurasi FaceLogin. Jika
pengguna berada dalam tempat gelap, FaceLogin sulit untuk mendeteksi.
Karena itu, maka kami sediakan isian password sebagai backup.
[QB]
Siapa target pengguna FaceLogin? User biasa atau korporasi?
[KS]
Kami lebih menargetkan ke user biasa agar manfaatnya bisa
langsung dirasakan masyarakat. Tapi tidak menutup kemungkinan untuk
digunakan oleh user korporasi.
[QB] Hingga kini, sudah
ada berapa jumlah pengguna FaceLogin?
[KS] Lebih
dari 500 user.
[QB] Apa FaceLogin bersifat komersial?
Bagaimana cara mendapatkannya?
[KS]
Software ini bersifat komersial. FaceLogin bisa diunduh dari website
http://www.wajahku.com pada menu “Download Area” atau di
http://www.absensiwajah.com/FaceLogin.zip. Harganya Rp75.000 dengan
garansi satu tahun.
[QB] Apa kelebihan FaceLogin
dibandingkan sistem login biasa yang menggunakan username dan password?
[KS]
Kelebihannya, FaceLogin menggunakan teknologi pengenalan
wajah, teknologi biometrik tercanggih saat ini. Dengan teknologi ini,
wajah pengguna menjadi kunci untuk dapat masuk ke sistem. Jadi, lebih
aman dan lebih canggih. Facebook Terbuka bagi Pengembang Software Lokal
Ragam aplikasi tersedia di Facebook, situs jejaring
sosial yang sedang ngetren di kalangan pengguna internet saat ini.
Aplikasi-aplikasi kecil itu―biasa juga disebut widgets―jadi nilai plus
Facebook, baik di mata para penggunanya maupun di kalangan para
pengembang software.
Para pengguna punya banyak “mainan” di
Facebook, hal yang bikin mereka tidak kapok untuk berkunjung ke situs
tersebut. Sementara para pengembang punya banyak kesempatan untuk
menawarkan aplikasinya di situs tersebut.
Platform
Terbuka
Sejak 24 Mei 2007, Facebook membuka platformnya
untuk publik. Sejak itu pula, situs jejaring yang dibangun oleh Mark
Zuckerberg ini mengundang para pengembang untuk membuat
aplikasi-aplikasi kecil bagi para penggunanya.
Hingga akhir
Februari 2009, sudah tercatat 1,5 juta anggota Facebook di Indonesia.
Dengan angka tersebut, Indonesia menjadi negara dengan jumlah anggota
Facebook terbesar di kawasan Asia. Selain jumlah anggotanya yang semakin
besar, komunitas pengembang aplikasi Facebook (Facebook Developers) pun
terus berkembang. Untuk mendukung pertumbuhan komunitas-komunitas
tersebut, dibentuklah program Facebook Developer Garage.
Sejak
pembentukannya, program Facebook Developer Garage sudah melibatkan
sekitar 16.000 developer dari seluruh dunia, di lebih dari 45 tempat
yang berbeda. Sebut saja Los Angeles, London, Washington DC, Berlin,
Athens, Singapore, Beijing, Madrid, Paris, dan Philadelphia sebagai
beberapa contohnya.
FBDGI
Sejak 2009
ini, program Facebook Developer Garage juga hadir di Indonesia. Facebook
Developer Garage Indonesia, disingkat FBDGI, merupakan komunitas yang
terdiri dari para programmer, desainer, Flasher, atau siapa saja yang
tertarik untuk ikut mengembangkan Facebook dan platformnya.
Event
pertama FBGDI digelar atas kerja sama Facebook Developers Indonesia
dengan perusahaan marketing online Think.Web dan komunitas penggiat
industri kreatif FreSh! (Freedom of Sharing) di LiFestyle Xntre,
Senayan, Jakarta, Sabtu, 28 Maret lalu.
Dalam presentasinya, Endi
Hamid, salah satu developer dari Think.Web, menyampaikan, kini sudah
ada lebih dari 52 ribu aplikasi yang tersedia dalam Facebook Platform.
Setiap harinya, ada sekitar 140 aplikasi baru yang ditambahkan ke dalam
Facebook. Jumlah yang fantastis.
Tertarik untuk menambah kaya
Facebook dengan aplikasi-aplikasi baru? Asal memiliki akun di Facebook,
siapa saja, termasuk kita, juga bisa berkontribusi dan mengembangkan
aplikasi untuk Facebook. Untuk membuat aplikasinya, Anda bisa masuk ke
halaman http://www.facebook.com/developers.
Menurut Kukuh TW,
pendiri Kronologger, yang juga ikut menjadi pembicara dalam
acara tersebut, pada dasarnya ada tiga macam aplikasi yang bisa kita
kembangkan untuk Facebook. Yang pertama, kita bisa membuat aplikasi baru
dengan memanfaatkan (memodifikasi) aplikasi yang sudah ada. Kedua, kita
bisa membuat aplikasi baru menggunakan halaman khusus yang tersedia di
Facebook dan iframe. Melalui iframe ini, Anda bisa mengaitkan konten
aplikasi dari situs web lain ke Facebook. Yang terakhir adalah yang
paling sulit―kita bisa membuat aplikasi yang murni kita kembangkan
sendiri memanfaatkan API (application program interface) dari Facebook.
Untuk
membuat aplikasi, developer setidaknya perlu punya pengetahuan tentang
bahasa pemograman, seperti HTML, XHTML, CSS, Java Script, Ajax, Adobe
Flash, Microsoft Silverlight, PHP, ASP, dan C++. Aplikasi yang dibuat
jangan sembarangan. Selain idenya harus segar dan orisinal, aplikasi
juga harus interaktif, bisa jadi sarana komunikasi antarpengguna. Mengembangkan Komunitas Energi Mandiri Indonesia
Isu mengenai lingkungan hidup menarik perhatian
Desideria Cempaka, salah satu dari tiga mahasiswa yang akan mewakili
Indonesia dalam ajang Forum Eco-Minds 2009 Asia Pasifik di New Zealand,
akhir Mei mendatang. Dalam essay buatannya, mahasiswa Universitas
Atmajaya Yogyakarta ini mengangkat topik mengenai komunitas energi
mandiri.
Forum Eco-Minds diadakan oleh PT Bayer dan United
Nations Environment Programme (UNEP). Tahun ini, forum tersebut
mengangkat tema "Think Sustainable Energy". Selain Desi, dua mahasiswa
lain yang akan mewakili Indonesia ke New Zealand adalah Danang Ambar
Prabowo (Institut Pertanian Bogor) dan Pradydha Kumayan Jati (Institut
Teknologi Bandung).
Tertarik Isu Lingkungan
"Isu
lingkungan menarik, soalnya saya suka gemas lihat orang membabat habis
hutan dan membunuh hewan dengan gampangnya. Kegemasan itu sampai pada
berbagai macam keputusan saya, misalnya terlibat dalam kegiatan
lingkungan sampai akhirnya jadi vegetarian," Desi menuturkan.
Dia
sendiri sudah mempersiapkan diri selama dua tahun untuk mengikuti Forum
Eco-Minds. "Saya sudah dengar tentang kompetisi ini dua tahun lalu.
Tapi karena saya nggak ada pengalaman soal lingkungan, ya saya pending
dulu. Akhirnya saya bersyukur, tahun ini ada poster Bayer Eco-Minds lagi
di kampus, yang bikin saya tertarik untuk ikut serta," katanya.
Essay
yang dibuat oleh Desi diberi judul Independent Energy Community to
Counter Biofuel Dillema. "Alasan saya memilih topik itu karena saya
pernah punya pengalaman soal community development di Gorontalo," papar
dara kelahiran Yogyakarta, 17 Februari 1987 itu.
Ada satu
filosofi mengenai sustainable energy development yang disukai Desi.
"Sustainable development baru berhasil saat pemrakarsanya sudah tidak
dibutuhkan lagi oleh komunitasnya, dan komunitas itu bisa berdiri dengan
kaki mereka sendiri," kata Desi.
Untuk menyusun essaynya,
mahasiswa yang hobi menyanyi, menggambar, dan menari ini melakukan
penelitian berdasarkan pengalamannya. "Penelitian ini berdasarkan
pengalaman sehari-hari, dari ilmu yang saya peroleh di Gorontalo, dan
dari pekerjaan saya sekarang di sebuah NGO (non goverment organization)
di Jogja yang bergerak di bidang pendidikan," kata Desi. "Essay ini juga
gabungan dari (pengalaman) mengerjakan tugas strategi humas di kampus,"
dia menambahkan.
Sisi Sosial
Dalam
essaynya, Desi lebih fokus membahas tema sustainable energy dari sisi
sosial. Menurutnya, pemerintah, NGO, atau suatu perusahaan dapat
mengembangkan sebuah proyek komunitas energi mandiri.
Aturan bagi
masyarakat yang ingin menjadi anggota komunitas tersebut, misalnya,
tidak boleh melakukan penebangan hutan, atau tidak memanfaatkan bahan
pangan atau lahan pangan untuk menghasilkan bioenergi.
Bagi tiap
anggota komunitas, pihak penyelenggara proyek komunitas energi mandiri
akan memberi workshop mengenai cara menghasilkan biofuel atau bioenergi,
serta memberi sosialiasi mengenai keuntungan-keuntungan menjadi
komunitas yang mandiri secara energi.
"Kalau mereka benar-benar
mau dan merasa mampu, pihak komunitas dapat diberikan fasilitas
laboratorium, buku-buku (referensi), atau bahkan fasilitas internet.
Biar mereka bisa mengakses informasi sendiri soal bioenergi," kata Desi.
Selain itu, dia pun menyampaikan ide untuk memberikan penghargaan bagi
komunitas yang terbaik, yakni yang sudah memenuhi kriteria tidak merusak
hutan, menghasilkan produk bioenergi yang baik, dan anggotanya bisa
sejahtera serta menerima hasil bagi keuntungan yang adil. "Komunitas
yang berhasil akan menjadi contoh untuk pembentukan komunitas
berikutnya."
Kira-kira, apa saja yang akan diperlukan untuk
mengadakan proyek semacam itu? "Supervisor, yaitu orang yang bisa
menjadi penghubung, serta kerja sama (antara penyelenghara proyek)
dengan pemerhati lingkungan untuk sistem evaluasinya. Misalnya NGO atau
institusi pendidikan," Desi menjelaskan. Menurutnya, bentuk komunitas
energi mandiri pun bisa beragam dan bebas. "Bisa komunitas tanaman hias,
komunitas nelayan, komunitas petani, desa, dan lain-lain. Yang penting
mereka komunitas, mereka solid dan kompak ingin mandiri secara energi."
Optimistis
Desi
menilai, komunitas energi mandiri idealnya merupakan komunitas yang
memang ingin bebas dari ketergantungan energi, serta mau berkomitmen
untuk melaksanakan program tersebut. Untuk mengembangkannya diperlukan
peran serta dari pemerintah, NGO, atau perusahaan. "Semua bisa
(mengembangkan) asal punya dana untuk membantu," katanya.
Dia
optimistis Indonesia mampu memiliki komunitas energi mandiri.
Menurutnya, program pemerintah untuk menghasilkan 5 persen bioenergi di
tahun 2025 bisa terwujud, namun bukan dengan membuka hutan dan menanam
tanaman macam CPO, atau menghabiskan hutan. "Saya yakin jawabannya
adalah dengan meng-empower masyarakat Indonesia," tegasnya.
"Indonesia
populasinya 200 juta orang lebih, dengan ratusan ribu komunitas.
Artinya, target 5 persen itu bisa dicapai tanpa harus menebang pohon
atau menggaet perusahaan besar yang hanya mencari profit." Asal
masyarakat diberdayakan dalam komunitas, ujar Desi, mereka dapat
memberikan pengaruh ke banyak orang untuk menghasilkan energi bagi
mereka sendiri. Komunitas energi mandiri pasti bisa terwujud di Tanah
Air.
Gambar: saveourplanet.today.com |
Aksara
Sunda dalam Format Digital
Oleh: Restituta Ajeng Arjanti
Setelah
aksara Bali, Bugis, dan Bali, giliran aksara Sunda atau Ngalagena yang
diluncurkan ke dalam format Unicode, yakni standar yang memungkinkan
huruf atau aksara ditampilkan dalam program komputer. Dengan
standarisasi itu, aksara Sunda bisa dipelajari dan diakses oleh lebih
banyak orang.
“Pengkodean ke dalam Unicode bertujuan untuk
pelestarian, pengenalan, dan pengakuan terhadap aksara Sunda. Hal ini
karena dalam perjalanannya, aksara Sunda sempat 'tenggelam', tidak
digunakan dalam kehidupan sehari-hari, tertutup oleh aksara-aksara
lainnya seperti Arab, Latin, dan Jawa,” kata Dian Tresna Nugraha, salah
satu anggota tim pengembang aksara Sunda dalam Unicode.
Pengembangan
Format
Unicode untuk aksara Sunda dikembangkan oleh Dian bersama beberapa
pihak. Di antaranya Idin Baidillah (Kepala Balai Pengembangan
Pengembangan Bahasa Daerah Dinas Pendidikan Jabar), Oman Abdurahman dan
Harja Santana Purba dari Komunitas Urang Sunda di Internet (Kusnet), dan
Dadan Sutisna (Redaktur Pelaksana Majalah Cupumanik). Mereka juga
dibantu beberapa akademisi yang juga ahli aksara, naskah, dan sastra
Sunda dari Universitas Padjajaran dan Universitas Pendidikan Indonesia,
yakni Undang A. Darsa, Tedi Permadi, Gugun Gunardi, Agus Suherman, dan
Taufik Ampera.
Menurut Dian, tahap pengembangan dilakukan secara
bertahap. Proses awalnya dilakukan oleh para peneliti naskah kuno Sunda.
“Pada tahun 2005, ada yang mengirim hasil kajian para peneliti tersebut
ke mailing list Kusnet (urangsunda@yahoogroups.com), menyebutkan bahwa
ada satu sistem penulisan unik yang digali dari khazanah kebudayaan
Sunda kuno. Disebutlah ini sebagai aksara Sunda,” papar Dian.
Setelah
dia perhatikan, aksara tersebut berbeda dengan aksara Sunda yang pernah
dipelajarinya saat di sekolah dasar. Saat itu, aksara Sunda yang
dipelajari Dian adalah Cacarakan, yang menurutnya adalah penyederhanaan
dari aksara Jawa Hanacaraka. Merasa tertarik, dia lalu mencari tahu
apakah aksara Sunda dalam dokumen itu sudah terkomputerisasi atau belum.
“Setelah
dicari di internet tidak ditemukan, maka saya inisiatif sendiri membuat
rancangan font awal aksara Sunda dengan menyalin bentuk-bentuk yang ada
di dokumen itu. Lalu saya kirim kembali ke milis. Sambutannya lumayan,”
kata lulusan Teknik Elektronika, Institut Teknologi Bandung ini.
Akhirnya, dia pun mendorong Komunitas Urang Sunda di Internet untuk
mendaftarkan sistem aksara Sunda ke dalam Unicode. Hingga sekarang,
proses pengembangan akasar Sunda dalam Unicode ini sudah berjalan selama
tiga tahun. Pada April 2008, aksara Sunda resmi jadi salah satu standar
Unicode.
Untuk mengembangkan aksara Sunda dalam Unicode, Dian
dan kawan-kawan memanfaatkan beberapa program untuk mendesain font,
seperti Fontforge, FontLab, dan FontCreator. “Kami kebetulan menggunakan
yang open source, yakni Fontforge, dibantu dengan program freeware dari
Microsoft, yakni Microsoft Volt.”
Manfaat
Ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu aksara bisa masuk ke
dalam standar Unicode. “Syarat utamanya, aksara itu adalah aksara yang
pernah digunakan oleh satu peradaban, masyarakat, atau budaya,” kata
Dian. Untuk memasukkan aksara Sunda ke dalam Unicode, mereka cukup
membuat proposal yang mendeskripsikan tentang sistem aksara itu, lengkap
dengan usulan tabel aksara yang ingin didaftarkan.
“Kebetulan
kami berkorespondensi langsung dengan Michel Everson, anggota konsorsium
Unicode, yang juga telah membantu mendaftarkan aksara Bali dan Bugis.
Karena itu, waktu diberitahu tentang aksara Sunda, beliau serta merta
membantu membuatkan proposalnya,” lanjut Dian. Menurutnya, aksara Sunda
dalam Unicode berpotensi untuk digunakan sebagai dokumentasi naskah
Sunda kuno. “Selain itu, juga untuk pengajaran. Selebihnya, terserah
kreativitas penggunanya.”
Saat ini, sosialisasi tentang aksara
Sunda dalam Unicode ini gencar dilakukan oleh Diknas Provinsi Jawa
Barat, pada guru-guru bahasa Sunda yang ada dalam wilayah binaannya.
Selain itu, penyebarannya juga dilakukan lewat mailing list dan berbagai
komunitas. “Untuk sementara, font resmi yang standar dapat di-download
dari web milik Kang Dadan Sutisna, www.daluang.com,” kata Dian. Web 2.0, Ajang Aktualisasi Diri dan Pengembangan Bisnis
Oleh: Restituta Ajeng Arjanti
Jangan remehkan kekuatan internet. Bayangkan, sudah
berapa banyak orang menjadi “besar” karenanya. Selain CEO Google Eric
Schmidt dan CEO Yahoo Jerry Yang, sebut saja nama Linus Torvalds si
penemu Linux dan pencipta Wikipedia Larry Sanger. Mereka memanfaatkan
forum diskusi dan milis di internet untuk memperkenalkan ciptaan mereka,
dan mengajak orang lain untuk ikut berkontribusi dalam
mengembangkannya. Kini, siapa yang tak kenal Linux dan Wikipedia?
Wajah
world wide web terus berevolusi, dan prosesnya berlangsung
terus-menerus. Saat ini, kita tengah berada dalam era Web 2.0, era yang
menampilkan web sebagai perangkat sosial. Di sini, peran serta para
pengguna internet—baik dalam komunitas maupun forum—makin tak bisa lepas
dari internet, juga perkembangan bisnisnya. Di sini, semua pengguna
internet bisa melihat, berkontribusi terhadap isi internet, dan merasa
menjadi bagian dari internet itu sendiri.
Bisnis Jejaring
Sosial
Web 2.0 mengandalkan konsep social
networking. Bagi para pengguna internet, situs-situs Web 2.0 sangat
menarik karena dapat dijadikan ajang aktualisasi diri. Lewat situs
layanan blog macam Blogger, Wordpress, dan Multiply misalnya, para
pemilik blog (blogger) dapat mencurahkan pikiran dan isi hati
mereka. Situs lain, seperti Flickr dan Picassa, menawarkan layanan sharing
foto bagi para penggunanya. Sementara YouTube dikenal sebagai situs
penyedia layanan sharing video.
Model bisnis yang
ditawarkan oleh situs-situs berbasis Web 2.0 terbilang menarik, meski
dianggap tak lazim layaknya bisnis tradisional. Kita ambil Facebook
sebagai contoh. Situs hangout itu kelihatannya hanya
mengumpulkan orang-orang muda yang gemar berbagi foto dan sekadar
bergaul di internet. Tapi, coba bayangkan, dengan jumlah pengguna online
yang berjumlah puluhan juta—termasuk di dalamnya adalah orang-orang
kreatif dan pebisnis yang ingin menjalin relasi—berapa besar potensi
yang dimiliki Facebook?
Situs ini mengundang para pengembang
aplikasi untuk menawarkan “mainan” buatan mereka—berupa
aplikasi-aplikasi kecil yang disebut widgets. Ini, selain
mengundang lebih banyak orang untuk bergabung sebagai pengguna, juga
menarik para pengembang aplikasi untuk terus berkreasi dan memanfaatkan
Facebook sebagai media promosi produk mereka. Potensi Facebook tak
berhenti sampai di situ. Aplikasi-aplikasi itu kemudian menjadi magnet
bagi para pemasang iklan untuk menyelipkan iklan produk buatannya ke
sana. Bisa dilihat, pada akhirnya, inovasi yang dilakukan Facebook di
situs Web 2.0-nya tak hanya memengaruhi dunia sosial, tapi juga
industri.
Beragam inovasi lain juga dilakukan oleh penyedia
layanan situs social networking dan blog untuk tetap eksis di
jagat online. Blogger, misalnya, kini sudah melengkapi situsnya
dengan dukungan video. Flickr, situs layanan sharing foto
milik Yahoo baru saja memperkenalkan layanan video online—bersaing
dengan YouTube. MySpace merilis situs bilingual sesuai dengan lokasi
akses penggunanya. Contohnya MySpace versi Latin yang dibuat untuk para
pengguna MySpace di kawasan Amerika Latin. Selain tampil dalam bahasa
Latin, MySpace Latin juga menawarkan konten khas komunitas di wilayah
tersebut, seputar sepakbola, artis, dan budaya di sana. Jadi, isinya tak
sekadar terjemahan dari versi Inggrisnya.
Populer di
Dalam Negeri
Situs-situs social networking luar
negeri cukup populer si Tanah Air. Shana Fatina,
mahasiswa perempuan pertama yang terpilih sebagai Presiden Keluarga
Mahasiswa (KM) ITB periode 2008/2009, bisa mewakili para pengguna
layanan blog dan situs social networking untuk memberi
testimoni. Saat ini, Mahasiswa jurusan Teknik Industri angkatan 2004 ini
terdaftar sebagai pengguna layanan situs Friendster, Flickr, dan
Blogger.
“Saya ikutan Friendster supaya bisa ketemu teman-teman
lama dan baru, supaya bisa update info dari teman-teman lebih
cepat, dan supaya bisa berhubungan dengan teman-teman yang sudah jauh,
di luar negeri misalnya”, ujarnya.
Shana mengaku, meski tidak
selalu meng-update blognya, tiap hari dia pasti membuka akun
Friendster-nya dan singgah ke blog-blog orang (blogwalking).
Selain memanfaatkan blog sebagai sarana mencurahkan pikiran, dia pun
kerap mencari referensi dan opini dari blog-blog orang. “Asyiknya di
blog, kita bisa menuliskan pendapat dan dikomentari orang. Apalagi
sekarang, layanan blog juga sudah ditambahi banyak aplikasi.”
Saat
mengampanyekan diri sebagai Presiden KM ITB, Shana mengaku juga
memanfaatkan Friendster dan blognya. Ia mengganti foto di akun
Friendster-nya dengan logo ITB dan menambahkan link situs kampanyenya
bersama rekannya, Bagus Yuliantok, ke Friendster dan blognya. Mungkin
promosi via Friendster dan blog ini jugalah yang juga membuat mereka
meraup 2.182 suara, mengalahkan dua pasangan lainnya.
Bapak
Blogger Indonesia, Enda Nasution, juga merasakan manfaat menggunakan
layanan dari situs-situs social networking. Dia mengaku,
situs-situs tersebut memudahkannya untuk meng-update informasi
tentang teman-temannya. Karena itu dia mendaftarkan diri di banyak
layanan social networking. Di antaranya Facebook, Friendster,
Del.icio.us, Flickr, YouTube, Blogger, Twitter, dan Digg.
Web
2.0 Asli Indonesia
Bagaimana dengan perkembangan Web
2.0 di Tanah Air? Menurut Enda, di dalam negeri, sudah cukup banyak
situs berkonsep Web 2.0. Contohnya Moodmills.com, Kronologger.com,
Blog.detik.com, Dagdigdug.com. Semua asli Indonesia. Namun, tidak
semuanya menggunakan engine buatan sendiri.
Menurutnya,
situs-situs itu sudah cukup bagus. Moodmills contohnya, mengangkat ide
yang baru, lumayan orisinal, memadukan microblogging dan social
networking, serta fokus pada mood pengguna. Meski
pembuatnya adalah orang Indonesia, situs itu tak hanya menyasar orang
Indonesia. Sedangkan Kronologger, menurut Enda, adalah Twitter versi
Indonesia. Yang disediakannya adalah layanan microblogging.
Ditanya
tentang situs berita dalam negeri, apakah sudah ada yang mengusung
konsep Web 2.0, dia menjawab, “Media sosial belum ada yang serius
(dengan Web 2.0), paling yang sudah mulai ada itu fasilitas komen
saja—seperti di Detik dan KCM, misalnya. Ada juga beberapa situs yang
ingin mencoba-coba membuat Digg ala Indonesia, tapi tidak ramai. Wikimu
juga bisa dibilang mewakili Web 2.0, modelnya citizen journalism.”
Web
2.0 memang menawarkan potensi bisnis yang besar. Sayangnya, di
Indonesia, belum banyak yang secara serius memanfaatkan situs social
networking untuk berbisnis. Hal tersebut disampaikan oleh Enda.
“Minimal sebatas untuk mengiklankan produk yang mereka jual, contohnya
jualan barang di Multiply.”
Menurut Enda, potensi internet di
Indonesia masih terbentur oleh masalah infrastruktur online.
“Sistem pembayaran dan sistem pengiriman barang yang terintegrasi masih
minim, padahal potensinya ekonominya besar. Tambah lagi, Indonesia
merupakan negara kepulauan. Kadang, banyak barang yang tidak masuk ke
daerah, padahal barang tersebut justru banyak peminatnya di daerah.
Makanya banyak orang daerah yang mampu memilih untuk pergi ke Jakarta
atau kota besar lain sekadar untuk belanja”, paparnya.
Web 3.0,
Seperti Apa? |
CEO Google Eric
Schmidt pernah
memprediksikan Web 3.0 sebagai sebuah cara baru untuk membangun
aplikasi. Aplikasi-aplikasi tersebut punya beberapa
karakteristik—ukuran mereka relatif kecil dan dapat berjalan di beragam
perangkat, bisa PC atau ponsel. Aplikasi-aplikasi tersebut berkembang
dengan cepat dan bisa dikostumasi. Mereka didistribusikan secara viral,
terutama lewat jaringan sosial atau email. Konsep Web 3.0 begitu dekat
dengan Web 2.0, yakni sebagai sebuah istilah baru di dunia marketing.
Kalau begitu, apakah kita sudah berada di dunia Web 3.0—mengingat
Facebook dan beberapa situs layanan jejaring sosial juga sudah
dilengkapi dengan beragam widgets untuk menunjang kegiatan gaul
para
pengguna situsnya? Ditanya tentang hal ini, Enda Nasution
punya pendapat sendiri.
Menurutnya, apa yang digambarkan sebagai Web 3.0 itu belum
terjadi—minimal dalam arti diadopsi oleh pengguna internet secara luas.
“IMHO (in my humble opinion), Web 1.0, Web 2.0, dan seterusnya
terjadi
sebagai refleksi. Artinya, istilah Web 2.0 baru muncul setelah Flickr,
Del.icio.us, Digg, Facebook, dan yang lainnya muncul. Dan, karena ada
Web 2.0, maka versi Web yang sebelumnya disebut Web 1.0”, jawab Enda.
“Perubahan Web juga tidak seperti episode TV, tapi terjadi secara
gradual dan tersambung. Jadi, wajar jika kemudian orang mengira-ngira
jika ada Web 1.0 dan Web 2.0, maka akan ada yang ke-3, ke-4, dan
seterusnya. Tapi dalam realitanya, hingga hal yang baru itu terjadi,
dan kita bisa berefleksi bahwa itu adalah yang namanya Web 3.0, kita
tak akan bisa tahu dengan pasti.” Merujuk ke prediksi Schmidt
tentang Web 3.0, menurut Enda,
aplikasi-aplikasi kecil (widgets) yang ada di situs-situs
jejaring
sosial saat ini bisa jadi merupakan bibit-bibit dari Web 3.0. Tapi,
apakah itu akan menjadi aplikasi yang digunakan secara luas oleh orang,
dan apakah itu yang nantinya akan disebut sebagai Web 3.0—itu juga
masih menjadi pertanyaan.“Business Unusual”, Membangun Bisnis dengan Passion dan
Inovasi
Oleh: Restituta Ajeng Arjanti
Arvino Mudjiarto percaya pada kekuatan bisnis sebagai
inti dari terciptanya kehidupan yang lebih baik. Ia suka dengan ide
tentang “business unusual” yang mengombinasikan bisnis dengan
ide, hasrat, brand, kepercayaan, imajinasi, teknologi, dan
tanggung jawab sosial untuk menciptakan sebuah produk yang mengagumkan,
berbeda, dan inovatif.
Sosok Arvino berdiri di balik
penghargaan-perhargaan yang diperoleh PT Worxcode Imagineering
Indonesia, sebuah perusahaan pengembang solusi TI di Jakarta yang
dibangunnya sejak tahun 2002. Dalam kancah internasional, Worxcode
pernah menerima penghargaan sebagai juara 1 CTO Innovation Excellence
Award di Asia Pasifik tahun 2006, dan juara 1 Best Consultant &
System Solutions di Asia Pasifik tahun 2007. Keduanya diadakan oleh IBM
Worldwide. Worxcode juga merupakan perusahaan Indonesia pertama (dan di
wilayah ASEAN) yang pernah memenangkan “Oscar” IBM tersebut sebanyak dua
kali berturut-turut.
Dalam asuhan Arvino, banyak perusahaan
besar yang memercayakan pengerjaan sistem dan integrasinya ke Worxcode.
Contohnya adalah Telkom Indonesia, Astra International, Hyundai (Korea),
Surveyor Indonesia, Bank Indonesia, Bank Danamon Indonesia, dan Bank
Negara Indonesia. Worxcode merancang dan mengembangkan software
Knowledge Management, sistem Electronic Document, dan
sistem Knowledge Delivery untuk klien-kliennya.
Arvino
bukanlah sosok tanpa visi. Ia bercita-cita untuk membawa Worxcode ke
dunia yang berbeda dan mempertajam fokus perusahaannya itu dengan cara
yang unik. Di rubrik Innovation minggu ini, pada QB Headlines (QB),
Arvino (AM) berbagi cerita tentang Worxcode dan mimpi-mimpinya.
QB:
Apa core business Worxcode?
AM:
Kami menjual “inovasi praktis”. Tujuan kami mendirikan Worxcode
sebenarnya adalah untuk menyediakan “new code of working”—cara
kerja yang praktis, inovatif, dan penuh passion bagi dunia dan
masyarakat global. Nah, dari sinilah nama “worxcode” berasal, dari kata “work's
code”.
Saya dan tim mengerjakan projek perancangan dan
pengembangan software otomasi untuk industri. Kami pernah
mengimplentasikan sistem intranet terluas di wilayah Asia, merancang dan
mengembangkan software Knowledge Management, sistem Electronic
Document, dan sistem Knowledge Delivery untuk klien-klien
kami.
QB: Bagaimana model bisnisnya?
AM:
Di awal berdirinya, Worxcode mulai dengan menjalankan bisnis kontruksi
dan desain software otomasi. Keduanya menuntut kemampuan para
staf dan personil Worxcode—intinya perusahaan secara keseluruhan—untuk
terus bersaing dan berkontribusi.
Dalam prosesnya, kami
merancang solusi-solusi software yang benar-benar baru, yang
kompleks dan belum pernah ada sebelumnya. Kami membangun sistem otomasi,
merancang arsitektur sistem, dan mengintegrasikannya bagi klien-klien
kami.
QB: Solusi-solusi seperti apa yang ditawarkan bagi
klien-klien Worxcode?
AM: Kami selalu
berusaha memberikan solusi paling inovatif, menggemparkan, dan punya
daya tarik—solusi yang “tiada duanya”, yang menawarkan kemudahan. Meski
simpel, solusinya sebisa mungkin harus menarik, cerdas, dan punya nilai
kesempurnaan.
QB: Apa hal yang menurut Anda menarik dari
pekerjaan dan bisnis Anda?
AM: Ada dua
hal yang menurut saya menarik. Pertama, kami menjalankan bisnis kami
dengan passion. Kami melakukan hal-hal yang berbeda. Dan, kami
tidak menjalankan bisnis yang “biasa” seperti yang orang lain tahu
sebagai “ini nih cara menjalankan bisnis sejak jaman dulu”.
Sejak hari pertama Worxcode berdiri, kami memilih inovasi, daya khayal
dan imajinasi, dan penerapannya ke masyarakat luas sebagai lahan kerja
dan misi kami.
Kami—mungkin, meminjam ungkapan dari founder Body
Shop, Anita Roddick—adalah sebuah “business unusual”. Kami
cukup tahu kapasitas kami adalah untuk bersaing, kami tahu hasrat kami
adalah untuk berinovasi, dan kami menjalankan itu sebagai sebuah bisnis.
Seperti kata Alan Kay, “The best way to predict the future is to
invent it”. Nah, kami benar-benar memasukkan kata-kata itu ke dalam
hati. Bisnis kami adalah bisnis yang penuh hasrat, “passionate
business”.
Hal menarik yang kedua, kami menjalankan bisnis
untuk memajukan masyarakat secara luas. Saya selalu ingat hari itu, 20
Februari 2002, pukul 20.02, saat di mana kami meluncurkan dan mulai
menjalankan perusahaan ini. Sambil makan malam, saya bertanya pada diri
saya sendiri, apa sih tujuan dan alasan sebuah bisnis (baru)
diciptakan? Kenapa saya membangun Worxcode sebagai sebuah perusahaan?
Perjalanan yang akan saya lalui bersama Worxcode tentunya akan menjadi
perjalanan panjang yang penuh passion. Dan jawaban ini
terlintas di benak saya, “Satu-satunya alasan tepat mengapa sebuah
perusahaan dilahirkan adalah agar satu saat nanti perusahaan itu dapat
berkontribusi bagi kebaikan masyarakat luas”.
Saya sampaikan
pendapat tersebut ke teman saya, dan sejak saat itu, pemikiran tersebut
menjadi panduan kami untuk menjalankan bisnis.
QB: Di
blog, Anda banyak berkomentar mengenai desain. Menurut Anda, seberapa
besar kekuatan desain terhadap sebuah produk? Lalu, bagaimana efek
desain terhadap nilai perusahaan penciptanya?
AM:
Kami percaya, pada dasarnya ada hanya ada 2 jenis produk: produk yang
diciptakan dengan passion dan produk yang membosankan.
Produk
yang dirancang dengan apik, tanpa dapat dijelaskan, memiliki aura magis
yang merefleksikan bahwa produk tersebut dibuat sebagai inovasi,
sebagai sesuatu yang dibuat dengan passion, keahlian, dan kesungguhan
penciptanya. Makanya hasilnya sempurna. Sebaliknya, produk dengan desain
yang payah akan terlihat membosankan dan biasa saja. Mungkin orang yang
melihatnya akan berpikir, kenapa sih ada orang yang mau
membuatnya lalu menjualnya.
Menurut saya, desain yang menarik
merefleksikan hasrat si pencipta produk, keinginannya untuk berinovasi,
dan daya khayalnya. Detail yang rumit dan cermat akan membuatnya tampak
bagus. Yang jelas, produk dengan desain hebat akan memancarkan aura
mengagumkan yang menyentuh hati orang.
QB: Bisa
menyebutkan contoh produk yang menurut Anda bagus dan inovatif?
AM:
Menurut saya, produk-produk Sony—terutama saat perusahaan itu masih
dipimpin oleh sang founder Akio Morita—termasuk yang hebat, yang bisa
jadi kesayangan industri elektronik dunia. Contohnya Walkman, handycam,
dan desain Sony compo. Semuanya membuat orang kagum dan takjub, makanya
produk-produk itu akan terus dikenang.
Contoh produk inovatif
berdesain bagus yang bisa kita lihat saat ini adalah produk-produk
Apple—bisa bikin kita “panas-dingin” dan penasaran untuk memilikinya.
Lihat saja—iPod Touch dan software yang ditanam di dalamnya,
MacBook Air yang super tipis dan super ringan, dan desain Mac OS yang
terbaru—semua menarik perhatian. Kita menyukainya!
Kembali ke
pertanyaan sebelumnya, mengenai efek desain terhadap perusahaan
pembuatnya, menurut saya, produk dengan desain hebat akan memenangkan
pasar. Produk-produk ini—kita sadari atau tidak—seharusnya membuat
masyarakat hidup dengan lebih baik, dan merasa gembira dan bangga karena
memilikinya. Pada akhirnya, itu akan membuat perusahaan yang
memroduksinya menjadi hebat dan bernilai tinggi pula.
QB:
Menurut pendapat Anda, bagaimana persaingan di industri software
saat ini? Apa yang dibutuhkan oleh perusahaan untuk tetap bertahan?
AM:
Persaingan bisnis saat ini demikian ketat. Untuk tetap bertahan,
perusahaan harus memiliki daya inovasi, imajinasi, dan kesempurnaan
sebagai inti bisnisnya. Kontribusi ke masyarakat juga perlu selalu
dilakukan. Cobalah untuk selalu menjalankan bisnis yang jujur dan dengan
passion. Apapun yang terjadi, jangan pernah berbuat curang.
QB:
Bisa tidak bercerita tentang projek yang sedang Anda tangani, dan
inovasi seperti apa yang Anda masukkan ke dalamnya untuk menghasilkan
sesuatu yang “tak biasa”?
AM: Kami
masih terus menjalankan bisnis perancangan dan pengembangan software
otomasi. Tahun ini kami ingin mencapai penetrasi pasar. Sayangnya, kami
belum bisa bercerita tentang projek yang kami tangani sekarang—sama
seperti kita tidak boleh mengumbar rencana kita, kan? Yang
pasti, kami masih menjalankan hal yang kami sukai, yang membuat kami
bangga menjadi bagian di dalamnya.
QB: Apa mimpi masa
depan Anda—untuk diri sendiri, dan bisnis Anda?
AM:
Saya, juga Worxcode, ingin sekali melihat lebih banyak kontribusi
bisnis di Indonesia bagi masyakarat. Pasti hebat sekali jika kita bisa
melihat bisnis-bisnis di dalam negeri mampu menjadi jantung bagi
pengembangan industri global, bukan melihatnya tertinggal dari negara
lain.
Kami ingin sekali melihat inovasi, imajinasi, dan
kesempurnaan menjadi trademark perusahaan-perusahaan Indonesia.
Kami juga ingin sekali satu saat nanti perusahaan Indonesia bisa
menjadi “truly Asia Global company” yang punya ciri khas
Indonesia, dan terdiri dari orang-orang bisnis yang cerdas, bijaksana,
dan jujur. Dengan begitu, kita bisa menciptakan dunia yang lebih baik,
memberikan hal-hal positif dalam kehidupan banyak orang, dan melaju ke
dunia global.
Untuk diri kita sendiri, kita bisa bekerja keras
sambil menikmati pekerjaan kita. Siapa tahu, satu saat nanti, kita bisa
melahirkan “Sony” dan “Apple” Asia, perusahaan software Asia
yang dihargai dan dicintai, juga brand yang mendapatkan tempat
di hati banyak orang.
Sekilas
Arvino Mudjiarto |
Founder & President Director Worxcode, perusahaan
perancang dan pengembang software otomasi yang berbasis di
Jakarta. Sejak 2002, Arvino menjalankan bisnis Worxcode yang dibangunnya
bersama ibundanya. Saat ini, Arvino tinggal di Bandung dan Jakarta.
Baginya, internet juga sudah jadi tempat tinggalnya. Untuk melihat salah
satu “rumah” Arvino, Anda dapat berkunjung ke arvino.typepad.com. |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|