Kecerdasan Finansial

Iman Supriyono

Begitu lama orang membanggakan kecerdasan intelektual (IQ). Para orangtua begitu bangga bila anak-anaknya ber-IQ tinggi. Mereka begitu bangga ketika anak-anaknya mendapat ranking tinggi di sekolah yang dianggapnya sebagai cermin dari tingginya IQ. Seolah-olah, segala permasalahan kehidupan akan dapat diselesaikan dengan mudah oleh orang-orang yang memiliki IQ tinggi. Anak ber-IQ tinggi dianggap akan mudah mencari pekerjaan dan kemudian memiliki karir yang melejit di tempat kerjanya.

Persaingan perebutan lapangan kerja dan karir yang semakin ketat perlahan-lahan menyadarkan para pembangga IQ. Semakin disadari bahwa IQ yang tinggi tidak selalu berkorelasi dengan keberhasilan. IQ tinggi tidak selalu berarti karir yang melejit. Muncullah konsep baru: kecerdasan emosi (EQ).

Kecerdasan otak seseorang barulah benar-benar bermanfaat bagi karir dan masa depannya manakala diimbangi dengan kecerdasan emosi yang memadai. Kecerdasan emosi yang tinggi memungkinkan seseorang untuk bergaul dan bersosialisasi dengan baik di lingkungan kerja atau bisnisnya. Kecerdasan inilah yang juga memungkinkan seseorang untuk mengendalikan dirinya agar memiliki semangat tinggi ketika mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya. Kecerdasan emosi yang tinggi pulalah yang memungkinkan seorang siswa bisa belaar tekun dan kemudian menghasilkan prestasi yang tinggi.

IQ dan EQ pun belum cukup. Dimunculkanlah konsep baru, kecerdasan spiritual (SQ). Kecerdasan jenis inilah yang mampu menjadikan kehidupan manusia lebih bermakna. Manusia lebih bisa menyelaraskan antara berbagai permasalahan kehidupannya dengan zat yang hakiki, Sang Pencipta. Manusia kemudian menggunakan kedekatannya dengan Yang Maha Menghidupkan ini bagi solusi setiap permasalahan kehidupannya.

Begitu seorang siswa atau mahasiswa menyelesaikan pendidikannya, muncullah masalah yang mungkin tidak pernah dihadapi sebelumnya: permasalahan dan kebutuhan uang. Permasalahan “baru” ini kemudian bahkan harus dihadapainya sebagai sebuah realitas keseharian yang belum tentu bisa diselesaikan dengan kecerdasan intelektual, emosional, maupun spiritual yang telah dipersiapkan sejak kecil. Muncullah sebuah kesadaran akan pentingnya kemampuan seseorang untuk mendayagunakan kemampuan dirinya dalam mendapatkan dan mengelola uang. Muncullah sebuah konsep baru tentang kecerdasan yang disebut kecerdasan finansial (FQ). Konsep kecerdasan aplikatif yang dibangun di atas fondasi kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan kemampuan bertindak secara fisik.

Kecerdasan finansial dibutuhkan agar seseorang tidak terjebak dalam dua kutub permasalahan keuangan: kekurangan uang atau kelebihan uang. Pada kutub kekurangan uang, seseorang selalu disibukkan dengan permasalahan-permasalahan mencari uang. Bahkan akhirnya banyak orang yang berada pada kutub ini menjadi gelap mata dan melakukan apa saja asalkan bisa mendapatkan uang yang dianggapnya akan membahagiakannya. Mencuri, korupsi, memeras, pungli, menjadi kosa kata yang tidak bisa dihindarinya.

Sementara itu, kutub kelebihan uang menjadikan seseorang tidak bisa mendapatkan kebahagiaan dengan uang yang melimpah. Uang melimpah justru menjadikannya semakin tidak bersyukur dan tidak berbahagia. Orang seperti ini kemudian akan membeli apa saja agar bisa memperoleh kebahagiaan. Ujung-ujungnya mereka tidak bisa membeli kebahagiaan.

Seseorang yang berkecerdasan finansial tinggi tidak dikendalikan oleh uang, justru merekalah yang mengendalikan uang dan mendayagunakannya untuk memenuhi kebutuhan hakikinya: kebahagiaan. Mereka tidak menderita karena kekurangan uang. Mereka juga tidak menderita karena kelebihan uang.

Omar Bakre Forever

Iman Supriyono

Semenjak terbitnya buku ke-7 saya, “Guru Goblok Ketemu Murid Goblok, Hikmah Pembakar Jiwa Entrepreneur dan Investor”, saya jadi sering berhubungan dengan komunitas guru. Komunitas orang-orang yang dalam bahasa jawa disebut “digugu lan ditiru”. Komunitas pemilik lagu “Pahlawan Bangsa Tanpa Tanda Jasa”

Komunitas guru bagi kita tentu bukan sesuatu yang jauh. Saya sendiri merasakan beberapa guru yang turut mengukir jiwa. Dekat sekali. Salah satunya misalnya adalah Pak Nardi, seorang guru agama SD yang mendidik saya untuk sholat. Sesuatu yang kemudian saya bawa hingga saat ini. Ayah ibu saya pun sholat secara tidak langsung melalui pak Nardi. Beliau sholat setelah melihat putra-putrinya sholat dengan bimbingan Pak Nardi. Inilah sebagian kecil dari komunitas guru yang telah mengukir jiwa ini. Semoga pahalanya dilipatgandakan.

Dengan Pak Nardi dan kawan-kawan para guru inspiratif, saya mendengarkan. Saya terinspirasi untuk berbuat yang lebih baik. Dengan hadirnya buku ke-7, saya berjumpa dengan komunitas guru dengan format agak berbeda. Saya diberi kesempatan untuk berbicara dan menginpirasi mereka. Menginspirasi para inspirator. Tentu sangat menarik. Hati saya berbunga-bunga. Itulah suasana menjelang berbicara untuk pertama kali di depan para guru. Bagaimana kenyataannya? Berbalik 180 derajad. Hati yang berbunga-bunga berbalik arah. Saya stress. Selama ini saya banyak bicara di forum-forum perusahaan. Saya menjumpai audiens yang rasa ingin tahunya tinggi. Sepanjang acara yang sering kali dari pagi sampai magrib, semua peserta perhatian penuh terhadap materi. Antusias. tidak ada yang berbisik dengan sesama peserta. Bapak ibu guru ketika itu? Lebih dari separuh peserta sepanjang acara ngobrol sana sini dengan peserta lain. Tidak berkonsentrasi terhadap materi. Ruang acara jadi tidak jauh berbeda dengan pasar tradisional. Pasar becek. Pasar kelas bawah.

Setelah acara, saya merenung. Akhirnya saya bisa berdamai dengan suasana. Saya menyimpulkan bahwa bapak ibu guru di forum itu tidak salah. Saya yang salah. Saya tidak bisa menyampaikan materi dengan menarik. Saya tidak pinter. Dengan bahasa suroboyoan….saya goblok!

■■■■

Waktupun berjalan. Suatu saat kemudian, saya berkesempatan untuk berbicara di depan forum para guru lagi. Karena pengalaman pertama yang membikin stress, untuk pertemuan kedua ini saya sudah siap. Siap dengan kondisi apapun. Tentu saja tetap dengan hati penuh harap. Faktanya? Tidak jauh berbeda dengan forum pertama.

Forum ketiga? Keempat? Kelima? Dan seterusnya? Saya bersyukur karena beberapa kali saya sempat berbicara untuk beberapa guru sekolah islam favorit baik di Surabaya maupun di luar kota. Suasananyanya jauh lebih bagus. peserta penuh perhatian. Penuh minat belajar. Walaupun masih kalah jauh dengan forum di perusahaan-perusaha an yang selama ini lebih banyak saya geluti.

Ternyata kondisinya hampir sama. Tidak jauh berbeda. Bahkan, awal Januari ini saya dibuat benar-benar stress dalam sebuah forum komunitas bapak ibu guru. Disamping kondisi forumnya yang berat seperti sebelum-sebelumnya, ada lagi yang membuat saya jauh lebih stress. Ada banyak guru yang ikut seminar hanya karena menginginkan sertifikatnya saja. Datang ketika acara sudah berjalan satu jam. Santai-santai menikmati kopi dan kue sebelum masuk ruangan. Ikut materi tidak sampai satu jam. Itupun ngobrol sana-sini. Acara selesai dan pulang membawa sertifikat untuk sertifikasi guru.

Itu sudah cukup? Belum. Ada seorang yang mendaftarkan enam nama menjadi peserta seminar. Saat acara, yang datang hanya satu. Itupun masuk di ruang seminar hanya sesaat. Kehadirannya di hotel tempat acara lebih banyak dipakai untuk “bertengkar” dengan panitia. Ia ngotot minta sertifikat untuk lima kawan guru yang didaftarkannya. Sementara panitia tetap pada pendiriannya untuk tidak tipu-tipu dengan sertifikat. Tidak mau memberikan sertifikat kecuali kepada peserta seminar . Yang tidak hadir tentu bukan peserta seminar walaupun telah membayar uang pendaftaran. Tidak ada sertifikat bagi yang tidak hadir. Keukeuh. Itu kata orang Sunda. Maka, pertengkaran pun berlanjut hingga beberapa hari setelah seminar berakhir melalui sms-sms keras. Luar biasa.

Dalam kegalauan seminar pasa seminar ini, saya menelepon ketua Dewan Pendidikan Surabaya, Isa Anshori. Curhat tentang apa yang saya alami. Ternyata, dia pun mengambil kesimpulan yang tidak jauh berbeda. Pengalamannya, dari forum-forum guru yang dihadirinya, hanya sekitar 40% saja dari peserta seminar yang punya minat pembelajaran tinggi. Itulah yang mau mengikuti forum dengan antusias. Tidak ngobrol di forum. Datang seminar karena ingin belajar. Bukan karena sertifikat. Di akhir pembicaraan saya bertanya: ini kesimpulan Isa Anshori secara pribadi atau kesimpulan ketua Dewan Pendidikan Kota Surabaya? Ia menjawab mantab: kesimpulan Ketua Dewan Pendidikan Surabaya. “Saya Bertanggung Jawab!”, tegasnya mantab.

■■■■

Umar bakreee….umar bakree…pegawe negreee….tapi mengapa gaji guru umar bakreee seperti juga kereee…… Itulah penggalan syair lagu Iwan Fals yang berkisah tentang seorang guru bernama Umar Bakri. Dalam bahasa slengekan oleh Iwan Fals diucapkan Omar Bakreee.

Memang, guru selalu diidentikkan dengan kesejahteraan yang rendah. Faktanya? Kayaknya tidak jauh-jauh dari itu. Mengapa? Inilah pertanyaan yang sering sampai ke saya hingga muncul tulisan ini. Tentu ada banyak penyebab. Ada banyak jawaban. Tetapi sebagai orang keuangan, saya menemui bahwa orang-orang yang kesejahteraannya tinggi bisa dipastikan adalah orang-orang berdaya belajar tinggi. Mampu menggali informasi. Bisa berkonsentrasi dalam jangka panjang untuk menyerap informasi dari pembicaraan orang lain. Entah itu di seminar, rapat, atau pun forum berdua face to face dengan orang lain. Itulah yang saya temui di berbagai perusahaan. Itulah yang saya temui di bank bank besar, pabrik pabrik dengan puluhan ribu karyawan, para manajer, para entrepreneur, para profesional, dan mereka-mereka yang kesejahteraannya tinggi.

Nampaknya, pertemuan saya dengan komunitas guru masih terus berlanjut. Permintaan seminar, bedah buku, dan pelatihan untuk para guru masih terus berlanjut. Kemarin saya menerima telepon dari ketua Federasi Guru Independen Indonesia untuk mengisi sebuah seminar mereka di Makasar. Jadi, dengan buku “Guru Goblok Ketemu Murid Goblok” saya masih menyimpan harapan besar. Harapan untuk berperan dalam dunia pendidikan melalui peningkatan kesejahteraan guru. PR terbesarnya adalah mengubah paradigmanya. Menjadikan para guru yang merasa goblok dan kemudian belajar. Begitu belajar tetap merasa goblok karena ternyata ada orang lain yang ilmunya lebih tinggi. Maka ia pun berguru lagi pada orang itu dan tetap merasa goblok. Di atas langit masih ada langit. Ilmu padi. Bapak Ibu guru…..halo…! Halo…! Halo!!!!

Melawan Arus

Iman Supriyono

Suatu malam di Surabaya. Sebagaimana biasa, karena tanki hampir kosong, dalam perjalanan pulang saya mampir ke SPBU. Ada sesuatu yang tidak biasa. Antrian panjang mobil dan motor. Saya coba SPBU yang lain?.sama. Antrian luar biasa. Usut punya usut, ternyata malam itu adalah jam-jam menjelang kenaikan harga BBM. Maka? masyarakat pun berlomba-lomba memadati SPBU untuk mendapatkan bahan bakar dengan harga lama. Harga sebelum naik.

Suasana tidak biasa juga terjadi saat harga BBM akan diturunkan. Para pemilik SPBU berlomba-lomba untuk mengosongkan persediaan. Baru akan mengisinya nanti ketika harga telah turun. Harapannya adalah agar tidak menanggung kerugian. Kulakan dengan harga mahal dan kemudian terpaksa harus menjual dengan harga lebih murah sesuai ketentuan pemerintah.

Dua suasana di atas menjadi rumus umum. Selalu begitukah? Belum tentu. Bahkan bisa berbalik. Peter Drucker sebagaimana yang dikutip oleh muridnya Si Cohen punya saran bagus: Apa yang dipikirkan oleh banyak orang belum tentu benar.

Maka?ada seorang pengusaha SPBU di Surabaya yang menerapkan pemikiran maha guru manajemen modern itu. Saat SPBU lain mengosongkan tanki dan menunggu harga turun, ia justru sebaliknya. Selama ini setiap hari SPBU-nya bisa menjual sekitar 20 KL BBM. Maka, pada hari menjelang penurunan harga BBM, ia justru memenuhi tanki persediaannya dengan stok 3 kali kebutuhan normal harian. Ia kulakan 60 KL. Berlawanan arus dengan para pemain bisnis SPBU lain.

Apa yang terjadi? Ternyata pemikiran melawan arus ini tepat. Di saat SPBU lain kehabisan BBM karena sengaja mengurangi pembelian stok, SPBU miliknya dipenuhi pelanggan. Tanki berisi 60 KL yang biasanya baru habis dalam waktu tiga hari ludes dalam sehari. Persis pada saat harga bensin turun, stok itu pun habis. Ia meraup laba tiga kali lipat dibanding hari biasa. Laba tiga kali lipat pada saat orang lain labanya turun drastis karena memang sengaja mengurangi stok.

Pembaca yang antusias, begitulah dunia bisnis. Selalu dipenuhi dengan perubahan perubahan. Selalu dipenuhi dengan gejolak naik dan turun. Harga barang selalu bergejolak. Maka, orang yang pintar dalam bisnis akan selalu bisa memanfaatkan situasi. Saat kenaikan harga ia untung. Saat harga tetap ia juga untung. Bahkan saat terjadi penurunan harga, ia pun untung berlipat.

Yang Anda butuhkan adalah bagaimana berfikir terbalik. Berfikir berbeda dengan apa yang dipikirkan masyarakat umum. Apa yang diyakini oleh masyarakat banyak belum tentu benar. Demikian juga sebaliknya, apa yang ditinggalkan masyarakat banyak belum tentu jelek. Dibutuhkan keahlian untuk bisa membaca situasi. Membaca alur pemikiran para pemain bisnis pada umumnya dalam menanggapi perubahan yang terjadi.

Dari mana asalnya keahlian itu? Tentu saja dengan proses pembelajaran yang panjang. Sederhanya adalah melalui proses trial and error. Coba saja. Begitu salah?perbaiki. Coba lagi. Salah lagi?.perbaiki lagi?.sampai ketemu yang tepat.

Maka?sebuah kesalahan keputusan yang berbuntut kerugian adalah sesuatu yang tidak boleh menjadikan kita berhenti. Kerugian-asalkan masih dalam besaran yang masih bisa ditanggulangi-justru pertanda bahwa kita sedang menjalani proses pembelajaran. Yang penting?.keledai pun tidak akan
terperosok pada lubang yang sama berkali kali.*

Cerdas finansial? Mungkin anda berpikir hanya orang kaya yang perlu memiliki kecerdasan finansial. Sama sekali tidak! Cerdas finansial tidak ada kaitannya dengan latar belakang pendidikan atau jumlah kekayaan, melainkan adalah kepiawaian dalam mengelola keuangan. Orang yang cerdas finansial adalah mereka yang mampu bersikap baik dan benar dalam mengendalikan (thirfity), menyimpan (saving) dan menghasilkan (invest) uang.
•> Kiat mengendalikan uang (thirfity)
Pepatah 'hemat pangkal kaya' sangat baik untuk kembali digali dan diamalkan secara maksimal. Karena boleh jadi kesadaran tentang pentingnya berhemat kini sudah sirna. Berikut beberapa kiat cara berhemat demi meraih kemampuan kecerdasan finansial:
* hemat berarti membeli sesuatu karena butuh, BUKAN ingin
* hemat berarti efisien & efektif, BUKAN pelit
* hemat berarti mendapatkan MAKSIMAL, biaya MINIMAL
* membeli tunai berati dapat berhemat hingga 50%

•> Kiat berdisiplin menyimpan uang (savings)
Menabung memang gampang diucapkan. Kenyataannya masih banyak orang yang merasa sulit untuk bisa meningkatkan kemampuan menabung karena beranggapan keliru : menabung adalah dari sisa pendapatan bulanan & menunggu hingga penghasilan lebih besar ;
* menabung adalah pengeluaran RUTIN & PRIORITAS awal
Tetapkan target prosentase dari pendapatan bulanan untuk ditabung
* tidak perlu menunggu berpenghasilan besar baru mulai menabung
Fakta menunjukkan semakin besar penghasilan, semakin besar pula pengeluaran. hargailah hasil jerih payah anda dengan menyisakan sebagian untuk disimpan

Menurut Anthony Robbin, seorang pakar pengembangan SDM dari Amerika Serikat, dalam bukunya 'Unlimited Power', setiap kita menerima gaji atau pendapatan apapun hendaknya bisa kita sisihkan menjadi 4 bagian. sisihkan 10% untuk infaq, 10% untuk membayar hutang, 10% untuk investasi, sedangkan sisa 70% anda gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Selain itu, prinsip menabung adalah menabunglah di awal, jangan menunggu sisa. Ketika menerima gaji perbulan, langsung sisihkan 30% untuk ditabung, investasi dan bayar hutang, sisanya terserah anda. Kalau kita menunggu uang banyak & cukup, kita tak akan pernah menabung. selain itu, manusia 'kan' tidak pernah puas, berapapun gajinya tidak pernah merasa cukup.

•> Kiat berdisplin menghasilkan uang (invest)
Investasi adalah cara orang menuju financial freedom, begitu kata R.Kiyosaki dalam bukunya 'Cashflow Quadrant'. Inilah salah satu cara mencari uang, yang dalam kategori Kiyosaki masuk kuadran kanan ; kuadran orang-orang kaya selain bussiness owner. Sayangnya umum masyarakat beranggapan bahwa investasi dengan cara menabung & deposit di bank sudah cukup. Menempatkan dana di tabungan / deposito memang bukan hal yang buruk. Namun, bila ditelaah lebih lanjut, rata-rata pengembalian untuk produk deposito berkisar dari 8-10% pertahun. Bila diperhitungkan tingkat inflasi pertahun berada pada kisaran 12% maka simpanan yang kita hasilkan tidak dapat mengimbangi inflasi. Uang yang kita investasikan dalam 1 tahun secara nilai bertambah tetapi secara daya beli akan berkurang / turun (www.hsbcamanah.com). Tabungan / deposito dapat dikategorikan sebagai investasi dalam bentuk kas karena sifatnya yang likuid. Sebaiknya dana anda juga diinvestasikan pada bentuk investasi yang sifatnya non-likuid (jangka panjang). Dengan berinvestasi pada instrumen jangka panjang seperti membuka usaha, membeli saham, obligasi, komoditas, reksadana, emas dll, diharapkan tingkat keuntungan yang diperoleh akan mampu mengalahkan tingkat inflasi. Berikut tips berinvestasi yang mungkin dapat membantu :
* beli dan miliki sebanyak mungkin harta produktif
* hindari membeli instrumen investasi yang tidak dimengerti serta perhatikan resikonya
* Don't put all eggs in one basket. jika anda meletakkan semua telur kedalam 1 tempat dan tempat tesebut jatuh, sudah barang tentu semua telur di dalamnya akan pecah. Inilah konsep diversifikasi dalam dunia investasi. Jadi sebisa mungkin alokasikan dana anda pada berbagai instrumen investasi
Yang terpenting sekarang, mulailah, jangan menunda hingga esok. Menunda = Gagal, mulai secara bertahap. Anda dapat menerapkan tips dari Anthony Robbin, atau modifikasi sesuai kondisi anda. Sebagai prinsip umum, untuk return (pengembalian) 5% anda akan berhadapan dengan resiko 10-20%. Selamat mencoba.

Make a Free Website with Yola.